Isbal (memanjangkan pakaian hingga di bawah
kedua mata kaki bagi lelaki) termasuk perbuatan dosa yang diremehkan oleh
sebagian umat. Sementara hadits-hadits tentang larangan berisbal-ria telah
mencapai derajat mutawatir maknawi, lebih dari dua puluh sahabat
meriwayatkannya (lihat risalah Syaikh Bakr Abu Zaid yang berjudul Hadduts Tsaub
hal 18)
Para ulama telah sepakat bahwasanya isbal itu haram jika dilakukan karena
sombong. Akan tetapi mereka berselisih pendapat jika isbal dilakukan bukan
karena sombong. Akan tetapi kita dapati pernyataan para ulama yang tidak
menyatakan haram bagi isbal tanpa kesombongan, mereka menyatakan bahwa isbal
tanpa kesombongan hukumnya makruh (dibenci oleh Allah). Karenanya bisa kita
katakan bahwa para ulama sepakat jika isbal tanpa kesombongan adalah makruh.
Jika yang kita dapati orang-orang yang berisbal ria adalah orang-orang awam
yang tidak mengetahui maka masih bisa kita maklumi, akan tetapi yang
menyedihkan adalah sebagian para juru dakwah yang sengaja berisbal ria, bahkan
mencibirkan orang yang tidak isbal. Padahal minimal hukum isbal tanpa
kesombongan adalah makruh. Apalagi pendapat yang lebih kuat bahwasanya hukumnya
adalah haram meskipun tanpa kesomobongan, dan semakin bertambah keharamannya
jika disertai dengan kesombongan.
Diantara dalil yang digunakan untuk menyatakan bahwa isbal –jika tanpa
kesombongan- tidaklah haram akan tetapi hanyalah makruh adalah :
Pertama : Hadits-hadits yang berbicara tentang
pengharaman isbal, selain ada yang bersifat muthlaq, juga ada yang muqoyyad
dengan kesombongan, sehingga hadits yang muthlaq harus diperjelas dengan hadits
yang muqoyyad.
Kedua : Kisah Abu Bakar As-Shiddiq (penjelasan
takhrijnya akan datang) yang melakukannya bukan karena sombong. Di hadapan
syariat, saya dan Abu Bakar sama sederajat. Tindakan yang boleh dilakukan Abu
Bakar, otomatis boleh juga saya kerjakan. Demikian juga rukhshoh yang
dikantongi Abu Bakar juga berhak saya dapatkan.
Sebelum kita membahas sanggahan terhadap dua dalil ini, perlu kita ketahui
bahwasanya diantara sunnah-sunnah Nabi adalah adab berpakaian yang syar'i.
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam telah memberi perhatian yang cukup
besar tentang tata cara berpakaian karena penampakan luar menunjukan apa yang
ada didalam hati manusia. Oleh karena itu jika kita memperhatikan model pakaian
manusia sekarang maka kita dapati masing-masing mereka memakai pakaian yang
menggambarkan akhlak mereka. Orang yang suka kekerasan tentunya pakaiannya
berbeda dengan pakaian orang yang menyukai kelembutan, demikian pula orang yang
sombong tentunya gaya berpakaiannya berbeda dengan orang yang tawadlu. Oleh
karena itu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam melarang kita meniru-niru
gaya berpakaian Yahudi dan Nasrani demikian juga gaya berpakaian majusi.
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam juga melarang meniru gaya berpakaian
orang yang sombong. Berisbal ria merupakan gaya berpakaian orang-orang yang
sombong. Bahkan isbal sendiri merupakan kesombongan. Maka tidaklah sepantasnya
kita mengikuti tata cara berpakaian orang yang sombong.
Sesungguhnya tidak ada orang yang lebih bertakwa dan lebih tawadlu' serta lebih
bersih hatinya dari kesombongan daripada Rasulullah shallallahu 'alihi wa
sallam. Kita lihat bagaimanakah sifat baju beliau karena sesungguhnya baju
beliau menggambarkan tawadlu beliau.
إزاره إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ
"(Ujung)
sarung Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam hingga tengah kedua
betis beliau" (HR At-Thirmidzi di
As-Syama'il dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashor As-Syamail
Al-Muhammadiyah no 97)
Dan hadits Abu Juhaifah:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ وَعَلَيْهِ حُلَّةً حَمْرَاءَ
كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَرِيْقِ سَاقَيْهِ
Saya melihat Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam memakai
baju merah, seakan-akan saya melihat putih kedua betis beliau (HR Al-Bukhori no 633)
Jika Nabi shallallahu 'alihi wa sallam ujung baju dan sarung beliau hingga
tengah betis padahal dia adalah orang yang paling bertakwa dan paling jauh dari
kesombongan bahkan beliau tawadlu kepada Allah dengan memendekkan baju dan
sarung beliau hingga tengah betis dan beliau takut ditimpa kesombongan serta
ujub, maka mengapa kita tidak meneladani beliau??
SANGGAHAN
DALIL PERTAMA:
Sebelum pembahasan perlu kiranya mengetahui hadits-hadits seputar masalah isbal
baik yang muthlaq maupun yang muqoyyad.
Hadits
tentang isbal yang mutlaq
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ
النَّبِيِّ قَالَ :مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَفِي النَّارِ (رواه البخاري )
Dari Abu Hurairah, dari Nabi- beliau bersabda :"Apa saja yang di bawah mata kaki maka di
neraka"
Al-Khattabi menjelaskan, "Maksudnya, bagian kaki yang terkena sarung yang
di bawah dua mata kaki di neraka (bukan sarungnya-pent). Nabi menggunakan kata
pakaian sebagai kinayah (kiasan) untuk (anggota) badan." Ta'wil seperti
ini jika huruf( مِنْ )dalam hadits adalah bayaniah. Namun jika (مِنْ) dalam hadits
bermakna sababiah maka yang dimaksud adalah pemakai pakaian yang musbil (Fathul
Baari :10/317). Nafi', seorang tabi’in, ditanya tentang hal ini, maka beliau
menjawab, "Apa dosa baju? Tapi yang diadzab adalah dua kaki." (Fathul
Baari :10/317)
Ibnu Hajar berkomentar, "… Tidak masalah untuk mengarahkan hadits ini
sesuai dengan makna lahiriahnya (dlohir). Seperti ayat:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ
جَهَنَّمَ
Yang artinya: “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain
Allah menjadi bahan bakar api neraka. ” (QS. Al-Anbiya: 98). (Dan diantara sesembahan orang musyrik Arab
adalah patung-patung benda mati, namun ikut masuk ke neraka -pen)
Atau ancaman tersebut tertuju pada obyek tempat terjadinya kemaksiatan (dalam
hal ini adalah kain celana yang melewati mata kaki) sebagai isyarat bahwa
pelaku maksiatnya tentu lebih pantas untuk terkena ancaman tersebut (Fathul
Baari :10/317).
Syaikh Utsaimin menerangkan: "Jangan heran kalau adzab hanya terlokalisir
pada anggota tubuh tempat timbulnya maksiat (tidak mencakup seluruh badan
-pen). Karena Rasulullah tatkala melihat para sahabatnya tidak menyempurnakan
wudlu mereka, beliau berteriak lantang: وَيْلٌ
لِّلْأَعْقَابِ مِنَ النَّار
(Api neraka bagi tumit-tumit). Di sini, Rasulullah menempatkan lokasi adzab
bagi tumit-tumit yang tidak terbasuh air wudlu. Maka siksaan bisa mencakup
seluruh badan -seperti membakar seluruh tubuh manusia dan bisa hanya mengenai
anggota tubuh tempat terjadinya mukholafah (pelanggaran) tersebut. Hal ini
bukan perkara aneh (Syarah Riyadus Solihin: 2/523).
