Ads 468x60px

Saturday, December 29, 2012

Renjana Anak Rantau


Puing-puing rindu pun berserakan
Ketika lontara-lontara hati mulai tersayat tak kuat menahan
Hingga pecah... rasa menyeruak keluar bersama isak dan embun di pengujung mata

Aku ingat rumah adat tongkonan
Megah menjulang
Tiang-tiangnya perkasa
Pertanda prinsip bugis tertancap begitu dalam

Aku ingat lelaki paruh baya berlengak-lenggok di pematang sawah
Membawa cangkul dan bibit kehidupan
Seharian bermandikan keringat bersarung letih
Sesekali senyum sambil menengadah ke angkasa biru
Hingga semangat kembali menggalayuti batin entah darimana ia datang

Pun, dahulu mereka begitu perkasa
Berkarib dengan kapal bergelar pinisi
Menantang badai
Menembus gulungan ombak
Bersafari menjinakka samudra
Lalu berjumpa dengan dunia lain nun jauh di sana

Aku ingat perempuan-perempuan bugis
Menyusui anaknya di bale-bale
Mengusap kepalanya dan berkata lembut
“Nak, kalau sudah besar jadi pedagang atau pelaut saja yah seperti kakekmu?!”
Berbalas umbaran senyum lalu kembali mengea pada ibunya

Aku ingat ingat bunga-bunga desa di tanah bugis...
Menyembunyikan harap dan cemas di balik dinding anyaman bambu di atas rumah panggung
Menunggu seorang pemuda datang membawa cinta
membawa siri’ untuk tameng hidupnya
Lalu menggiringnya dalam bahtera baru
Melahirkan buah-buah cinta generasi penerus bangsa berdarah penantang samudra

Rinduku ini rindu renjana
Pekat... lubuk... mengakar agam begitu dalam
Tak mungkin diri lupa tanah dan udara pertama

Aku pergi bercerai dengan manisnya kenangan
Toh demi kebaikan jua
Walau harus menggadaikan memori indah yang sudah jauh di ujung pandang

Di pertengahan hening dan kegelapan
Memori kembali terngiang
Akan pappaseng persatuan dari pemangku adat kami
“Rebba sipatokkong, mali siparappe, sirui menre’ tessirui’ no, malilu-sipakainge, mainge’pi mupaja”

Tak akan pernah terlupakan
Dan telah ku-ejawantahkan di tanah orang ini
Terhadap kerawat dan kawan baru
bineka tunggal ika
yang juga masih saudara setanah ibu pertiwi

walau begitu... sungguh nian...Aku tetap melipat rindu tuk pulang ke kampung!

15 Desember 2012
Semoga waktu datang membelinya dengan senyuman






Wednesday, December 5, 2012

Bahasa Indonesiaku Sayang, Bahasa Indonesiaku Malang


inindonesiaonline.blogspot.com
“Jang dinamakan ‘bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia;…”


