Ads 468x60px

Thursday, March 29, 2012

Strategi Pembelajaran Kontekstual, Apa itu?

     “Dalam pembelajaran ini, siswa tidak dianggap sebagai gelas kosong yang harus diisi dengan ilmu pengetahuan. Namun, siswa diperlakukan sebagai tumbuhan yang harus disirami dan di bantu untuk tumbuh mencari ilmu sendiri.”
Saudara sekalian. Apakah Anda hendak menjadi guru nantinya? Atau dengan kata lain, mungkin ingin menjadi pengajar, dsb. Ada baiknya ketika telah merealisasikan cita-cita tersebut, Anda mengaplikasikan strategi mengajar berikut ini. Strategi tersebut bernama, “Pembelajaran kontekstual” atau dalam bahasa Inggris kita kenal dengan nama “Contekstual Teaching and Learning”.

    Strategi Pembelajaran ini, bisa diterapkan di semua jenjang. Baik di Sekolah dasar hingga di bangku kuliah karena disesuaikan dengan  konteks. Dalam pembelajaran ini, siswa tidak dianggap sebagai gelas kosong yang harus diisi dengan ilmu pengetahuan. Namun, siswa diperlakukan sebagai tumbuhan yang harus disirami dan di bantu untuk tumbuh mencari ilmu sendiri.
    Dibutuhkan suatu resiko untuk menerapkan strategi ini. Resiko tersebut mungkin tidak bisa dijalankan oleh semua guru. Resiko tersebut ialah kreativitas seorang guru dalam menjadi fasilitator dan mediator di dalam kelas. Untuk selengkapnya, bacalah Artikel berikut:

I.    PENDAHULUAN

     Selama ini, hasil pendidikan hanya tampak dari kemampuan siswa menghafal fakta-fakta. Walaupun banyak siswa-siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka seringkali tidak memahami secara mendalam substansi materinya. Persoalan-persoalan merupakan tantangan yang dihadapi oleh guru setiap hari dan tantangan bagi pengembangan kurikulum.
     Depdiknas (dalam Nurhadi dkk., 2003: 3) menyatakan “Sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/dimanfaatkan. Siswa memiliki kesulitan untk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan, yaitu menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah.  Mereka sangat butuh untuk memahamikonsep-konsep yang berhubungan dengan tempat kerja dan masyarakat pada umumnya di mana mereka akan hidup dan bekerja”.
     Ada kecendrungan dalam dunia pendidikan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan “mengetahui”-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi “mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
     Sehubungan dengan itu, pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning/CTL) hadir untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Pendekatan kontekstual adalah suatu pendekatan pengajaran yang dari karakteristiknya memenuhi harapan itu.. Dalam makalah ini, kami akan membahas secara lengkap mengenai pendekatan kontekstual.