Hadits
tentang isbal karena kesombongan
Nabi shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ
إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong maka
Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat”. (HR. Bukhari 5788 dari hadits Abu Hurairah dan
Muslim 5424 dari hadits Ibnu Umar)
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ :"
ثَلَاثَةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ
وَلا يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلٍيْمٌ",قَالَ :فَقَرَأَهَا رَسُوْلُ
اللهِ ثَلاثَ مِرَارٍ .قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ :"خَابُوا وَ خَسِرُوْا. مَنْ هُمْ
يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ :"المُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنْفِقُ
سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ"
Dari Abu Dzar dari Nabi, beliau bersabda :"Tiga golongan yang tidak akan
diajak komunikasi oleh Allah pada hari Kiamat dan tidak dilihat dan tidak
(juga) disucikan dan bagi mereka adzab yang pedih. " Abu Dzar
menceritakan, "Rasulullah mengulanginya sampai tiga kali. ",
"Sungguh merugi mereka, siapakah mereka wahai Rasulullah ?" tanya Abu
Dzar. Nabi menjawab: "Orang yang isbal, orang yang mengungkit-ngungkit
sedekahnya dan penjual yang bersumpah palsu." (HR Muslim I/102 no 106)
Walaupun kalimat musbil mutlaq dalam hadits ini, namun para ulama sepakat
maknanya membidik isbal yang dikuti perasaan sombong. Alasannya, adanya
kesamaan hukum (tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat) sebagaimana
ditunjukkan kandungan hadits Ibnu Umar yang lalu.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ:
"بَيْنََا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ إِذْ خُسِفَ بِهِ, فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ
فِي الأَرْضِ إِلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda:
"Tatkala seorang laki-laki sedang mengisbal sarungnya, tiba-tiba bumi
terbelah bersamanya., Maka diapun berguncang-guncang, tenggelam di dalam bumi
hingga hari Kiamat" (HR. Bukhari no: 5790)
Hukum membawa mutlaq ke muqoyyad
Ada empat kondisi ihwal mutlaq dan muqoyyad yang saling berhadapan:
1. Masing-masing hukum dan sebabnya sama.
2. Hukum keduanya sama namun sebabnya berbeda
3. Sebab keduanya sama namun hukumnya berbeda
4. Masing-masing memiliki hukum dan sebab yang berbeda.
Keadaan pertama:
Jika hukum dan sebabnya sama maka mutlaq harus dibawa ke muqoyyad berbeda
dengan pendapat Abu Hanifah. Contohnya firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَ الدَّمُ
Artinya: Diharamkan atas kalian (memakan) bangkai dan darah (Al-Maidah :3) (mutlaq)
Dengan ayat :
أَوْ دَمًا مَسْفُوْحًا
Artinya: …atau darah yang mengalir (Al-An'am : 145) (muqoyyad)
Maka darah yang dimaksud dalam surat Al-Maidah ayat 3 tersebut adalah darah
yang mengalir karena ditaqyid dengan surat Al-An'am ayat 145.
Keadaan
kedua:
Jika hukumnya sama namun sebabnya berbeda seperti firman Allah tentang kaffaroh
(denda) membunuh:
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Artinya: …hamba sahaya yang beriman (An-Nisa 92) dengan firman Allah tentang
kafarah sumpah dan dzihar
رَقَبَة
Artinya:…hamba sahaya (Al-Maidah: 89,
Al-Mujadalah: 3) tanpa ditaqyid dengan unsur keimanan hamba sahaya.
Dalam hal ini, Malikiah dan sebagian Syafi'iah berpendapat mutlaq dibawa ke
muqoyyad sehingga disyaratkan keimanan pada budak untuk kaffaroh sumpah dan
dzihar. Adapun mayoritas Hanafiah dan sebagian Syafi'iah dan satu riwayat dari
Imam Ahmad memilih bahwa mutlaq tidak perlu diangkat pada nash muqoyyad.
Keadaan
ketiga:
Adapun jika hukumnya berbeda dan sebabnya sama maka sebagian ulama berpendapat
mutlaq tidak dibawa ke muqoyyad (ini juga merupakan pendapat Ibnu Qudamah).
Ulama yang lain berpendapat bahwa mutlaq dibawa ke muqoyyad. Contohnya puasa
dan membebaskan budak karena dzihar, keduanya ditaqyid dengan firman Allah:
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
Artinya: ...sebelum kedua suami istri itu bercampur..( Al-Mujadalah :3)
Adapun memberi makan orang miskin mutlaq tanpa taqyid (pengarahan tertentu),
maka harus ditaqyid juga dengan (..sebelum kedua suami istri itu bercampur..).
Keadaan
keempat:
Jika sebab dan hukumnya berbeda maka para ulama telah sepakat bahwa mutlaq
tidak dimasukkan ke dalam nash muqoyyad (Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi,
Mudzakkiroh Usul Fiqh hal 411-412).
Berkaitan dengan perkara isbal, ternyata nash mutlaq dan nash muqoyyad
menyinggungnya. Namun nash mutlaq tidak diikat nash muqoyyad. Sebab nash-nash
yang ada termasuk kategori keadaan yang ke empat. Tidak ada khilaf dikalangan
para ulama bahwa pada keadaan yang keempat (sebab dan hukumnya berbeda) mutlaq
tidak boleh dibawa ke muqoyyad.
Penjelasan
Syaikh Utsaimin
Syaikh Utsaimin menjelaskan : "Mengisbalkan pakaian ada dua bentuk :
Bentuk yang pertama: Menjulurkan pakaian hingga ke tanah dan
menyeret-nyeretnya. Bentuk yang kedua: Menurunkan pakaian hingga dibawah mata
kaki tanpa berakar pada kesombongan.
Jenis yang
pertama adalah orang yang
pakaiannya isbal hingga sampai ke tanah disertai kesombongan. Nabi shallallahu
'alihi wa sallam telah menyebutkan, pelakunya menghadapi empat hukuman : Allah
tidak berbicara dengannya pada hari Kiamat, tidak melihatnya (yaitu pandangan
rahmat), tidak menyucikannya serta mendapat adzab yang pedih. Inilah empat
balasan bagi orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong…
Sedangkan pelaku isbal tanpa disertai kesombongan maka hukumannya lebih ringan
. Dalam hadits Abu Hurairah, Nabi berkata: (Apa yang dibawah mata kaki maka di
neraka). Nabi tidak menyebutkan
kecuali satu hukuman saja. Juga hukuman ini tidak mencakup seluruh badan,
tetapi hanya khusus tempat isbal tersebut (yang di bawah mata kaki). Jika
seseorang menurunkan pakaiannya hingga di bawah mata kaki maka dia akan dihukum
(bagian kakinya) dengan api neraka sesuai dengan ukuran pakaian yang turun
dibawah mata kaki tersebut, tidak merata pada seluruh tubuh (Syarah Riyadhus
Sholihin 2/522-523, Syaikh Utsaimin).
