Ads 468x60px

Wednesday, March 28, 2012

Pemimpin yang Ideal, Masih Adakah?

Bismillah,

     Sebelumnya, kubertanya padamu wahai saudaraku, bagaimanakah pemimpin yang Engkau dambakan? Tampankah? Cantikkah? Perhatiankah? Atau…?
     Bukan memberontak, namun coba Engkau wahai saudaraku ikuti sampai habis kisah seorang pemimpin berikut ini. Waktu untuk membacanya hanya sekitaran sepuluh menit kalau Engkau mau bersabar wahai saudaraku. Dan coba Engkau komparasikan dengan pemimpin yang ada di dunia bahkan di negara yang kita cintai ini. Beginikah sosok pemimpin yang kita cita-citakan? Kita damba-dambakan? Yang mungkin melebihi idealitas kepemimpinan yang ada dalam buku filsafat dan semacamnya. Insya Allah semoga ada nanti (doakan semoga di pemilu terdekat nanti) pemimpin seperti ini.

     Ia bernama Sa’id bin Amir bin Huzaim Al-Jumahy. Untuk lebih menjaga kisah ini agar jauh dari penambahan yang tak semestinya dan menjaga keilmiahannya, aku-penulis-menuliskan sesuai dengan isi kisah di dalam bukunya.
     Abu Nu’aim mentakhrij di dalam Al-Hiyah, 1/245, dari Khalin bin Ma’dan, ia berkata,
“Umar bin Al-Khaththab mengangkat Sa’id bin Amir bin Huzaim sebagai amir (pemimpin pen.) kami di Himsh. Ketika Umar bertandang ke sana, dia bertanya, “Wahai penduduk Hims, apa pendapat kalian tentang Sa’id bin Amir, amir kalian?”
     Maka banyak orang yang mengadu kepada Umar. Mereka berkata, “Kami mengadukan empat perkara. Yang pertama karena dia selalu keluar rumah untuk menemui kami setelah hari sudah siang.”
     Umar berkomentar, “Itu yang paling besar. Lalu apa lagi?”
     Mereka menjawab, “dia tidak mau menemui orang jika malam hari.”
     “Itu urusan yang cukup besar,” komentar Umar. Lalu dia bertanya, “Lalu apa lagi?”
     Mereka menjawab, “Sehari dalam satu bulan dia tidak keluar dari rumahnya untuk menemui kami.”
     “Itu urusan yang cukup besar, “ komentar Umar. Lalu dia bertanya, “Lalu apalagi?”
     Mereka menjawab, “beberapa hari ini dia seperti orang yang akan meninggal dunia.”
     Kemudian Umar mengonfirmasi di antara Sa’id bin Amir dan orang-orang yang mengadukan beberapa masalah tersebut. Saat itu Umar berkata pada diri sendiri, “Ya Allah, jangan sampai anggapanku tentang dirinya keliru pada hari ini.” Lalu dia bertanya kepada orang-orang yang mengadu, “Sekarang sampaikan apa yang kalian keluhkan tentang diri Sa’id bin Amir!”
     “Dia selalu keluar rumah untuk menemui kami setelah hari sudah siang,” kata mereka.
     Sa’id menanggapai, “Demi Allah, sebenarnya aku tidak suka untuk mengungkapkan hal ini. Harap diketahui, keluargaku tidak mempunya pembantu, sehingga aku sendiri yang menggiling adonan roti (bukan nasi makanan pokoknya pen.). Aku duduk sebentar hingga adonan itu menjadi lumat, lalu membuat roti, mengambil wudhu’, baru kemudian aku ke keluar rumah untuk menemui mereka.”
     Umar bertanya kepada mereka, “Apa keluahan kalian yang lain?”
     Mereka menjawab,”dia tidak menemui sseseorang pun pada malam hari.”
     “lalu apa alibimu?” Tanya Umar kepada Sa’id bin Amir.
     “Sebenarnya aku tidak suka untuk mengungkapkan hal ini. Aku menjadikan siang hari bagi mereka, dan menjadikan malam hari bagi Allah.”
     “apa keluhan kalian yang lain?” Tanya Umar kepada mereka.
     Mereka menjawab,”Sehari dalam satu bulan dia tidak mau keluar dari rumahnya untuk menemui kami.”
     “Apa alibimu?” Tanya Umar kepada Sa’id.
     “Aku tidak mempunyai seorang pembantu yang mencuci pakaianku, di samping itu,aku tidak mempunyai pakaian pengganti yang lain.” Maksudnya, hari itu dia mencuci pakaian satu-satunya.
     “Apa keluhan kalian yang lain?” Tanya Umar kepada mereka
     Mereka menjawab,”Beberapa hari ini dia seperti orang yang meninggal dunia.”
     “Apa alibimu?” Tanya Umar kepada Sa’id.
     Sa’id menjawab,”dulu aku menyaksikan terbunuhnya Hubaib Al-Anshary di Makkah. Aku lihat bagaimana orang-orang Quraish mengiris-iris kulit dan daging Hubaib lalu mereka membawa tubuhnya ke tiang gantungan. Orang-orang Quraish itu bertanya kepada Hubaib, ”Sukakah kau jika Muhammad Saw menggantikan dirimu saat ini?” Hubaib menjawab, ”Demi Allah, sekalipun aku berada di tengah keluarga dan anak-anakku, aku tidak ingin Muhammad Saw terkena duri”. Kemudian dia berseru, “Hai Muhammad Saw, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi pada hari itu”. Sementara itu, aku yang masih musyrik dan belum beriman kepada Allah Yang Mahaagung, tidak berusaha untuk menolongnya, sehingga aku beranggapan bahwa Allah sama sekali tidak akan mengampuni dosaku. Karena itu, barangkali keadaanku akhir-akhir ini seperti orang akan meninggal dunia.”
     Umar bin Khaththab berkata, “segala puji bagi Allah karena firasatku tentang dirinya tidak meleset.” Setelah itu, Umar meberinya seribu dinar, seraya berkata,”pergunakanlah uang itu untuk menunjang tugas-tugasmu.”
     Istri Sa’ad berkata kegirangan setelah menerima uang itu, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kecukupan kepada kita atas tugas yang Engkau emban ini.”
     Sa’id bertanya kepada istrinya, “Apakah Engkau mau yang lebih baik? Kita akan memberikan uang ini kepada orang yang lebih membutuhkannya daripada kita.”
     “Boleh,” jawab istrinya-masih adakah istri seperti dia? Pen-.
Lalu sa’id memanggil salah seorang anggota keluarganya yang dapat dipercaya, dan dia masukkan uang ke dalam beberapa bungkusan, seraya berkata, ”bawalah bungkusan ini dan berikan kepada janda keluarga Fulan, orang miskin keluarga Fulan, orang yang terkena musibah keluarga Fulan.”
Selebihnya disimpan.”
     Istrinya bertanya, “Mengapa Engkau tidak membeli seorang pembantu? Lalu untuk apa sisa uang itu?””
     Sa’id menjawab, “Sewaktu- waktu tentu akan datang orang yang lebih membutuhkan uang itu.”