II.    PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

A.    Pengertian Pembelajaran Kontekstual (CTL)
     Beberapa definisi pembelajaran yang pernah ditulis dalam beberapa sumber menyatakan sebagai berikut:
1.    Johnson (dalam Nurhadi dkk., 2003: 12) merumuskan pengertian CTL sebagai berikut. “The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting accademic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and cultural circumstances. To achieve this aim, the system encompasses the following eight components: making meaningful connections, doing significant work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standards, using authentic assessment”.  
Kutipan di atas mengandung arti bahwa sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu, dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL akan menuntun siswa melalui kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan asesmen (penilaian) autentik.
2.    The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning (dalam Nurhadi dkk., 2003: 12) merumuskan defenisi CTL sebagai berikut “Contextual teaching is teaching that enables students to reinforce, expand, and apply their academic knowledge and skills in a variety of in-school and out-of-school settings in order to solve simulated or real-world problems. Contextual learning occurs when students apply and experience what is being taught referencing real problems associated with their roles and responsibilities as family members, citizens, students, and workers. Contextual teaching and learning emphasizes higher-level thinking, knowledge transfer across academic disciplines, and collecting, analyzing and synthesizing information and data from multiple sources and viewpoints”.
Terjemahan bebasnya, pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riil yang berasosiasi dengan peranan dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, siswa, dan selaku pekerja. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual menekankan berpikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang.
3.    Menurut para penulis NWREL (Johnson dalam Nurhadi dkk., 2003: 12), ada tujuh atribut yang mencirikan konsep CTL, yaitu: “meaningfulness, application of knowledge, higher order thinking, standards-based curricula, cultures focused, active engagement, and authentic assessment”.
(Ada tujuh atribut yang mencirikan konsep CTL, yaitu: kebermaknaan, penerapan ilmu, berpikir tingkat tinggi, kurikulum yang digunakan harus standar, berfokus pada budaya, keterlibatan siswa secara aktif, dan asesmen autentik.)
4.    Proyek yang dilakukan oleh Center on Education and Work at the University of Wisconsin-Madison, yang disebut TEACHNET, mengeluarkan pernyataan penting tentang CTL sebagai berikut: “Contextual teaching and learning is a conception of teaching and learning that helps teachers relate subject matter content to real world situations and motivates students to make connections between knowledge and its applications to their lives as family members, citizens, and workers and engage in the hard work that learning requires” (Johnson, 2002:38-39). Selanjutnya, TEACHNET mengemukakan pula bahwa “Contextual teaching and learning is problem-based, uses self-regulated learning, is situated in multiple contexts, anchors teaching in students diverse life contexts, uses authentic assessment, and uses interdependent learning groups”.
Kutipan tersebut berarti bahwa: pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat belajar. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pula kelompok belajar yang bebas.
     Nurhhadi dkk. (2003: 13) sendiri dalam bukunya menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang mengajak guru untuk menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari;
     Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah metode pembelajaran yang menguhubungkan antara dunia nyata dan bahan pelajaran serta memotivasi siswa agar pengetahuan yang telah diterima dapat dihubungkan dan diamplikasikan dalam kehidupan nyata mereka sehari-hari.

B.    Latar Belakang Kemunculan Pembelajaran Kontekstual

     Penerapan pembelajaran kontekstual di Amerika Serikat bermula dari pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham progresivisme John Dewey. Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Pokok-pokok pandangan progresivisme antara lain:
1.    Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru,
2.    Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar,
3.    Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar,
4.    Guru sebagai pembimbing dan peneliti,
5.    Harus ada kerja sama antara sekolah dan masyarakat,
6.    Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen.
      Selain teori progresivisme John Dewey, teori kognitif melatarbelakangi pula filosofi pembelajaran kontekstual. Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi konstruktivisme berkembang. Dasarnya ialah pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit-demi sedikit. Siswa yang harus mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya.
     Melalui landasan filosofi konstrukstivisme, CTL ‘dipromosikan’ menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami’, bukan ‘menghafal’. Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan bersifat non-objektif (mengenai keadaan yg sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi), temporer, dan selalu berubah. Segala sesuatu bersifat temporer, berubah, dan tidak menentu.
     Dengan paham konstruktivisme, siswa diharapkan dapat membangun pemahaman sendiri dari pengalaman/pengetahuan terdahulu (asimilasi). Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman belajar bermakna (akomodasi). Siswa diharapkan mampu mempraktikkan pengetahuan/pengalaman yang telah diperoleh dalam konteks kehidupan. Siswa diharapkan juga melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, siswa dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari. Pemahaman ini diperoleh siswa karena ia dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas yang merupakan unsur yang sangat esensial.
     Hakikat teori konstrutivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri (Brooks; Leinhardt; Brown, et.al. dalam dalam Nurhadi dkk., 2003: 10). Teori konstruktivis memandang siswa secara terus-menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori konstruktivis menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada siswa yang aktif, maka strategi konstruktivis sering disebut pengajaran yang berpusat pada siswa (student-contered-instruction). Di dalam kelas yang pengajarannya berpusat pada siswa, peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan di kelas.
     Beberapa proposisi (rancangan) yang dapat dikemukakan sebagai implikasi dari teori konstrutivistik dalam praktek pembelajaran di sekolah-sekolah kita sekarang ini adalah sebagai berikut:
1.    Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru.
2.    Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar.
3.    Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajar.
4.    Belajar pada hakikatnya memiliki aspek sosial dan budaya.
5.    Kerja kelompok dianggap sangat berharga.
     Dalam pandangan konstruktivistik, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan karena control belajar dipegang oleh siswa itu sendiri. Tujuan pembelajaran konstrutivistik yaitu menekankan pada penciptaan pemahaman yang menuntut aktivitas yang kreatif dan produktif dalam konteks nyata. Dengan demikian, paham konstruktivistik menolak pandangan behavioristik.