Hukum orang yang mengisbalkan bajunya karena sombong adalah: Allah tidak akan
melihatnya pada hari Kiamat, tidak berbicara dengannya, tidak menyucikannya,
serta mendapat adzab yang pedih. Adapun orang yang menurunkan pakaiannya
dibawah mata kaki maka hukumnya "di neraka" saja, dan ini adalah
hukum juz'i (lokal) yang khusus (hanya menyangkut bagian tubuh yang pakaiannya
melewati mata kaki saja-pent). Maka kalau kita geser mutlaq ke muqoyyad
berkonsekuensi salah satu hadits mendustakan hadits yang lainnya.
Perhatikanlah
titik penting ini. Jika
hukum berbeda, lalu mutlaq dibawa ke muqoyyad (seperti permasalahan isbal) maka
berdampak pada pendustaan salah satu hukum terhadap hukum lainnya. Karena jika
engkau jadikan (Apa yang di bawah mata kaki di neraka) hukumnya seperti orang
yang isbal karena sombong,….hukumnya jadinya apa?? Sanksinya bukan hukum khusus
tetapi hukumannya (hukum yang pertama) naik menjadi lebih berat (berubah
menjadi hukum yang kedua, dengan empat ancaman, sebagaimana telah lalu). Dan
ini berarti hukum yang ada di hadits yang pertama adalah dusta.
Jenis aktifitasnya juga berbeda. Yang pertama menurunkan pakaiannya hingga
dibawah mata kaki dan tidak sampai ke tanah tetapi dibawah mata kaki adapun
yang kedua kerena dia menyeret-nyeret pakaiannya" (Syarah Usul min ilmil
usul hal 335-336)
Dengan demikian maka kita mengetahui lemahnya pendapat Imam Nawawi tentang haramnya isbal karena sombong dan
makruhnya isbal jika tanpa disertai takabur . Yang benar hukumnya adalah haram,
sama saja karena sombong atau tidak. Bahkan faktanya, isbal ada adzab yang
khusus, diancam dengan neraka kalau tanpa sombong, dan jika karena sombong maka
diancam dengan empat hukuman. (Syarh Riyadlus Saalihin 2/523)
Hadits-hadits yang menunjukkan tidak dibawanya mutlaq ke
muqoyyad
Hadits yang pertama
Adanya hadits-hadits tentang larangan isbal secara mutlaq. Diantaranya:
Dari Al-Mugiroh bin Syu'bah berkata, " Rasulullah shallallahu 'alihi wa
sallam berkata:
يَا سُفْيَانُ بنِ سَهْلٍ لا تُسْبِلْ فَإِنَّ اللهَ لا
يُحِبُّ الْمُسْبِلِيْنَ
"Wahai Sufyan bin Sahl, Janganlah engkau isbal!. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang isbal." (HR Ibnu Majah II/1183 no 3574 dan
dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 4004)
Dan hadits Hudzaifah, berkata, "Rasulullah memegangi betisnya dan berkata:
"Ini adalah tempat sarung (pakaian bawah), jika engkau enggan maka turunkanlah,
فَإِنْ أَبَيْتَ فَلا حَقَّ لِلإِزَارِ فِي
الْكَعْبَيْنِ dan jika
enggau enggan maka tidak ada haq bagi sarung di kedua mata kaki."( HR At-Thirmidzi III/247 no 1783, Ibnu
Majah II/1182 no 3572, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah V/481
no 2366).
Berdasarkan tekstual (dlohir) hadits ini, izar (pakaian bawah) tidak boleh
diletakkan di mata kaki secara mutlaq, baik karena sombong atau tidak. (lihat
As-Shahihah 6/409)
Berkata Nabi shallallahu 'alihi wa sallam ,
نِعْمَ الَّجُلُ خَرِيْم الأَسَدِي لَوْلا طُوْلُ
جُمَّتِهِ وَإِسْبَالُ إِزَارِه
"Sebaik-baik orang adalah Khorim Al-Asadi, kalau bukan karena panjangnya
jummahnya dan sarungnya yang isbal." (Berkata Syaikh Walid bin Muhammad, "Hadits
hasan lighairihi,diriwayatkan oleh
Ahmad (4/321,322,345) dari hadits Khorim bin Fatik Al-Asadi. Dan pada isnadnya
ada perowi yang bernama Abu Ishaq, yaitu As-Sabi'i dan dia adalah seorang
mudallis, dan telah meriwayatkan hadits ini dengan 'an'anah. Namun hadits ini
ada syahidnya (penguatnya) yaitu dari hadits Sahl bin Al-Handzoliah yang
diriwayatkan oleh Ahmad (4/179,180) dan Abu Dawud (4/348) dan pada sanadnya ada
perowi yang bernama Qois bin Bisyr bin Qois At-Thaglabi, dan tidak meriwayatkan
dari Qois kecuali Hisyam bin Sa'd Al-Madani. Berkata Abu Hatim: Menurut saya
haditsnya tidak mengapa. Dan Ibnu Hibban menyebutnya di Ats-Tsiqoot. Berkata
Ibnu Hajar tentang Hisyam: "Maqbul" –yaitu diterima haditsnya jika
dikuatkan oleh riwayat yang lain dari jalan selai dia, dan jika tidak ada riwayat
yang lain (mutaba'ah) maka haditsnya layyin-. Dengan demikian derajat hadits
ini adalah hasan lighoirihi, alhamdulillah. Dan hadits ini telah dihasankan
oleh Imam An-Nawawi dalam Riadhus Sholihin", lihat Al-Isbal, hal 13)
Hadits yang kedua
عَنْ عَمْرٍو بْنِ الشَّرِيْدِ قَالَ: أَبْعَدَ رَسُوْلُ
اللهِ رَجُلاً يَجُرُّ إِزَارَهُ فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ, أَوْ هَرْوَلَ فَقَالَ:
"اِرْفَعْ إِزَارَكَ وَاتَّقِ اللهَ!" قَالَ:"إِنيِّ أَحْنَفَ
تَصْطَلِكُ رُكْبَتَايَ, فَقَالَ: "اِرْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّ كُلَّ خَلْقِ
اللهِ حَسَنٌ". فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلاَّ إِزَارُهُ
يُصِيْبُ أَنْصَافَ سَاقَيْهِ أَوْ إِلَى أَنْصَافَ سَاقَيْهِ
Dari 'Amr bin Syarid, berkata, "Rasulullah melihat dari jauh seseorang
yang menyeret sarungnya (di tanah) maka Nabi pun bersegera segera atau berlari
kecil untuk menghampirinya. Lalu beliau berkata, "Angkatlah sarungmu dan
bertakwalah kepada Allah!" Maka orang tersebut memberitahu, "Kaki
saya cacat (kaki x-pen), kedua lututku saling menempel." Nabi shallallahu
'alihi wa sallam tetap memerintahkan, "Angkatlah sarungmu. Sesungguhnya
seluruh ciptaan Allah indah." (Setelah itu) orang tersebut tidak pernah
terlihat lagi kecuali sarungnya sebatas pertengahan kedua betisnya." (HR.