                                                                              ***

     Subahanallah, saudaraku. Betapa banyak orang yang berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin namun mungkin ia tidak tahu atau bahkan lupa bahwa amanah dan pertanggungjawabannya kelak dihadapkan kepada Allah. Apa yang akan mereka katakan ketika rakyatnya nanti mengaduh dihadapan Allah tentang amanah yang ia tidak kerjakan, wal ya’udzubillah.
     Masih ia percayakah adanya hari akhir? Ataukah dunia telah berhasil membutakan mata hatinya, membuatnya terlena, dan memabukkannya hingga ia baru sadar ketika telah berada dalam jilatan api neraka? Ataukah barangkali kita dan dia sudah menafikkan keberadaan hari akhir dan siksa neraka wahai saudaraku. Bukankah surga itu mahal? Bukankah membutuhkan pengorbanan untuk mendapatkannya? Sehingga baik jiwa maupun harta layak untuk kita bayarkan agar mendapat tempat di seberang sana?
      Oleh karena itu, kutunggu Engkau di garis finish depan sana hingga kita bisa melihat pesona surga yang dahulu memang merupakan kampung halaman kita, insya Allah. Dan mari berdoa dan menyerahkan seluruhnya kepada Allah agar memberikan Sa’id-Sa’id yang berikutnya, untuk kita dan untuk negara ini, insya Allah.

28 Mei 2011
Segelas rindu akan pemimpin yang amanah, fatanah, dan istikamah di jalan-Mu Yaa Allah.

0 comments:

Post a Comment