  Perkataan di atas diucapkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia sekitar 73 tahun yang lalu. Ucapan yang menggemah ketika Indonesia mulai tumbuh menjadi sebuah bangsa, menjadi sebuah negara, dan menjadi sebuah bahasa. Ucapan yang berani terlontarkan walau dalam kepungan dan ancaman sang penjajah Belanda. Ki Hajar Dewantara nama beliau. Ia dengan begitu tegasnya menyampaikan perkataan tersebut  di ruang Kongres bahasa Indonesia I, di Solo, pada tahun 1939.
  Kongres bahasa Indonesia tersebut sebenarnya merupakan  kelanjutan dari aksi para pemuda dan pemudi dalam Kongres Pemuda yang terlaksana pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta. Sebuah konggres yang tak kalah pula gaungnya. Konggres yang menghasilkan sumpah pemuda yaitu ikrar mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia; dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
  Bahasa Indonesia dari dahulu hingga detik ini digunakan sebagai lingua franca di seluruh tanah Indonesia. Bahasa yang digunakan untuk menyatukan rakyat Indonesia yang menetap di tanah sabang hingga rakyat Indonesia yang bercocok tanam di tanah Merauke. Hal inilah yang diperjuangkan oleh pemuda dan pemudi Indonesia sejak dahulu yang menginginkan bahasa Indonesia menjadi bahasa negara dan bahasa nasional. Hal ini pula yang diinginkan oleh Ki Hajar dewantara dan para pahlawan pendidikan lainnya yang menginginkan bahasa Indonesia menjadi bahasa utama yang digunakan oleh seluruh rakyat di Indonesia. Tentu hal ini ditujukan agar tak ada sekat-sekat dalam perbedaan bahasa dan untuk menyatukan semua ide serta cita dalam satu rasa dan satu bahasa.
  Walaupun demikian, ada, bahkan banyak di antara kita—sang penutur bahasa Indonesia—kurang mensyukuri nikmat bahasa yang diberikan oleh Tuhan ini. Terkadang kita berbahasa tanpa memerhatikan kaidah bahasa dengan alasan bahwa perkara tersebut untuk kalangan ahli bahasa. Terkadang pula kita berbahasa tanpa memerhatikan ejaan yang benar dengan bantahan bahwa bahasa itu intinya komunikatif dan saling mengerti satu sama lain. Bukan hanya itu, terkadang pula tanpa disadari orang-orang berbahasa Indonesia dengan mencampurkannya dengan kosa kata asing agar dapat memperlihatkan tingkatkan keintelektualannya. Begitu pula sebagian rakyat Indonesia di berbagai daerah terkadang berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur dengan kosa kata daerahnya masing-masing. Semua itu seakan menunjukkan bahwa kita kurang mensyukuri nikmat bahasa Indonesia yang telah dianugrahkan oleh Tuhan utuk kita, rakyat Indonesia.
  Penulis masih ingat sebuah adigium yang terkenal dari mantan presiden kita yaitu Presiden Gus Dur dengan bunyi “Gitu aja kok repot!”. Sebuah adigium yang terkenal hingga hampir digunakan oleh segala lapisan masyarakat Indonesia, baik tua maupun muda. Bahkan, adigium tersebut digunakan dalam beberapa iklan yang pernah ditayangkan di televisi misalnya iklan So Klin, iklan Supra Revlon, iklan jamu Nyonya Meneer, iklan umpan burung Gold Coin, dan iklan deterjen Daia. Tentu tujuan penggunaan adigium itu agar iklan-iklan tersebut cepat popular di kalangan masyarakat, sehingga produk tersebut akan laris manis di pasar. Dari segi bisnis langkah yang ditempuh oleh biro-biro iklan tersebut sangat jitu. Namun, dari segi pembinaan bahasa, cara tersebut sangatlah tidak menguntungkan. Sebenarnya, adigium tersebut tidaklah sepantasnya diucapkan oleh sang presiden. Adigium-adigium seperti itulah yang merusak pembinaan dan pengembangan bahasa nasional tercinta. Karena seorang presiden selayaknya menjadi anutan bagi rakyatnya untuk berbicara dengan bahasa yang benar.
  Arkian, tentu pernah kita dapatkan atau kita dengarkan pula sebuah tulisan atau sebuah tuturan bahasa Indonesia yang di dalamnya tecampur dengan kosa kata asing. Contohnya, Dilla Taylor, Project Proposal, Planning, dan sebagainya. Memang, kalimat-kalimat yang biasanya disisipi kosa kata asing akan terdengar lebih canggih. Namun sayang, seakan-akan penulis atau pun pembicara kurang menghargai bahasanya sendiri.  Ia merasa bangga menggunakan kosa kata asing daripada menggunakan kosa kata bahasa Indonesia yang sebenarnya dapat digunakan dalam kalimat yang ia ucapkan. Bukan hanya itu, mungkin saja kosa kata-kosa kata asing tersebut hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang memiliki pendidikan yang memadai tetapi belum tentu dapat dipahami oleh orang-orang yang berpendidikan rendah. Bahkan tidak mustahil bagi mereka tidak memahami kosa kata-kosa kata asing tersebut, seakan-akan dunia Allah ini terasa sempit baginya. Sehubungan dengan itu, ada kaidah yang menyatakan bahwa jika kita berbahasa Indonesia, berbahasa Indonesialah dengan baik. Jika kita berbahasa asing, berbahasa asinglah dengan baik. Dengan kata lain, kita tidak mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing dalam suatu pembicaraan.