Ahmad IV/390 no 19490, 19493 dan At-Thobrooni di Al-Mu’jam Al-Kabiir VII/315 no
7238, VII/316 no 7241. Berkata Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa’id V/124, “Dan
para perawi Ahmad adalah para perawi As-Shahih”. Lihat Silsilah As-Shahihah
no:1441)
Hadits ini dengan kasat mata menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
tetap memerintahkan orang ini meski isbal bukan timbul dari rasa congkak,
tetapi hanya bertujuan untuk menutupi kekurangannya (cacat). Bahkan Rasulullah
tidak memberinya maaf. Bagaimana dengan kaki kita yang tidak cacat…?
tentunya kita malu dengan sahabat orang tersebut yang rela terlihat cacatnya
demi melaksanakan sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam.
Hadits yang ketiga
Hadits yang memadukan kedua bentuk isbal dalam satu redaksi :
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِي قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ :"إِزَارُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ, وَلا حَرَج - أَوْ وَلا
جُنَاح – فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ, فَمَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ
الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ, مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ
اللهُ إِلَيْهِ
Dari Abu Said Al-Khudri berkata, "Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda:
Sarung seorang muslim hingga tengah betis dan tidak mengapa jika di antara
tengah betis hingga mata kaki. Segala (kain) yang di bawah mata kaki maka
(tempatnya) di neraka. Barang siapa yang menyeret sarungnya (di tanah-pent)
karena sombong maka Allah tidak melihatnya." (HR. Abu Daud no: 4093, Malik no: 1699, Ibnu
Majah no: 3640. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin,
Syaikh Albani dan Syaikh Syu'aib Al-Arnauth)
Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa Nabi shallallahu 'alihi wa sallam menyebutkan
dua bentuk amal tersebut (isbal secara mutlaq dan isbal karena kesombongan-pen)
dalam satu hadits, dan memerinci perbedaan hukum keduanya karena adzab keduanya
berlainan. Artinya, kedua amal tersebut ragamnya berbeda sehingga berlainan
juga pandangan hukum dan sanksinya. (As'ilah Muhimmah hal:30, sebagaimana
dinukil dalam Al-Isbal hal: 26)> Hadits ini juga mendukung tidak perlunya
membawakan nash yang mutlaq pada nash yang muqoyyad.
Hadits yang keempat
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ :قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :
": مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ", فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ :"فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ
النِّسَاءُ بِذُيُوْلِهِنَّ ؟" قَالَ :"يُرْخِيْنَ شِبْرا",
فَقَالَتْ :"إِذاًَ تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ", قَالَ
:"فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لا يَزِدْنَ عَلَيْهِ"
Dari Ibnu Umar, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
bersada: Barang siapa menjulurkan pakaiannya (di tanah) Allah
tidak akan melihatnya pada hari kiamat." Ummu Salamah bertanya, "Apa yang harus
dilakukan para wanita dengan ujung-ujung baju mereka?" Rasulullah
menjawab, "Mereka menurunkannya (di bawah mata kaki) hingga
sejengkal.” Kalau begitu akan
tersingkap kaki-kaki mereka", jelas Ummu Slamah. Rasulullah shallallahu
'alihi wa sallam berkata (lagi):, "Mereka turunkan hingga sehasta
dan jangan melebihi kadar tersebut".(HR At-Thirmidzi IV/223 no 1731 dan berkata, “Ini adalah hadits
hasan shahih”, An-Nasa’i VIII/209 no 5337 dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani)
Ibnu Hajar mengkritik pandangan Imam Nawawi, isbal hanya haram saat
bergandengan dengan kesombongan, dengan berkata: "…Kalau memang demikian,
untuk apa Ummu Salamah istifsar (bertanya) berulang kali kepada Nabi tentang
hukum para wanita yang menjulurkan ujung-ujung baju mereka?. Salah seorang
Ummahatul Mukminin ini memahami bahwa isbal dilarang secara mutlaq baik karena
sombong atau tidak, maka beliau pun menanyakan tentang hukum kaum wanita yang
isbal lantaran mereka harus melakukannya untuk menutupi aurat mereka, sebab
seluruh kaki perempuan adalah aurat. Maka Nabi pun menjelaskan, bahwa para
wanita berbeda dari kaum laki-laki dalam hukum larangan isbal…" (Fathul
Baari 10/319).
Syaikh Al-Albani memaparkan : "Nabi tidak mengizinkan para wanita untuk
isbal lebih dari sehasta karena tidak ada manfaat di dalamnya (karena dengan
isbal sehasta kaki-kaki mereka sudah tersembunyi -pen), maka para lelaki lebih
pantas dilarang untuk menambah (panjang celana mereka, karena tidak ada
faedahnya sama sekali)" (Ash-Shahihah VI/409)
Berkata Ibnu Hajar (Fathul Bari 10/319): Hadits Ummu Salamah ada syahidnya dari
hadits Ibnu Umar diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui jalan Abu As-Siddiq dari
Ibnu Umar, beliau berkata: رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ
لأُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ شِبْرًا ثُمَّ اسْتَزَدْنَهُ فَزَادَهُنَّ شِبْرًا Rasulullah memberi rukhsoh
(keringanan) bagi para Ummahatul mu'minin (istri-istri beliau) (untuk
menurunkan ujung baju mereka) sepanjang satu jengkal, kemudian mereka meminta
tambah lagi, maka Rasulullah mengizinkan mereka untuk menambah satu jengkal
lagi (HR Abu Dawud no 4119,
dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani. Lihat juga As-Shahihah no 460). Perkataan
Ibnu Umar "Rasulullah memberi rukhsoh" menunjukan bahwa hukum isbal
pada asalnya haram, atau hukum menaikkan pakaian diatas mata kaki hukumnya
adalah wajib. Karena kalimat "rukshoh" (keringanan/dispensasi)
biasanya digunakan untuk menjatuhkan hal-hal yang asalnya adalah wajib (atau
untuk melakukan hal-hal yang asalnya terlarang) karena suatu sikon.
Hadits yang kelima :
وَلا تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوْفِ وَ أَنْ
تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَ أَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ, إِنَّ ذَلِكَ مِنَ
الْمَعْرُوْفِ وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ, فَإِنْ أَبَيْتَ
فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ, وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ
الْمَخِيْلَةِ وَ إِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ الْمَخِيْلَةَ
“Dan
janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun. Engkau berbicara dengan
saudaramu sambil bermuka manis juga merupakan kebaikan. Angkatlah sarungmu
hingga tengah betis! jika engkau enggan maka hingga dua mata kaki. Waspadalah
engkau dari isbal karena sesungguhnya hal itu (isbal) termasuk
kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan.” (HR. Ahmad (V/64) no 20655, Abu Dawud (IV/56)
no 4084, dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro (X/236) no 20882,
Ibnu Abi Syaibah (V/166) no 24822, Abdurrozaq dalam mushonnafnya (XI/82) no
19982, At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir (VII/63) no 6384 dan dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani).
Ibnul 'Arabi menggariskan, “Seseorang tidak boleh menjulurkan pakaiannya
melewati mata kakinya kemudian berkilah : "Saya tidak menjulurkannya
karena kesombongan". Karena larangan (dalam hadits) telah mencakup dirinya.
Seseorang yang secara hukum terjerat dalam larangan, tidak boleh berkata
(membela diri), saya tidak mengerjakannya karena 'illah (sebab) larangan pada
hadits (yaitu kesombongan) tidak muncul pada diri saya. Hal seperti ini adalah
klaim (pengakuan) yang tidak bisa diterima, sebab tatkala dia memanjangkan
ujung pakaiannya sejatinya orang tadi menunjukan karakter kesombongannya."