C.    Karakteristik Pembelajaran Kontekstual  

     Menurut Johnson (dalam Nurhadi dkk., 2003: 13), ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran kontekstual, yaitu sbb:
1.    Melakukan hubungan yang bermakna  (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).
2.    Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work). Siswa membuat hubungan-hubungan antarsekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
3.    Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning). Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produk (hasilnya) yang sifatnya nyata.
4.    Bekerja sama (colaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling memengaruhi dan saling berkomunikasi.
5.    Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis, membuat sintesis (paduan), memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti.
6.    Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi, dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
7.    Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”.
8.    Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment). Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa Inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah, atau membuat penyajian perihal emosi manusia.
      The Northwest Regional Education Laboratory USA mengidentifikasikan adanya enam kunci dasar dari pembelajaran kontekstual, sebagai berikut.
1.    Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi, dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupannya di masa yang akan datang.
2.    Penerapan pengetahuan: merupakan kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tatanan kehiupan dan fungsi di masa sekarang atau masa yang akan datang.
3.    Berpikir tingkat tinggi: siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan berpikir kreatifnya daam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah.
4.    Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dunia kerja.
5.    Response terhadap budaya: guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, teman, pendidik, dan masyarakat tempat ia mendidik. Ragam individu dan budaya suatu kelompok serta hubungan antar budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar guru. Setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan di dalam pembelajaran kontekstual, yaitu: individu siswa, kelompok siswa baik sebagai tim atau keseluruhan kelas, tatanan sekolah, dan besarnya tatanan komunitas kelas.
6.    Penilaian autentik: penggunaan berbagai strategi penilaian (misalnya penilaian proyek/tugas terstruktur, dan sebagainya) akan merefleksikan hasil belajar sesungguhnya.  

D.    Fokus Pembelajaran Kontekstual

     Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks bermakna yang menghubungakan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan siswa dan peranan guru. Sehubungan dengan itu maka pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal berikut:
1.    Belajar berbasis masalah (Problem-Based learning), yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran.
2.    Pengalaman Autentik (Authentic Intruction), yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna.
3.    Belajar Berbasis Inkuiri (Inquiry-Based Learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
4.    Belajar Berbasis Proyek/Tugas (Project-Based Learning) yang membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komperhensif (bersifat mampu menangkap (menerima) dng baik) yang memungkinkan lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya.
5.    Belajar Berbasis Kerja (Work-Based Learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja. Jadi dalam hal ini, tempat kerja dan sejenisnya dan berbagai aktivitas yang dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa (Smith dalam Nurhadi dkk., 2003).
6.    Belajar Berbasis Jasa-Layanan (Service Learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa-layanan tersebut, jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa-layanan dan pembelajaran akademis. Dengan kata lain, pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat melalui proyek/tugas terstruktur dan kegiatan lainnya (McPherson dalam Nurhadi dkk., 2001).
7.    Belajar Kooperatif (Cooperative Learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar (Holubec dalam Nurhadi, 2003).