  Masalah lain yang timbul ialah nilai terendah pada ujian nasional terbaru ialah terjadi pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi, padahal siswa-siswinya lahir dan besar di Indonesia. Mengapa bukan mata pelajaran bahasa Inggris, matematika, dan mata pelajaran lainnya yang terendah? Ini adalah sebuah keadaan yang sebenarnya tidak mungkin terjadi. Para pelajarnya lebih fasih menjawab pertanyaan-pertanyaan mata pelajaran lain seperti bahasa Inggris padahal ia bukan bahasa negara atau bahasa nasional. Mungkin ini terjadi karena sikap para pelajarnya menganggap bahwa bahasa Indonesia sudah mereka kuasai dan pahami sehingga tidak perlu didalami. Bahkan, boleh jadi para pelajar menganggap bahwa bahasa Indonesia  tidaklah penting dan bukan merupakan pre-tes untuk di pelajari. Berbeda dengan bahasa Inggris yang pamor dan statusnya lebih penting bagi para pelajar untuk mereka dalami dan pelajari.
  Lalu, bagaimanakah seharusnya masyarakat Indonesia menyikapi bahasanya? Ada dua hal yang harus diperhatikan agar dapat membumikan bahasa Indonesia di bumi Indonesia sendiri. Pertama yaitu dari sikap penuturnya. Menumbuhkan rasa cinta bahasa Indonesia bagi para penutur sangat perlu dilakukan. Dengan adanya cinta bahasa Indonesia di hati maka hal itu akan tercermin dengan lisan para penuturnya yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Nah, bagaimanakah menumbuhkan rasa cinta tersebut? Jawabannya adalah tentu saja dengan mengilmuinya. Dengan ilmu, kita dapat memahami cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan ilmu, kita dapat mengetahui manfaat menggunakan bahasa Indonesia. Dan dengan ilmu pula-lah, kita akan mengetahui kerugian ketika tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena tidaklah mungkin kita mencintai sesuatu tanpa mengetahui alasan harus mencintai sesuatu tersebut. Oleh karena itu, menumbuhkan rasa cinta akan bahasa Indonesia adalah hal pertama dan utama yang harus diperhatikan.
  Kedua ialah meningkatkan kompetensi pengajar bahasa Indonesia. Para pengajar harus mengetahui cara mengajarkan bahasa Indonesia yang tepat sesuai kebutuhan para pelajarnya. Untuk menumbuhkan kompetensi tersebut, maka para pengajar perlu diberikan pelatihan, diklat, dan sebagainya. Dengan meningkatnya kompetensi pengajar bahasa Indonesia, maka pengajar tersebut dapat mengajar dengan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks pembelajaran di kelas.
 Untuk mengatasi masalah-masalah kebahasaan yang terjadi maka kita seharusnya menerapkan dua komponen tersebut. Para pemakai bahasa Indonesia harus bergerak untuk meningkatkan keterampilan berbahasanya dengan cara belajar bahasa Indonesia dan memperagakannya sesuai dengan kaidah yang berlaku. Jangan sampai bangsa Indonesia kehilangan identitas, alat pemersatu, dan jati dirinya dengan membumihanguskan bahasa Indonesia di negeri Indonesia sendiri. Sehubungan dengan itu, tentu penggunaan bahasa Indonesia harus disesuaikan dengan konteksnya, baik itu konteks tempat maupun konteks waktu. Tentu berbeda cara penggunaan bahasa Indonesia ketika menggunakannya berbelanja di pasar dan pada saat belajar di ruang kelas. Maka pemakai bahasa yang baik ialah pemakai bahasa yang mampu menggunakan bahasanya pada tempatnya.
  Yah, begitulah rumitnya sejarah bahasa Indonesia sehingga tetap bertahan hingga sekarang tanpa peduli gerusan zaman dan himpitan globalisasi. Bahasa Indonesia tetap bertahan menjadi alat untuk mengungkapkan diri baik secara lisan maupun tertulis, dari segi rasa, karsa, dan cipta serta pikir, baik secara etis, estetis, maupun secara logis. Bahasa yang diperjuangkan dengan penuh pengorbanan hingga meneteskan darah ini tetap bertahan untuk menyatukan sekian banyak rakyat Indonesia yang menetap di berbagai pelosok pulau di negeri ini. Dan sekali lagi, semua itu akan terus menjadi ada dan nyata ketika para pemakainya konsisten dalam menggunakannya sesuai dengan kaidah yang berlaku dan sesuai konteks penggunaannya.
  Mari kita panjangkan cita-cita para pemuda dan pemudi yang rela berkoar meneriakkan sumpahnya pada saat kongres pemuda! Mari kita panjangkan mimpi sang Bapak Pendidikan yang rela berkata lantang untuk membumikan bahasa Indonesia dalam kepungan penjajah pada saat kongres bahasa Indonesia I! Mari bergerak dan memperagakan bahasa Indonesia! Kalau bukan kita, lalu siapa lagi? Kalau bukan sekarang, lalu kapan lagi?