Usai menukil ungkapan Ibnu ‘Arabi di atas, Ibnu Hajar menetapkan :
"Kesimpulannya, isbal berkonsekuensi (melazimkan) pemanjangan pakaian.
Memanjangkan pakaian berarti (unjuk) kesombongan walaupun orang yang memakai
pakaian tersebut tidak berniat sombong." ( Fathul Baari 10/325)
Walhasil, isbal yang bebas dari niat untuk sombong adalah kesombongan juga. Dan
jika berkombinasi dengan selipan sombong maka menjadi sombong
kuadrat.
SANGGAHAN
DALIL KEDUA
Kisah Abu Bakar As-Shidiq kadang-kadang menjadi acuan alternatif sebagian orang
untuk melegalisasikan isbal yang dilakukannya. Berikut ini redaksinya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ
النَّبِيِّ قَالَ : مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ, قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّ أَحَدَ
شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ
: لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
Dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, beliau bersabda, "
Barang siapa yang menyeret pakaiannya (di tanah) karena sombong, Allah tidak
akan melihatnya pada hari Kiamat.", Abu Bakar mengeluh "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya salah satu sisi sarung (pakaian bawah)ku (melorot)
turun (melebihi batas mata kaki) kecuali kalau aku (senantiasa) menjaga
sarungku dari isbal". Nabi shallallahu 'alihi wa sallam mengatakan
:"Engkau bukan termasuk yang melakukannya karena sombong." (HR
Al-Bukhari no 5784)
Dengan berbekal tekstual tanya-jawab di atas, tersimpul ungkapan demikian:”Saya
isbal bukan lantaran sikap sombong persis seperti pengakuan kepada Rasullah
shallallahu 'alihi wa sallam, tanpa ada unsur takabur. Saya dan Abu Bakar
memiliki kedudukan sama di depan hukum Allah, apa yang boleh bagi Abu Bakar
maka boleh juga bagi saya. Kalau Abu Bakar boleh untuk isbal tanpa sombong maka
saya pun juga boleh melakukannya."
Maka
jawabannya :
Ibnu Hajar menjelaskan :"Sebab isbalnya sarung Abu Bakar adalah karena
tubuhnya yang kurus". (Fathul Baari 10/314)
Ibnu Hajar menambah, "Pada riwayat Ma'mar yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad
(redaksinya):
إِنَّ إِزَارِي يَسْتَرْخِي أَحْيَانًا
Sesungguhnya sarungku terkadang turun ." (Fathul Baari 10/314)
Abu Bakar adalah orang yang kurus, jika beliau bergerak, berjalan atau
melakukan gerakan yang lainnya, pakaian bawahnya (izar), melorot turun tanpa
disengaja. Namun jika beliau menjaga (memperhatikan) sarungnya maka tidak
menjadi turun.
Hadits ini menunjukan bahwa secara mutlak, tidak masalah, sarung yang terjulur
di bawah mata kaki kalau tanpa sengaja (Fathul Baari 10/314), sebagaimana Rasulullah
pernah mengisbal sarung beliau tatkala tergesa-gesa untuk shlolat gerhana
matahari. Abu Bakroh menceritakan:
خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ, فَقَامَ
يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلاً حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ
"Terjadi gerhana matahari dan kami sedang berada di sisi Nabi, maka Nabi
pun berdiri dalam keadaan mengisbal sarung beliau karena tergea-gesa, sampai memasuki masjid." (HR Al-Bukhari
no 5785)
Ibnu Hajar berkesimpulan, "Pada hadits ini (terdapat dalil) bahwa isbal
(yang muncul) dengan alasan ketergesaan tidak termasuk dalam larangan"
(Al-Fath 10/315)
Ada beberapa point untuk mencounter orang yang bepegang erat dengan hadits Abu
Bakar:
1. Sangat tepat bahwa anda dan Abu Bakar sama kedudukannya di mata hukum, apa
yang menjadi dispensasi bagi Abu Bakar juga berlaku bagi saudara. Akan tetapi,
apakah isi kalbu anda sama persis dengan yang terdapat dalam hati Abu
Bakar??!!.
2. Abu Bakar kita pastikan tidak sombong karena ada nash sharih dan persaksian
dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bahwasanya Ash-Shiddiq tidak sombong.
Kalau saudara bisa menghadirkan persaksian Nabi bahwa saudara bebas dari
kecongkakan saat berisbal-ria, maka kami sami'na wa atha'na. Bahkan Syaikh
Utsaimin sendiri menantang: "Jika kami mengingkarimu maka silahkan kau
potong lidah kami". Namun ini mustahil, bagaimana mungkin anda membawakan
mendatangkan persaksian Rasulullah. (Syarh Al-Ushul min 'ilmil ushul 335)
3. Isbal yang terjadi pada Abu Bakar bukan karena faktor kesengajaan. Beliau
bahkan menghindarinya, namun karena beliau orang yang tidak berbadan gemuk,
akibatnya pakaian bawah beliau melorot turun di bawah mata kaki. Adapun anda,
sengaja melakukannya, bahkan kepada penjahit, anda menginsruksikan
"panjangkan celanaku (sekian),", "turunkan celanaku
(sekian)".
4. Anggaplah argumentasi anda itu benar bahwa isbal tanpa kesombongan tidak
bermasalah, namun secara implisit, jika saudara sedang isbal berarti saudara
sedang memproklamirkan diri bahwa saudara bukanlah orang yang sombong tatkala
sedang berisbal. Padahal Allah berfirman : فَلا
تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى . Artinya: "Maka Janganlah Kalian mentazkiah diri kalian,
Allah lebih tahu siapa yang bertaqwa"
5. Berkaitan dengan kisah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, tidak ada satu riwayat
pun yang menceritakan, usai mendengarkan pernyataan Rasulullah shallallahu
'alihi wa sallam tersebut di atas, lantas beliau ia berisbal ria sepanjang
hari. Pada prinsipnya, riwayat tersebut menunjukkan bahwa pakaian bawah beliau
tidak melewati mata kaki, akan tetapi tanpa disengaja turun, sehingga beliau
harus menariknya kembali. Berbeda dengan mereka yang dari awal pakaiannya
melebihi mata kaki, dengan demikian kisah Abu Bakar tidak bisa dijadikan
sebagai pegangan.
Sebuah
renungan…
Sombong adalah masalah hati. Saat menegur orang yang isbal sebagaiamana yang
dipraktekan oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam demikian juga para
sahabat, mereka tidak pernah sama sekali bertaanya sebelum menegur:
"Apakah engkau melakukannya karena sombong? Kalau tidak, no problem. Kalau
benar lantaran sombong, angkat celanamu!" Seandainya isbal tanpa diiringi
sombong diijinkan, artinya tatkala menegur orang yang isbal seakan-akan
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam sedang menuduhnya sombong. Demikian
juga para sahabat tatkala menegur orang yang isbal berarti telah menuduhnya
sombong. Padahal kesombongan tempatnya di hati, sesuatu yang sama sekali tidak
diketahui oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dan para sahabat.
