Ads 468x60px

Tuesday, November 20, 2012

ANALISIS KARAKTERISTIK PUISI LIMA PENYAIR (Chairil Anwar, W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Amir Hamzah, dan Murdani Tulqadri)


Tengku Amir Hamza Pangeran Indera Putera atau dikenal dengan Amir Hamzah adalah penyair dari pujangga baru. Puisi-puisi Amir Hamza menggambarkan kerinduan, kesedihan, dan kesepian terhadap kekasihnya. Puisi-pusinya juga menggambarkan bahwa ia begitu bergantung dengan Tuhannya. Beberapa puisi-puisi Amir Hamzah yang memiliki kemiripan ialah “Berdiri Aku”, “Padamu Jua”, “Hanya Satu”, “Permainanmu”, dan “Doa”. Semua puisi-pusi tersebut menggambarkan bahwa si penyair begitu rindu akan kekasihnya dan selalu menyebut-nyebut kata “kekasih” dalam puisi-puisi tersebut. Kekasih yang dimaksud Amir Hamzah ialah Tuhannya sendiri. Ialah penyejuk hatinya, penentram jiwanya. Kepadanyalah ia bergantung dan mencurahkan rasa. Tentu saja, puisi-puisi itu dibuat berdasarkan pengalaman batin maupun jasmani dari Amir Hamzah sendiri.

Penyair yang lahir tanggal 25 Juni 1935 ini bernama lengkap Taufiq Ismail. Ia adalah penyair dari angkatan ‘66. Puisi-puisi Amir Hamzah berisi tentang kehidupan kenegaraan, tentang perang kemerdekaan masa lalu, kritik terhadap negara, realita bangsa, dan segala sesuatu berbau hiruk piku-duka Indonesia. Kesamaan Isi puisi Taufiq Ismail ialah menceritakan realita kacaunya kenegaraan Indonesia. Hal itu tercermin dalam karya-karyanya yang berjudul “Buku Tamu Musium Perjuangan”, “Pengoemoeman Repoeblik”, “Dari Catatan Seorang Demonstran”, “Jawaban dari Pos Terdepan”, “Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis, Lalu Kalian Paksa Kami masuk Msa Penjajahan Baru, Kata Si Toni”, “Yang Selalu Terapung di Atas Gelombong”. Puisi-puisi tersebut menggambarkan curhatan Taufiq Ismail tentang suasan kemederkaan Indonesia yang jauh dari kemerdekaan Indonesia. Puisi-puisi tersebut mungkin tercipta dari kekesalan-kekesalan hati Taufiq Ismail kehidupan Indonesia hingga mengejawantahkannya dengan karya sastra berbentuk puisi berisi kritikan.

Penyair lulusan American Academy of Dramatical Art ini bernama lengkap Willibrordus Surendra Bawana Rendra, namun dikenal oleh pecintanya dengan nama W.S. Rendra.  Ia merupakan bagian dari penyair angkatan ‘53 dan bergelar “Burung Merak”. Kesamaan dalam puisi-puisinya ialah berisikan protes, sindirian, dan kritikan baik terhadap pemerintah, dan segala kekacauan dalam hidup berbangsa. Hal itu tertuang dalam puisi-puisinya yang berjudul “Sajak Kenalan Lamamu”, “Sajak Mata-Mata” “Sajak Pertemuan Mahasiswa”, “Sajak Pulau Bali”, “Sajak S L A”, “Sajak Sebatang Lisong”, dan “sajak Sebotol Bir”. Puisi-puisi tersebut tak jarang bernada kasar dan menggunakan kata-kata yang “tabu” di dalam pandangan masyarakat Indonesia yang inti puisinya bernada penyesalan, protes, kritik, dan sindiran. Tentu hal itu wajar saja karena W.S. rendra hidup dari zaman kemerdekaan hingga zaman reformasi yang begitu penuh penderitaan.

 Siapa yang tak kenal pemuda Minangkabau satu ini. Dia bernama Chairil Anwar, “Binatang Jalang” dari Medan. Puisi-pusi pelopor angkatan ’45 ini memiliki kesamaan yaitu memiliki makna tentang sebagaian besar pengalaman hidup Chairil Anwar. Benar, dalam puisinya seringkali menggunakan penulisan “Aku”. Puisi-puisi tersebut di antaranya,”Aku”, “Penerimaan”,”Doa”, “Senja di Pelabuhan Kecil”, “Cinta Aku Jauh ke Pulau”, dan “Derai-Derai Cemara”. Bahasa yang digunakan dalam puisi-puisinya tersebut berisi bahasa yang lugas walau juga menggunakan kiasan-kiasan yang tajam. Kesamaan puisi-puisi tersebut terjadi karena Sang Penyair memiliki pengalaman hidup dan batin yang begitu kaya. Makna-makna puisinya penuh dengan penharapan, mimpi, keinginan hati, dan kesedihan.

Penyair kelahiran Parepare satu ini bernama Murdani Tulqadri. Dia ialah mahasiswa bersahaja tahun ketiga di Universitas Negeri Makassar dengan memilih Jurusan Bahasa dan Satra Indonesia. Puisi-puisi yang dia terbitkan di www.pojokpakdani.blogspot.com menceritakan tentang kehidupannya. Sedih, senang, duka, larah, dan bahagia ia ungkapkan dengan gaya bahasa orang pertama “Aku”dalam puisi-puisinya. Ia juga selalu memasukkan kata “hati” dalam puisi-puisnya, baik diungkapkan secara langsung atau pun melalui metamorfosa hingga tersurat dalam diksi-diksinya. Puisi-puisi tersebut di antaranya, “Anjangsana”, “Hujan Turun Lagi”. “Cinta Zakiah”, “Bukan Keluh”, “Di Kala Pagiku” dan “Keluh Kesah Amarah Hariku”. Puisi-puisi itu tercipta melalui pengalaman batin dari sang penyair yang merupakan inspirasi-inspirasi dari lingkungan dan manusia yang berada di sekelilingnya. Bahasa yang dipergunakan dalam puisi-puisinya cukup sederhana walau terkadang terdapat kata kiasan di beberapa baris dan bait dalam pusi-puisinya.

Sumber Referensi:
http://siboccahfelix.wordpress.com/kumpulan-puisi-puisi-chairil-anwar-dlegend/
http://budhisetyawan.wordpress.com/2007/11/21/sebuah-puisi-karya-chairil-anwar/
http://andixjelek.blogspot.com/2009/04/chairil-dan-bahasa-individualistis.html
http://indonesiabuku.com/?p=1131
http://adisastrajaya.blogspot.com/2012/06/makalah-analisis-citraan-dalam-puisi-ws.html
http://zhuldyn.wordpress.com/2011/04/11/kumpulan-puisi-karya-w-s-rendra/


0 comments:

Post a Comment