Referansi tambahan:
Arifin, E. Zainal dan Farid hadi. 2009. 1001 Kesalahan Berbahasa. Edisi ketiga, cetakan IV. Jakarta: Akapress.
Badan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. 2010. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian bahasa Indonesia. Makassar: Fakultas Bahasa Dan Satra Universitas Negeri Makassar.

Sunday, December 2, 2012

Wahai Pemuda, Mari Bergerak Hancurkan Korupsi!


     Seorang ulama salaf  bernama Al-Muhasibi (dalam Seribu Hikmah Ulama Salaf: Al-Muhaimid) pernah berkata bahwa kejujuran adalah landasan seluruh amal kebajikan, semakin kuat kejujuran seseorang, maka ia mengalami peningkatan dalam semua amal kebajikan. Mungkin inilah yang telah hilang dari bangsa Indonesia. Organ utama jalannya pemerintahan yang bersih itu mulai pudar dan pupus di hati-hati para petinggi negara ini. Begitu banyak orang pintar, namun begitu langka orang yang jujur.
    Semakin hari, semakin sering saja terdengar perkara-perkara bertema korupsi menghiasi media Indonesia, baik cetak maupun elektronik. Ia bagai momok menakutkan bagi rakyat Indonesia. Momok yang mengikis setiap suap nasi dalam bentuk uang yang harusnya menjadi hak rakyat kini meluncur deras di kantong-kantong para penjahat korupsi berlabel oknum pemerintahan resmi. Lalu, apa pengaruh korupsi bagi demokrasi? Sebagai tulang punggung bangsa, apa pula yang harus dilakukan bagi para pemuda dalam memberantas penyakit kronis Indonesia bernama korupsi?

Korupsi Merusak Tatanan Demokrasi
    Di tengah carut-marut bangsa ini. Di tengah himpitan ekonomi yang begitu sempit ini, korupsi datang menambah parah atas masalah-masalah yang bertubi-tubi menghantam Indonesia. Demokrasi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti gagasan atau pandangan hidup yg mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara seakan hanya menjadi tulisan yang manis dibaca. Perlu kiranya digaris bawahi bahwa persamaan hak dan kewajiban itu masih sekadar mimpi indah yang masih diperjuangkan menjadi kenyataan.
     Lalu mengapa hal itu urung terjadi? Salah satunya, penyakit bernama korupsi menjangkiti raga bangsa ini. Korupsi yang bagai virus mematikan begitu gencar merusak kekebalan-kekebalan eksekutif, legislative, bahkan yudikatif—sebagai wakil rakyat—hingga tak jarang tampillah wajah-wajah penghianat bangsa di media yang memiliki jabatan tinggi di negara. Dari eksekutif sebut saja misalnya adanya dugaan keterlibatan dua menteri kabinet dalam kasus BI. Dari legislatif, tertangkap tangannya beberapa anggota DPR RI tatkala menerima suap. Dari pihak Yudikatif yaitu terbongkarnya campur-tangan jaksa dalam menghentikan kasus BLBI yang merugikan negera sebanyak ratusan triliun rupiah. Selain itu, masih banyak lagi kasus-kasus korupsi yang melimpah di negara tercinta ini andai kita mau menyelidiki dan mencari tahu.
     Korupsi telah menjadi budaya negatif bagi bangsa Indonesia. Budaya korupsi bukan hanya diterapkan di kalangan elit politik namun juga telah menjamur di kalangan rakyat (jelata). Tak jarang terdapat pemandangan korupsi kelas teri terjadi dalam kehidupan masyarakat kecil ini. Tak dapat disangsikan lagi, maraknya kasus korupsi mulai dari kelas teri hingga kelas kakap, baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun secara berjamaah lambat laun akan membawa Indonesia ke dalam jurang kehancuran. Korupsi bagaikan bencana banjir yang menenggelamkan visi dan misi bangsa Indonesia untuk menyejahterakan rakyat. Dampaknya pun bukan perkara ujung kuku. Indonesia sudah jatuh pamor dalam lingkungan internasional, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan penyelenggaraan negara, hingga negera dirugikan entah sudah dalam nominal berapa. Begitu mustahil negara demokrasi bisa terwujud apabila hal itu berlarut hingga kehancuran yang sesungguhnya akan terjadi, ini hanyalah persoalan penentuan waktu kapan itu akan terjadi.