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda : إِنِّي
لَمْ أُوْمَرْ أَنْ أُنَقِّبَ قُلُوْبَ النَّاسِ . Artinya: "Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk mengorek isi
hati manusia ." (HR :Bukhari no 4351)
Syaikh Bakr Abu Zaid berargumen, "Kalau larangan isbal hanya hanya
bertautan dengan sikap sombong, tidak terlarang secara mutlak, maka
pengingkaran terhadap isbal tidak boleh sama sekali, karena kesombongan
merupakan amalan hati. Padahal telah terbukti pengingkaran (Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallamdan para sahabat) terhadap orang yang isbal tanpa
mempertimbangkan motivasi pelakunya. (sombong atau tidak)." (Haduts Tsaub
hal 22)
Ibnu Umar bercerita, "Saya melewati Rasulullah dan sarungku isbal, maka
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkomentar: "Wahai Abdullah,
angkat sarungmu!". Aku pun mengangkatnya. "Angkat lagi!",kata
beliau lagi. Maka aku pun tambah mengangkatnya. Setelah itu, aku selalu
memperhatikan sarungku (agar tidak isbal)". Sebagian orang menanyakan: "Sampai
mana (engkau mengangkat sarungmu)?". Ibnu Umar menjawab: "Hingga
tengah dua betis" (HR: Muslim 5429)
Syaikh Al-Albani berkesimpulan: "Kisah ini merupakan bantahan kepada para
masyaikh (para kyai, pen) yang memanjangkan jubah-jubah mereka hingga hampir
menyentuh tanah dengan dalih mereka melakukannya bukan karena sombong. Mengapa
mereka tidak meninggalkan isbal tersebut demi mengikuti perintah Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam kepada Ibnu Umar (untuk mengangkat sarungnya)
ataukah hati mereka lebih suci dari isi hati Ibnu Umar?" (As-Shahihah
4/95).
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam tetap menegur Ibnu Umar, padahal Ibnu
Umar sebuah figur yang jauh dari kesombongan, bahkan beliau termasuk sahabat
yang mulia dan paling bertakwa, namun Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
tidak membiarkannya isbal, beliau tetap memerintahkannya untuk mengangkat
sarungnya. Bukankah ini menunjukan bahwa adab ini (tidak isbal) tidak hanya
berlaku pada orang yang berniat sombong saja ?.
Bahkan Ibnu Umar sangat takut dirinya terjatuh dalam kesombongan karena memakai
pakaian yang menunjukan kesombongan
Dari Qoz’ah berkata, “Aku melihat Ibnu Umar memakai pakaian yang kasar atau
tebal, maka aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku datang kepadamu membawa
sebuah baju yang halus yang dibuat di Khurosaan dan aku senang jika aku melihat
engkau memakainya.” Ibnu Umar berkata, “Perlihatkanlah kepadaku”, maka
beliaupun memegangnya dan berkata, “Apakah ini dari kain sutra?”. Aku berkata,
“Bukan, ia terbuat dari kain katun”. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku takut
untuk memakainya, aku takut aku menjadi seorang yang sombong lagi membanggakan
diri dan Allah tidak suka semua orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
(Siyar A’laam An-Nubalaa’ III/233)
Berkata Adz-Dzahabi mengomentari kisah ini, “Setiap pakaian yang menimbulkan
pada disi seseorang sikap sombong dan membanggakan diri maka harus ditinggalkan
meskipun pakaian tersebut bukan terbuat dari emas ataupun kain sutra. Karena
sesungguhnya kami melihat seorang pemuda yang memakai jenis pakaian mahal yang
harganya empat ratus dirham dan yang semisalnya, dan sikap sombong dan angkuh
nampak sekali dalam cara jalannya, maka jika engkau menasehatinya dengan
kelembutan maka ia akan menentang dan berkata, “Tidak ada rasa angkuh dan rasa
sombong (pada diriku)”. Padahal Ibnu Umar takut rasa angkuh menimpanya.
Demikian juga engkau melihat seorang ahli fikih yang hidupnya mewah jika
ditegur karena celananya yang molor hingga di bawah dua mata kaki dan dikatakan
kepadanya bahwa Nabi shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda, ((Apa saja
dari sarung yang di bawah mata kaki maka di neraka)), maka ia berkata, “Sesungguhnya ini hanya
berlaku pada orang yang menjulurkan sarungnya karena sombong, dan aku tidaklah
melakukannya karena sombong”, maka engkau lihat dia menentang dan berusaha
menyatakan bahwa dirinya yang bodoh itu terbebas dari sifat sombong, dan ia pergi ke
dalil yang umum (yang tidak menyebutkan kesombongan –pen) lalu ia khususkan
dengan hadits lain yang terpisah yang menyebutkan kesombongan. Dia juga mencari dispensasi dengan berdalil
dengan perkataan Abu Bakar As-Shiddiiq, “Wahai Rasulullah, sarungku molor
(hingga di bawah mata kaki)”, maka Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
berkata, “Engkau tidaklah termasuk orang-orang yang melakukannya karena
sombong”.
Maka kami katakan, “Abu Bakar tidaklah mengencangkan sarungnya di bawah mata
kaki sejak awal, akan tetapi beliau mengencangkan sarungnya di atas mata kaki
kemudian berikutnya sarungnya tersebut molor”…dan hukum larangan ini juga
berlaku pada orang yang memanjangkan celana panjangnya hingga menutupi mata
kaki….” (Siyar A’laam An-Nubalaa’ III/234)
Bukti lain, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam juga menegur Jabir bin Sulaim,
seorang penduduk dari Tsaqif (lihat : As-Shahihah no 1441), dan 'Amr bin
Zuroroh Al-Anshori, merekapun akhirnya mengangkat sarung mereka hingga tengah
betis (Lihat Hadduts Tsaub, hal 22) .
PERINGATAN
(1) : Jika ada yang
berkata : Ngapain membahas hukum isbal?, toh ini hanya permasalahan qusyur
(kulit) agama, bukan masalah inti agama !!!
Kita
katakan :
Para ulama dalam banyak tulisan-tulisan mereka telah menggandengkan antara
hukum-hukum ibadah dan mu’amalah. Contohnya bisa kita lihat dalam buku-buku
hadits seperti Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan yang lainnya, demikian
juga dalam buku-buku fiqh Islam, maka kita akan dapati kitabul Adab dan kitabul
Libaas (pakaian) berkaitan dengan ibadah seperti sholat dan puasa (Dan masalah
isbal selain disebutkan oleh para ulama dalam bab tersendiri dia juga
disebutkan oleh para ulama dalam bab sholat (yaitu berkaitan dengan pakaian
dalam sholat). Hal ini menunjukan bahwa Islam memperhatikan dengan
perkara-perkara ini (yang kalian anggap sebagai kulit semata) sebagaimana
perhatian Islam terhadap ibadah. Allah telah berfirman,
مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ (الأنعام : 38 )
“Tiadalah
Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Alkitab .”(QS. 6:38)
Orang-orang musyrik berkata kepada Salman Al-Farisi, “Sesungguhnya Nabi kalian
mengajarkan kepada kalian segala sesuatu hingga adab buang air”, maka Salman
berkata, “Benar, sesungguhnya ia telah melarang kami buang air besar atau buang
air kecil sambil menghadap kiblat, atau kami beristinja’ (cebok) dengan
menggunakan tangan kanan, atau kami beristinja’ dengan batu kurang dari tiga,
atau kami beristinja’ dengan menggunakan kotoran atau tulang.” (HR Muslim I/223
no 262)
Seandainya isbal itu hanya sekedar perkara kulit agama, apa yang mendorong Nabi
shallallahu 'alihi wa sallam dan para shahabat, demikian juga para ulama
meyibukkan diri mereka untuk memperingatkan orang dari perkara kulit tersebut
(baca: isbal)??. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam sebagaimana telah lalu
begitu bersemangat mengingatkan orang yang isbal. Karena terlalu bersemangatnya
hingga beliau sambil berlari-lari kecil untuk memperingatkan orang tersebut.