E.    Prinsip Penerapan Pembelajaran Kontekstual

    Berkaitan dengan faktor kebutuhan individu siswa, untuk menerapkan pembelajaran kontekstual guru perlu memegang prinsip pembelajaran berikut ini:
1.    Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan siswa (developmentalally appropriate) siswa.
Hubungan antara isi kurikulum dan metodologi yang digunakan untuk mengajar harus didasarkan kepada kondisi, emosional, dan perkembangan intektual siswa. Jadi, usia siswa dan karakteristik individual lainnya serta kondisi sosial dan lingkungan budaya siswa haruslah menjadi perhatian dalam merencanakan pembelajaran. Contohnya, apa yang telah dipelajari dan dilakukan oleh siswa SLTP selanjutnya akan berbeda dengan apa yang dipelajari dan dikerjakan oleh siswa SMU (kilmer dalam Nurhadi dkk., 2003).
2.    Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (independent learning groups)
Siswa saling belajar dengan sesamanya dalam kelompok-kelompok kecil dan belajar bekerja sama  dalam tim lebih besar (kelas). Kemampuan itu  merupakan bentuk kerja sama yang diperlukan oleh orang dewasa di tempat kerja dan konteks lain. Jadi, siswa diharapkan untuk berperan aktif.
3.    Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self regulated learning)
Lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning) memiliki tiga karakteristik umum, yaitu kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan. Berdasarkan penelitian, siswa usia 5-16 tahun secara bertahap mengalami perkembangan kesadaran terhadap: (i) keadaan pengetahuan yang dimilikinya, (ii) karakteristik tugas-tugas yang mempengaruhi pembelajarannya secara individual, dan (iii) strategi belajarnya (Brown, Bransford, Ferrara & Campione; Flavell dalam Paris & Winograd; dalam Nurhadi dkk., 2003: 20).
    Siswa membutuhkan pemahaman terhadap kekuatan dan kelemahannya untuk menata tujuan yang diinginkan dan membangun strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Manakala keterampilan ini mereka pelajari dan kuasai, mereka akan mencapai kompetensi dan rasa percaya diri, sehingga mereka dapat memahami pentingnya memahami waktu untuk berpikir dan merefleksikan suatu pilihan berkaitan dengan tantangan hidupnya.
     Sementara itu, guru jaga harus menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan siswa dapat merefleksikan cara mereka belajar, menyelesaikan tugas-tugas sosial, menghadapi hambatan, dan bekerja sama secara harmonis dengan guru yang lainnya. Jadi jelaslah bahwa pembelajaran mandiri berkaitan bukan hanya dengan berpikir sederhana tentang berpikir siswa, tetapi membantu mereka dalam menggunakan berpikirnya untuk mengarahkan perencanaan mereka, menyeleksi performansi (prestasi) mereka, sehingga mereka secara efektif dapat menyelesaikan masalah yang disajikan bagi mereka.
4.    Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of student)
Di kelas, guru harus mengajar siswa dengan berbagai keragamannya, misalnya: latar belakang  suku bangsa, status sosial-ekonomi, bahasa utama yang dipakai di rumah, dan berbagai kekurangan yang mungkin mereka miliki. Dengan demikian, diharapkan guru dapat membantu siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
5.    Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelligences) siswa
Dalam menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual, maka cara siswa berpartisipasi dalam kelas harus memperhatikan kebutuhan dan delapan orientasi pembelajarannya (spasial-verbal, linguistik-verbal, interpresional, musikal-ritmik, naturalis, badan-kinestetika, intrapersonal dan logismatematis (Gardner dalam Nurhadi dkk., 2003: 21). Oleh karena itu, dalam melayani siswa di kelas, guru harus memadukan berbagai strategi pendekatan pembelajaran kontekstual sehingga pengajaran akan efektifbagi siswa dengan berbagai intelegensinya itu (Brockman & Brockman dalam Nurhadi dkk., 2003: 21).
6.    Menggunakan teknik-teknik bertanya (Questioning) untuk meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi
Agar pembelajaran kontekstual mencapai tujuannya, maka jenis dan tingkat pertanyaan yang tepat harus diungkapkan /ditanyakan. Pertanyaan harus secara hati-hati direncanakan untuk menghasilkan tingkat berpikir, tanggapan dan tindakan yang diperlukan siswa dan seluruh peserta di dalam proses pembelajaran kontekstual (Frazee dalam Nurhadi dkk., 2003: 21).
7.    Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment)
Penilaian autentik mengevaluasi penerapan pengetahuan dan berpikir kompleks seorang siswa, daripada hanya sekadar hafalan informasi aktual. Kondisi alamiah pembelajaran kontekstual memerlukan penilaian interdisiplin yang dapat mengukur pengetahuan dan keterampilan lebih dalam dan dengan cara yang bervariasi dibandingkan dengan penilaian satu disiplin (Ananda dalam Nurhadi dkk., 2003: 21).