Peran Pemuda dalam Mengatasi Korupsi
      Sebelum dampak yang lebih buruk itu terjadi, Indonesia masih dapat menebas waktu sebelum waktu yang benar-benar menebas tengkuk bangsa Indonesia. Dengan pedang benama pemuda maka hal itu bisa menjadi nyata dan indah. Salah satu founding father Indonesia bernama Soekarno pernah berkata “berikan kepadaku sepuluh pemuda, maka aku goncangkan seluruh dunia”. Nah, bagaimana ketika semua pemuda Indonesia aktif bergerak melakukan perubahan memberantas korupsi? Hasilnya, bisa jadi dunia koruptor akan mengalami gempa tektonik yang begitu dahsyat.
      Mengapa harus pemuda? Tentu! Indonesia harus lebih memprioritaskan pemuda karena jiwa dan raganya yang dalam kondisi puncak, jernih, dan prima—serta diharapkan belum terkontaminasi—dapat memberikan pikiran dan tenaga yang maksimal untuk memunahkan korupsi. Pemuda yang sebagian besarnya mahasiswa masih terjaga keidealannya sebagai calon-calon pemimpin, agen perubah, dan pengontrol sosial. Perjalanan negara ini menjadi negara merdeka berlabel Indonesia juga diawali dengan aksi pemudanya lewat Sumpah Pemuda dan Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan yang didahului aksi pemuda bertajuk Peristiwa Rengas Dengklok. Masa reformasi pun diawali dengan gerakan pemuda yang membahana. Mereka adalah generasi-generasi emas sebuah bangsa. Mereka bak mutiara yang indah sebagai hiasan sekaligus senjata pamungkas bagi sebuah negara, khususnya negara Indonesia.
      Banyak langkah-langkah riil yang bisa dilakukan oleh para pemuda tersebut. Pertama, tentu memulai dari diri sendiri. Sebagai wujud nasionalisme maka pemuda terlebih dahulu menjadi ikon dalam menunjukkan sikap dan perbuatan antikorupsi. Kedua, jujur dan bertanggung jawab dalam setiap perkara yang dilakukan. Jujur dan bertanggung jawab begitu ringan di lisan namun begitu berat diperjuangkan. Adalah sebuah hal yang percuma tatkala para pemuda meneriakkan penolakan terhadap korupsi namun dalam diri sendiri tiada kejujuran dan aksi tanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukan. Pemuda hendaklah dapat mengalahkan hawa nafsunya atas hedonisme serta rakus uang dan kekuasaan sehingga nantinya menjadi pimpinan yang bersih dan amanah. Beratus tahun yang lalu, Sulaiman Bin Daud yang juga adalah ulama salaf (dalam Seribu Hikmah Ulama Salaf: Al-Muhaimid) pernah berkata bahwa sesungguhnya orang yang mampu mengalahkan hawa nafsunya lebih perkasa daripada orang yang mampu menaklukkan kota seorang diri.
     Selanjutnya, Para pemuda juga dapat aktif menyumbangkan pikiran, tenaga, dan dananya di Lembaga Swadaya Masyarakan (LSM) yang bergerak dalam penentangan korupsi, sehingga apa yang dilakukannya menjadi sumbangsih tersendiri bagi negara. Selain itu, para pemuda dapat juga menuliskan ide dan gagasannya dalam memberantas korupsi lewat tulisan yang mereka sebarkan melalui media elektronik maupun media cetak sebagai aksi peduli negeri dan aktualisasi diri pemerhati bangsa. Kemudian, pemuda pun dapat memberikan dukungan, saran, dan kepercayaan bagi lembaga yang bergerak langsung dalam menangani korupsi semisal Komisi Pemberantasan Korupsi agar kinerja lembaga tersebut lebih mumpuni dan maksimal. Serta masih banyak lagi kegiatan-kegiatan positif yang dapat dilakukan pemuda dalam aksi memberantas korupsi.
     Bangsa Indonesia begitu rindu dengan kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran yang selama ini hanya menjadi wacana belaka. Tak ada alasan lagi bagi semua golongan untuk bergerak memberantas korupsi dan mengganyang koruptor tanpa pandang bulu. Khususnya bagi para pemuda sang masa depan depan bangsa karena dipundak merekalah ditaruh mimpi dan cita bangsa. Bergerak memanfaatkan potensi yang ada adalah langkah nyata yang dapat dilakukan para pemuda. Serta tak lupa, sebagai makhluk yang bertuhan, maka hendaknya setiap usaha dibarengi dengan doa dan diakhiri dengan tawakal kepada Allah Tuhan Semesta Alam. Mari bergerak, satukan langkah, hancurkan korupsi. Wallahu a’lam.