Demikian juga semangat para sahabat untuk mengingatkan orang dari isbal.
Muhammad bin Ziad berkata, "Tatkala melihat seseorang menyeret sarungnya
(isbal), Saya mendengar Abu Hurairah meneriaki sambil menginjak-injakkan
kakinya ke tanah, dan ketika itu Abu Hurairah adalah amir (penguasa) Bahrain:
"Amir telah datang, Amir telah datang! Rasulullah pernah bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada orang yang mengisbal sarungnya
karena sombong." (HR: Muslim :5430)
Cermatilah, bagaimana semangat Abu Hurairah dalam mengingatkan orang tersebut
padahal Abu Hurairah ketika itu adalah seorang amir, namun kedudukannya tidak
menyibukkan dia untuk tidak bernahi munkar. Dia tidak memandang isbal adalah
perkara sepele sehingga dibiarkan saja mengingat kedudukannya yang tinggi
sebagai penguasa Bahrain, yang tentunya adatnya seorang penguasa adalah penuh
dengan kesibukan dengan perkara-perkara besar. Kapan kita menggebu-gebu untuk
memperingatkan saudara-saudara kita dari isbal??
Ibnu Abdil Barr berkata, "Termasuk riwayat yang paling mengena tentang hal
ini, apa yang diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyaiynah dari Husain dari 'Amr bin
Maimun berkata: "Tatkala Umar ditikam, manusia berdatangan menjenguk
beliau. Diantara pembezuk, seorang pemuda dari Quraisy. Ia memberi salam kepada
Umar. (Begitu hendak bergegas pergi) Umar melihat sarung pemuda tersebut dalam
keadaan isbal, serta-merta beliau memanggilnya kembali dan berkata,
"Angkat pakaianmu karena hal itu lebih bersih bagi pakaianmu dan engkau lebih
bertaqwa pada Rabbmu." (Selengkapnya lihat Bukhari no:3700). 'Amr bin
Maimun berkomentar :" Kondisi Umar ( yang kritis) tidak menghalanginya
untuk menyuruh anak muda tadi agar mentaati Allah." (Fathul Malik Bi
tabwibi At-Tamhid 9/384)
Berkata Ibnu Umar tatkala melihat sikap ayahnya ini,
عَجَبًا لِعُمَرَ إِنْ رَأَى حَقَّ اللهِ عَلَيْهِ
فَلَمْ يَمْنَعْهُ مَا هُوَ فِيْهِ أَنْ تَكَلَّمَ بِهِ
“Umar sungguh menakjubkan, jika ia melihat hak Allah (yang wajib ia tunaikan)
maka tidak akan mencegahnya kondisinya (yang sekarat tersebut) untuk berbicara
(menegur) hak Allah tersebut.” (Mushonnaf Ibni Abi Syaibah V/166 no 24815)
Apakah kita menuduh Umar di akhir hayatnya dalam keadaan sekarat dengan perut
yang robek hingga cairan yang beliau minum keluar melalui robekan tersebut,
masih sempat-sempat memperhatikan masalah kulit agama?? Apa tidak ada masalah
lain yang lebih signifikan hingga beliau sibuk-sibuk memperingatkan orang dari
isbal padahal kondisinya sudah kritis??
Derajat hadits-hadits yang melarang isbal telah mencapai derajat mutawatir
maknawi. Selayaknya kaum muslimin memperhatikan hal ini Sesungguhnya seluruh
perkara yang menarik perhatian Nabi shallallahu 'alihi wa sallam adalah
penting, walaupun masyarakat menganggapnya sepele. Oleh karena itu, seorang muslim
tidak boleh meremehkan dosa apapun. Bukankah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam
telah bersabda , "Hati-hatilah terhadap dosa-dosa yang
diremehkan." (HR.
Ahmad I/402 no 3818, V/331 no 22860 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam
As-Shahihah no 3102)
عن حميد بن هلال قال قال عبادة بن قرط إنكم تأتون أشياء
هي أدق في أعينكم من الشعر كنا نعدها على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم
الموبقات قال فذكروا لمحمد صلى الله عليه وسلم قال فقال صدق أرى جر الإزار منه
Berkata Humaid bin Hilaal, “Ubadah bin Qorth –radhiallahu ‘anhu- berkata,
"Sesungguhnya kalian akan melakukan perkara-perkara yang menurut kacamata
kalian lebih ringan daripada sehelai rambut, namun menurut kami di zaman
Rasulullah termasuk (dosa-dosa besar) yang membinasakan. Mereka pun menyebutkan
perkataan Ubadah bin Qorth ini ke Muhammad bin Sirin, maka dia berkata, “Ia
telah berkata benar dan menurutku mengisbal sarung termasuk perkara-perkara yang
membinasakan tersebut." (Atsar riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya III/470
no 15897, V/79 no 20769. Dan perkataan ‘Ubadah bin Qorth ini diucapkan oleh
Anas bin Malik sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya V/2381
no 6127)
Sungguh indah perkataan orang yang berkata, "Kalau bukan karena kulit
tentu isi (buah) telah rusak."
PERINGATAN
(2)
Jika ada yang nyeletuk : Haramnya isbal itu hanya pada izar (sarung), tidak
berlaku pada pakaian model lain karena hadits-hadits isbal hanya menyinggung
sarung. Pakaian bawah lainnya, celanan panjang misalnya, tidak mencakupnya .
Jawabannya :
Ini adalah syubhat yang aneh yang dilontarkan oleh orang-orang yang ingin lari
dari hukum isbal. Hatinya tidak betah jika ia tidak isbal, wal ‘iyaadzu billah.
Adz-Dzahabi mengomentari hadits isbal: ("Sarung seorang mukmin hingga
tengah betis"): "Hukum ini umum, mencakup sirwal (celana panjang),
tsaub, jubah, …dan pakaian yang lainnya".
Berkata At-Thobari, "Datangnya kalimat izar (sarung) dalam hadits-hadits
karena sebagian besar orang pada zaman Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
memakai sarung dan rida' (pakaian atas). Tatkala orang-orang memakai qomis dan
jubah maka hukumnya adalah hukum sarung. Berkata Ibnu Battol, "ini adalah
qiyas yang shohih, walaupun tidak datang nas (dalil khusus) yang menyebutkan
tsaub (jubah) maka sesungguhnya larangan mencakup tsaub…" (Fathul bari
10/323)
Syaikh Bin Baz memaparkan, "Khitob (redaksi satu nash) jika memakai hukum
yang gholib/dominan (خَرَجَ مَخْرَجَ الْغَالِبِ), maka tidak terpakai mafhumnya…..Hal ini
sudah ma'ruf di kalangan para ulama, bahkan ini merupakan pendapat mayoritas
Ahli Usul."