F.    Peran Guru dalam Pembelajaran Kontekstual

     Agar proses pengajaran kontekstual lebih efektif, guru perlu melaksanakan beberapa hal sebagai berikut:
1.    Mengkaji konsep dan kompetensi dasar yang akan dipelajari oleh siswa.
2.    Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara saksama.
3.    Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengaitkannya dengan konsep dan kompetensi yang akan dibahas dalam poses pembelajaran kontekstual.
4.    Merancang pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan kehidupan mereka.
5.    Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan mengaitkan apa yang dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, siswa didorong untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya.
6.    Melakukan penilaian terhadap pemahaman siswa. Hasil penilaian tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap rancangan pembelajaran dan pelaksanaannya.
    Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas, strategi pembelajaran yang dipilih guru harus memenuhi syarat berikut:
1.    Menekankan pada pemecahan masalah/problem. Pengajaran kontekstual dapat dimulai dengan suatu simulasi atau masalah nyata. Dalam hal ini, siswa menggunakan keterampilan berpikir kritis dan pendekatan sistematik untuk menemukan dan mengungkapkan masalah atau isu-isu, dan mungkin juga menggunakan berbagai isi materi pembelajaran untuk menyelesaikan
 masalah. Masalah yang dimaksudkan adalah yang relavan dengan keluarga siswa, pengalaman, sekolah, tempat kerja, dan masyarakat, yang memiliki arti penting bagi siswa.
2.    Mengakui kebutuhan pembelajaran terjadi di berbagai konteks, misalnya rumah, masyarakat dan tempat kerja. Pembelajaran kontekstual menyarankan bahwa pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari fisik dan konteks sosial yang memungkinkan ia berkembang. Bagaimana dan di mana siswa memperoleh dan memunculkan pengetahuan selanjutnya menjadi sangat berarti, dan pegalaman belajarnya akan diperkaya jika ia mempelajari keterampilan di dalam konteks yang bervariasi (rumah, masyarakat, tempat kerja, dan keluarga).
3.    Mengontrol dan mengarahkan pembelajaran siswa, sehingga mereka menjadi pembelajar yang mandiri (self-reguulated learners). Akhirnya, siswa harus menjadi pembelajar sepanjang hayat yang mampu mencari, menganalisis, dan menggunakan informasi tanpa atau dengan sedikit bimbingan, dan semakin menyadari bagaimana mereka memproses informasi, menggunakan strategi pemecaha masalah, serta memanfaatkannya. Untuk mencapai itu, melalui pengajaran kontekstual, siswa harus diperkenankan melakukan uji coba (trial and error), menggunakan waktu dan struktur materi untuk refleksi, dan memperoleh dukungan yang cukup serta bantuan untuk berubah dari pembelajar dependen menjadi pembelajaran yang independen.
4.    Bermuara pada keragaman konteks hidup  yang dimiliki siswa. Secara menyeluruh ternyata populasi siswa sangatlah beragam ditinjau dari perbedaan dalam nilai, adat istiadat sosial, dan perspektif. Di dalam proses pembelajaran kontekstual, perbedaan tersebut dapat menjadi daya pendorong untuk belajar dan sekaligus menambah kompleksitas pembelajaran itu sendiri. Kerjasama tim dan aktivitas kelompok belajar di dalam proses pembelajaran kontekstual sangatlah menghargai keragaman siswa, memperluas perspektif, dan membangun keterampilan interpersonal (yaitu berpikir melalui berkomunikasi dengan orang lain) (Gardner dalam Nurhadi dkk., 2003: 23).
5.    Mendorong siswa untuk belajar dari sesamanya dan bersama-sama atau menggunakan kelompok belajar independen (independent learning group). Siswa akan dipengaruhi dan sekaligus berkontribusi terhadap pengetahuan dan kepercayaan orang lain. Kelompok belajar atau komunitas pembelajaran akan terbentuk di dalam tempat kerja dan sekolah kaitannya dengan suatu usaha untuk bersama-sama memakai pengetahuan, memusatkan pada tujuan pembelajaran, dan memperkenankan semua orang untuk belajar  dari sesamanya. Dalam hal ini, para pendidik harus bertindak sebagai fasilitator, pelatih dan pembimbing akademik.
6.    Menggunakan penilaian autentik (authentic assessment). Pembelajaran kontekstual diharapkan membangun pengetahuan dan keterampilan dengan cara yang bermakna melalui pengikutsertaan siswa ke dalam kehidupan nyata atau konteks autentik. Untuk proses pembelajaran yangdemikian itu, diperlukan suatu bentuk penilaian yang didasarkan kepada metodologi dan tujuan dari pembelajaran itu sendiri, yang disebut dengan peilaian autentik. Penilaian autentik menunjukkan bahwa pembelajaran telah terjadi; menyatu ke dalam proses belajar mengajar; dan membeerikan kesempatan dan arahan kepada siswa untuk maju; dan sekaligus dipergunakan sebagai alat control untuk melihat kemajuan siswa dan umpan.

G.    Strategi Pembelajaran Kontekstual

      Sementara itu, Center of Occupation Research and Development (CORD) menyampaikan lima strategi bagi pendidikan dalam rangka penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat dengan REACT, yaitu:
1.    Relating: belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata.
2.    Experiencing: belajar ditekankan kepada panggilan (eksplorasi) penemuan (discovery), dan penciptaan (invention).
3.    Applying: belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan dalam konteks pemanfaatannya.
4.    Cooperating: belajar melalui komunikasi interposonal, pemakaian bersama, dan sebagainya.
5.    Transferring: belajar melalui pemanfaatan  pengetahuan dalam situasi atau konteks baru.
H.    Sembilan Konteks dalam Pembelajaran Kontekstual
     Untuk keperluan pembelajaran kontekstual, pengertian ‘konteks’ dijabarkan menjadi Sembilan wilayah oleh Abdurrahman dan Bistok (dalam Nurhadi dkk., 2003: 23), yang mencakup isi, sumber, sasaran, guru, metode, hasil belajar, waktu, alokasi, dan keguanaan.
1.    Isi –Apa yang Diajarkan?
Dalam kaitanya dengan konteks isi, pembelajaran harus memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam keluarga dan masyarakat, memperhatikan kurikulum nasional dan adanya ujian ebtanas, ,menyiapkan keterampilan untuk hidup dan bekerja, dan mencerminkan harapan bagi siswa untuk hidup yang lebih baik di masa depan. Kata kunci untuk ’konteks isi’ adalah sistem persyaratan; lokal ke global; terpadu; interdisipliner; kesesuaian; dengan nilai budaya; dan fokus pada masa depan.
2.    Sumber Belajar –Apa yang Tersedia dan Dapat Diharapkan?
Situasi Indonesia saat ini tidak memungkinkan menyediakan sumber belajar berupa buku teks dan perangkat pembelajaran lain yang canggih. Pendidikan masih banyak didasarkan pada buku teks yang didasarkan atas kurikulum yang diproduksi secara masal. Karena situasi yang belum memungkinkan maka buku teks harus didasarkan atas kurikulum nasional dan ditulis pada bahan yang murah dan diproduksi secara massal. Perangkat pembelajaran juga harus dikembangkan dengan memperhatikan kepraktisannya, ketersediannya, dan dibuat secara konkret. Situasi Indonesia saat ini tidak dapat menyediakan sumber kelas yang canggih. Kata kunci untuk ’sumber belajar’ adalah: dokumen inti nasional; praktis; murah; tersedia; dan konkret.
3.    Sasaran-Siapa yang Diajari?
Dalam pembelajaran, konteks sasaran memiliki makna bahwa pembelajaran harus mempertimbangkan karakteristik siswa sasaran. Ini berarti bahwa kebutuhan pendidikan dan gaya belajar siswa harus dievaluasi dan digunakan sebagai landasan dalam penyusunan program pendidikan.  Berbagai faktor lain yang berkenaan dengan siswa sasaran seperti usia, kepastian intelektual, riwayat sekolah dan kehidupannya, motivasi, latar belakang keluarga, masyarakat, budaya, nilai-nilai etnik, harapan, dan latar belakang lainnya harus menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kegiatan pembelajaran.
Kata kunci untuk konteks “sasaran” adalah: siswa, keluarag/masyarakat, budaya/etnis, nilai-nilai, dan motivasi.
4.    Guru – Kualitas Guru yang Bagimana yang Dibutuhkan?
Kualitas guru yang dibutuhkan adalah guru yang memiliki perhatian terhadap kemanusiaan, penuh pengabdian untuk mendarmabaktikan pengetahuan dan keterampilannya, dan memiliki kesadaran yang tinggi dan memandang siswa sebagai siswa yang sedang tumbuh menjadi dewasa yang membutuhkan bantuan. Guru harus memiliki sifat terbuka dan saling membantu siswa untuk menjadi terbuka, dapat menjalin kerja sama dalam rangka power sharing dan dapat berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran.  Secara profesional, guru harus mampu menerjemahkan silabus ke dalam lingkungan belajar yang sesuai, memiliki keterampilan berpikir yang sistematis, dan memiliki orientasi vokasional terhadap pendidikan. Seorang guru harus memiliki kualitas pribadi dan profesional yang tinggi dan seimbang.
Kata kunci konteks ”guru” adalah: kualitas pribadi dan professional, penuh perhatian, fasilitator, penolong, dan penuh harapan.
5.    Metode –Praktik Pembelajaran yang Direkomendasikan
Siswa belajar dengan baik jika mereka belajar secara aktif, holistik, dan guru menggunakan pendekatan yang memungkinkan siswa menggunakannya dalam praktik. Siswa perlu sering menggunakan strategi belajar kooperatif sehingga mereka dapat meraih hasil belajar tinggi melalui percakapan yang subtansional. Guru merencanakan, menggunakan, dan mendorong higher-order thinking skills dan aplikasi konsep baru ke dalam lintas studi.
Kata kunci untuk konteks “metode” adalah: aktif, holostik, praktis, mengalami higher-order, kooperatif, dan sosial.
6.    Hasil Belajar- Bagaimana Cara Menilai Presentasi Siswa?
Hasil belajar siswa diukur dengan penjajagan kemampuan siswa mengaplikasikan penetahuan dan keterampilannya. Kinerja yang diharapkan dari siswa harus diartikulasikan secara baik dan diindikasikan dalam silabus baik untuk siswa maupun untuk guru. Asesmen didasarkan atas informasi yang baik dan didokumentasikan secara ajeg. Penilaian harus sinambung, formatif, dan kumulatif, langsung pada upaya menjamin prestasi belajar siswa dan didukung oleh contoh-contoh pekerjaan siswa.
Kata kunci konteks “hasil belajar” adalah: diinformasikan, perangkat kompetensi siswa, kumulatif, regular, dan dengan dukungan contoh pekerjaan siswa.
7.    Waktu- Bgaimanakah Kesiapan Siswa?
Siswa harus siap untuk belajar. Belajar bembutuhkan keterampilan prasyarat. Tambahan lagi, siswa SLTP yang kembali ke sekolah drop-out, memiliki pengalaman kehidupan belajar, dan kematangan yang berbeda dari siswa yang tidak pernah drop-out.
Kata kunci untuk konteks” waktu” adalah: keterampilan prasyarat, kesiapan, dan kembali dari drop-out.
8.    Lokasi- Lingkungan Belajar yang Bagaimanakah yang Ditempati Siswa?
Lingkungan belajar harus dikenal oleh siswa sehingga pelajaran baru secara langsung dapat diamati, relevan, dan pengguanaannya praktis dalam kehidupan yang mereka ketahahui. Berbagai sumber digunakan secara langsung dari lingkungan mereka. Berbagai sumber harus tersedia, murah, dan dalam kuantitas yang cukup untuk siswa dan guru.
Kata kunci konteks “lokasi” adalah: lokal, dikenal oleh siswa, dapat digunakan, tersedia, dan relevan.
9.    Kegunaan - Mengapa  Mengajar dengan Cara Seperti Itu?
Pendidikan harus menghubungkan apa yang telah diketahui siswa dengan informasi baru yang terkait dengan kegunaan dalam kehidupan saat ini. Belajar harus mulai dengan tugas spesifik sesuai dengan situasi dan difokuskan pada pengalaman belajar di lapangan kerja.
Kata kunci untuk konteks “ kegunaan” adalah: dapat diaplikasikan dalam kehidupan lokal, relevan, dapat diamati di tempat kerja setempat, dan terkait dengan masa depan siswa.


III.    PENUTUP
     Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar.
     Berdasarkan simpulan di atas, dapat diketahui bahwa penggunaan strategi pembelajaran kontekstual dapat membawa siswa untuk merasakan makna mereka belajar karena bahan yang dipelajari dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, disarankan agar strategi pembelajaran kontekstual dapat diterapkan secara  menyeluruh di seluruh sekolah di Indonesia. Melihat strategi pembelajaran kontekstual sangat sesuai dilaksanakan dalam pembelajaran di Indonesia karena strategi ini memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran dan media apa saja untuk belajar. Secara khusus juga disarankan kepada guru sebagai pengajar dan kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan disekolah agar dapat mendukung strategi pembelajaran kontekstual tersebut.


IV.    DAFTAR PUSTAKA
     Nurhadi, dkk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang:Universitas Negeri Malang.

0 comments:

Post a Comment