Hal ini dikarenakan, pada masa Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, sarunglah
yang paling sering dipakai. Imam Ahmad menambah: "Sarung adalah pakaian
mereka (para sahabat)" (Lihat Fathul Bari, Ibnu Rojab Al-Hambali 2/175)
Syaikh Abdulmuhsin Al-'Abbad juga telah menegaskan bahwasanya kebanyakan hadits
menyebutkan sarung (tidak menyabutkan gomis atau celana panjang-pen), karena
sarung mudah untuk terjulur di bawah mata kaki karena banyak gerak atau
berjalan. Berbeda dengan gomis, ia tidak mudah terjulur. (Lihat Ad-Dalil hal
25)
Ibnu Abdil Barr, "… hanya saja isbal pada qomis atau jenis
pakaian yang lain tercela
dalam setiap keadaan (isbal juga tercela walaupun tidak sombong -pen)."
(Fathul Malik bi tabwibi At-Tamhid 9/384)
Ditambah lagi, ada juga hadits yang umum yang menunjukan bahwa pakaian apa saja
melewati batas dua tumit, hukumnya haram.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ
النَّبِيِّ قَالَ :مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَفِي النَّارِ (رواه البخاري )
Dari Abu Hurairah, dari Nabi- bersabda :"Apa saja yang di bawah mata
kaki maka di neraka"
Dan مَا
mausulah memberi faedah umum, mencakup izar, celana, dan pakaian yang lainnya.
Renungan…
Pendapat untuk membawa nash yang mutlaq ke nash yang muqoyyad (dalam masalah
isbal), pendukungnya menetapkan isbal tanpa kesombongan makruh dan tercela.
Imam Nawawi mengatakan:"…Tidak boleh mengisbal sarung dibawah mata kaki
jika karena kesombongan. Namun jika tidak karena kesombongan maka makruh…"[Minhaj 14/287, 2/298 Kitabul Iman]
Ibnu Abdil Barr berkata : "… hanya saja isbal pada qomis atau jenis
pakaian yang lain tercela dalam setiap keadaan (isbal juga tercela walaupun tidak sombong
-pen)." [Fathul Malik bi tabwibi At-Tamhid 9/384]
Lantas, mengapa sebagian kita yang telah mengetahui makruhnya isbal walau tanpa
disertai kesombongan masih saja isbal?. Kenapa kita, yang berperan sebagai
penuntut ilmu dan calon da'i sudah membiasakan diri kita sejak dini untuk
melakukan hal yang makruh?. Apa salahnya kita membiasakan diri dengan
sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan menghidupkannya. Bukankah
Allah telah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةُ
لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْأَخِرَ
Artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat." (Al-Ahzab : 21)
Ini adalah sebuah nasehat, barang siapa yang terkena syubhat dalam masalah
isbal kemudian telah jelas baginya hukum isbal yang sesungguhnya, hendaknya dia
segera berhenti dari isbalnya, seperti yang dilakukan seorang pemuda yang
memakai pakaian dari san'a dalam keadaan isbal, maka Ibnu Umarpun
menegurnya, seraya berkata: "Wahai pemuda, kemarilah!". Pemuda itu
berkata: "Ada perlu apa, wahai Abu Abdirrohman?". Ibnu Umar berkata:
"Celaka engkau, apakah engkau ingin Allah melihatmu pada hari
Kiamat?". Dia menjawab: "Maha suci Allah, apa yang mencegahku hingga
tidak menginginkan hal itu?". Ibnu Umar berkata: "Saya mendengar
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda: "Allah tidak
melihat….". Maka pemuda tersebut tidak pernah terlihat lagi
kecuali dalam keadaan tidak isbal hingga wafat." (HR Al-Baihaqi dan Ahmad, dishahihkan oleh
Syakih Al-Albani di As-Shahihah 6/411)
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Daftar Pustaka :
1. Al-Qur'an dan terjemahannya
2. Tafsir Ibnu Katsir, Darul Fikr (Beiruut)
3. Ruuhul Ma’aani, As-Sayyid Mahmuud Al-Aluusi, Dar Ihya At-Turoots (Beiruut)
4. Syarah Al-Ushul min ilml ushul, Syaikh Utsaimin, Dar Al-Bashiroh
5. Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), Imam Nawawi, Dar Al-Ma'rifah
6. Mudzakkirah Usul Fiqh, Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi, Dar Al-Yaqin
7. Sunan At-Tirmidzi, Maktabah Al-Ma'arif
8. Sunan Abu Dawud, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdilhamid, terbitan Darul Fikr
9. Muwatta' Malik
10. Sunan Ibnu Majah
11. Sunan An-Nasa'i
12. Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro, tahqiq Muhammad Abdul Qoodir ‘Ato, Maktabah
Darul Baaz
13. Musnad Imam Ahmad, terbitan Maimaniah
14. Al-Mu’jam Al-Kabiir, At-Thobroni, tahqiq Hamdi bin Abdilmajid As-Salafi,
cetakan kedua, Maktabah Al-Ulum wal Hikam
15. Musnad Asy-Syamiyiin, At-Thobrooni, tahqiq Hamdi bin Abdilmajid As-Salafi,
cetakan pertama, Muassasah Ar-Risaalah
16. Mushonnaf Ibni Abi Syaibah, tahqiq Kamal Yusuf Al-Huut, cetakan pertama
Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh
17. At-Targhib wat tarhiib, Al-Mundziri, tahqiq Ibrahim Syamsuddiin, cetakan
pertama, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah
18. Riyadhus Shalihin, tahqiq Sayikh Al-Albani, Al-Makatab Al-Islami. Dan
tahqiq Syu'aib Al-Arnauth, Muassasah Ar-Risalah
19. Fathul Bari, Ibnu Hajar, Dar As-Salam, cetakan pertama
20. An-Nihayah fi Goribil Hadits, oleh Ibnul Atsir, tahqiq Syaikh Kholil
Ma'mun, Dar Al-Ma'rifah
21. Al-Qoul Al-Mubin fi Akhtho' Al-Mushollin, oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman,
dar Ibnul Qoyyim, cetakan ketiga tahun 1995
22. Syarah Riyadus Shalihin, Syaikh Utsaimin, Dar Al-'Anan
23. At-Tamhiid, Ibnu ‘Abdilbarr, tahqiq Mushthofa bin Ahmad Al-‘Alawi, cetakan
Wizaaroh Umumul Awqoof (Magrib)
24. Fathul Malik bi tabwibi At-Tamhid Li Ibni Abdil Bar Ala Muwatto' Al-imam
Malik, Ust DR Mustafa Sumairoh 9/384, Darul Kutub Ilmiah
25. Hadduts Tsaub wal Uzrah wa Tahrim Al-Isbal wa Libas As-Syuhroh, Syaikh Bakr
Abu Zaid, Darul 'Asimah
26. Al-Isbal ligharil khuyala', Walid bin Muhammad Nabih bin Saif An-Nasr
27. Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah, Syaikh Al-Albani
28. Ad-Dalil Al-Masaq fi itsbati sunnati wadli torfil qomis ila nisfis saq,
Abdul Qodir Al-Junaid, Muassasah Ar-Royan
29. Siyar A’lam an-Nubala', Imam adz-Dzahabi, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth dan
Muhammad Nu’aim, cetakan ke 9, Muassasah Ar-Risalah
30. Majmu’ Fatawa wa Maqoolaat mutanawwi’ah, Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, tartib
wa isyroof DR Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, terbitan Riasah idaarotil
buhutsil ‘ilmiyah wal iftaa’, cetakan ke 3 tahun 1423 H
31. Majmu’ Fatawa wa Rasaa’il, Syaikh Ibnu 'Utsaimin, Darul Wathon
Referensi asli: