Ads 468x60px

Thursday, November 8, 2012

Tugas Analisis Puisi, Biografi Sutardji, dan Tugas Puisi Pekanan


MALU, RASA, DAN NYAWA

suka, suka, suka
suka, suka, dan suka
su-ka, su-ka, su-ka
su-ka, su-ka, ka-gum
ka-gum, kagum, kagum
kagum, kagum, dan kagum
ka-gum, ka-gum, ka-gum
ka-gum, ka-gum, ka-yang
sa-yang, sayang, sayang
sayang, sayang, dan sayang
sa-yang, sa-yang, sa-yang
sa-yang, sa-yang, sa-ta
cin-ta, cinta, cinta
cinta, cinta, dan cinta
cin-ta, cin-ta, cin-ta
cin-ta, cin-ta, cin-gia
ba-ha-gia, bahagia, bahagia
bahagia, bahagia, dan bahagia
ba-ha-gia, ba-ha-gia, ba-ha-gia
ba-ha-gia, ba-ha-gia, ba-ha-gia
kala dan telah
semua menjadi maka dan bisa
hingga sangat biasa
dan akhirnya…
sakit
sakit, sakit
sakit, sakit, sakit
s
a
k
i
t
sakit, sakit, sakit
sakit, sakit
sakit
sa
ki
t
sa
ki
t
luka,      darah,   luka,      darah
luka        dan       darah
hingga meregang
nyawa
!
9 Oktober 2012
Teruna tak bestari


Analisis Penyimpangan Bahasa Puisi “Malu, Rasa, dan Nyawa”           

            Puisi berjudul “Malu, Rasa, dan Nyawa” di atas memiliki banyak penyimpangan. Penyimpangan yang paling mencolok ialah penyimpangan grafologis. Penulis seakan-akan lebih mementingkan bentuk tulisan daripada isinya. Sebenarnya makna dari bentuk puisi itu ialah sebuah tangan mengucurkan darah. Mengapa mengucurkan darah? Karena begitulah fenomena percintaan sekarang yang ingin disampaikan oleh penulis. Dari awalnya malu-malu, kemudian suka, lalu kagum, lalu sayang, dan bersemilah sebuah cinta. Hingga kedua orang yang sedang dalam ikatan cinta yang kebanyakan tidak halal merasakan bahagia bersifat sementara, hingga putuslah percintaan itu. Tak jarang, putusnya perncintaan selalu menimbulkan korban jiwa berupa bunuh diri, minimal sakit hati.
            Selain itu, ada pula penyimpangan sintaksis. Puisi tidak memiliki sama sekali subjek dan objek kecuali baris yang berbunyi “Semua menjadi maka dan bisa”. Hanya dominan diisi oleh predikat yang menerangkan, jauh dari kaidah pemakaian bahasa Indonesia menggunakan pola Diterangkan Menerangkan (DM) pada jajaran frasanya, begitu pula farasanya. Selain itu, banyak pelesapan kata dalam puisi ini. Tujuannya untuk memadatkan puisi dan membuatnya menjadi misterius serta memiliki makna yang begitu dalam. penulis mungkin terinspirasi dengan karya-karya Sutardji.
            Ada pula penyimpang semantik dalam puisi di atas. Misalnya pada baris yang berbunyi “kalah dan telah”. Di sini penulis bisa membuat pembacanya memikirkan makna ganda dari perkataan tersebut. Begitu pun dengan  baris “Semua menjadi maka dan bisa”. Puisi ini memang penuh dengan sarat makna dan unik. Satu lagi, begitu juga dengan banyaknya penyimpangan yang terjadi.

ANJANGSANA

Sebuah rindu…
Rindu begitu renjana…
Kepada sang kekasih bergelar sanak di sudut kota sana

Bersarang di pojok-pojok jiwa
Balig bahkan sudah tua
Renta dan begitu sengasara karena cinta

Hanya ada sebuah penawar
Bagi sengsara yang juga konsekuensi desir rasa
Anjangsana ianya

Ah, ini bukan persoalan mengapa dan siapa!
Hanya sebuah anjangsana
Lalu… hilang sudah duduk perkara

Ketika paras-paras telah saling berhadapan
Pucuk-pucuk rindu mulai layu
Berganti bianglala di langit-langit hati

Saling berceloteh mengumbar kasih…
Air muka lalu menjadi begitu suci
Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati
Hanya sebuah anjangsana
Lalu… sudah hilang semua perkara
Hingga musim semi yang dinanti… tiba… melukis rona merah di hati

28 Oktober 2012
Di peraduan sanak

Analisi Penyimpangan Bahasa Puisi “Anjangsana

            Puisi berjudul “Anjangsana” di atas memiliki beberapa penyimpangan. Penyimpangan yang pertama ialah penyimpangan leksikal. Ada beberapa kata yang begitu jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari digunakan oleh penulis dalam puisinya. Contohnya yaitu: “anjangsana” yang berarti kunjungan untuk melepas rasa rindu, “renjana” yang berarti rasa hati yang kuat, dan sebagainya. Tujuannya ialah tentu penulis menginginkan keindahan dalam setiap diksi dalam puisinya.
            Penyimpangan berikutnya ialah penyimpangan semantik. Penyimpangan ini mungkin banyak dialami oleh puisi-puisi lain. Karena memang puisi-pusi tersebut ingin menyampaikan pesan secara tidak langsung. Begitu pula dalam puisi “Anjangsana” ini. Banyak kata-kata di dalamnya memiliki makna yang mendua bahkan lebih. Misalnya “dipan-dipan hati”, “rona merah di hati”, “bianglala di langit-langit hati”, dan sebagainya yang memiliki makan yang konotatif dan bukan makna apa adanya.
            Terakhir, terdapat penyimpangan sintaksis dalam puisi di atas. Pada tataran klausa contohnya “Air muka lalu menjadi begitu suci”. “Lalu” yang menjadi konjungsi antar penghubung klausa seharusnya terletak di awal klausa dan berbunyi “Lalu air muka menjadi begitu suci”

Keterangan: Puisi ini juga merupakan tugas puisi pekanan.

Tugas puisi pekanan:

28 Oktober 1928

Imagi berputar jauh ke belakang hari
Melintasi ingatan-ingatan yang pernah berarti
Hingga tiba di sebuah gerbang bertuliskan pemuda-pemudi

Mereka penuh jasa
Mereka punya upaya
Mereka adalah tonggak peradaban bertajuk “Indonesia”

Dalam kepungan penjajah
Ketakutan menghiasi hari-hari mereka
Hanya bisa merintih dan berteriak dalam hati “aku ingin merdeka”

Benalu itu begitu perkasa
Mengumbar janji, namun muslihat di balik raga
Tahulah bagaimana pemuda, tiada sabar dan memang rindu membuncah untuk merdeka

Lalu terjadilah apa yang terjadi
Mereka mengejawantahkan renjana dalam suatu tragedi
Membakar ketakutan lalu lahir trisula di bumi pertiwi

Dengan teriakan menggelegar membahana
“satu nusa, satu bangsa, satu bahasa…. INDONESIA”
Mereka lanjutkan mimpi yang telah terbit dalam adegan yang berbeda
Masa bodoh dengan malapetaka
Masa bodoh dengan gentar belantara
Mereka hanya ingin merdeka

Semangat mereka hidup hingga detik ini
Bergelora dalam sanubari
Bahwa Indonesia telah merdeka hingga kini

Terima kasih wahai pemuda pemudi
Kau pertaruhkan nyawa demi seukir senyum untuk anak-anak ibu pertiwi
Hingga kini, semua tertancap indah di hati-hati kami

Terima kasih wahai pemuda pemudi
Jasamu begitu dalam berarti
Bermunajat… Rahimakumullah… kepada Maha Pengasih

Terima kasih wahai pemudai pemudi
Nyalimu untuk nusantara akan selalu menggetarkan kolong hati ini
Sekali lagi, terima kasih wahai pemuda pemudi….

28 Oktober 2012
Refleksi pemuda-pemudi Indonesia dahulu dan kini


Biografi Sutardji

Sutardji Sang Presiden

       Kalau ada sebuah pertanyaan yang dilemparkan ke khalayak berbunyi “Siapakah Presiden Penyair Indonesia? Mungkin dominan mereka menyuarakan satu nama, “Chairil Anwar” itu. Namun ternyata tahukah Anda bahwa pujangga kenamaan Indonesia itu ternyata bukanlah seorang Presiden Penyair Indonesia? Lalu siapa?
      Dia adalah Sutardji Calzoum Bachri. Ia lahir di di Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941. Ia bukanlah lulusan dari fakultas bahasa dan sastra, namun ia adalah lulusan Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Sekarang ia bekerja sebagai redaktur dan penyair.
       Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung. Kemudian, sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Lewat sajak-sajaknya ia memperbaruhi perwajahan dunia puisi Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
    Sutardji adalah penyair yang unik dan memiliki warna tersendiri. Ia memiliki gaya tersendiri saat membacakan puisinya, kadang kala jumpalitan di atas panggung, bahkan sambil tiduran dan tengkurap. Ia memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia. Ia begitu berbeda dengan penyair lainnya.
       Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Selain itu, sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi “Arjuna in Meditation” (Calcutta, India), “Writing from the World” (Amerika Serikat), “Westerly Review” (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: “Dichters in Rotterdam” (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan “Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters” (1979).
     Karena Prestasinya, Seabrek penghargaan telah bersandang di pundaknya. Dia telah meraih sejumlah pengharaan atas karya-karya sastranya. Antara lain Hadiah Sastra ASEAN (1979), Kumpulan sajak Amuk (1977), memenagkan hadiah puisi DKJ (1976/ 1977) Hadiah Seni (1993), Anugerah Sastra Chairil Anwar (1998), serta Anugerah Akademi Jakarta (2007).
        “O Amuk Kapak” merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern. Selain itu, ada pula “Atau Ngit Cari Agar adalah kumpulan puisi yang dia buat dalam kurun 1970-an hingga 2000-an. Puisi-puisi itu tak ada dalam buku kumpulan puisinya, “Amuk” (1977) dan  “O Amuk Kapak” (1981). Selain sajak ada pula karyanya berupa kumpulan esai “Isyarat” dan Kumpulan CerpenHujan Menulis Ayam” (2001).           
         Untuk menghormatinya maka Ketua Dewan Kesenian Riau Eddy Akhmad RM mengatakan bahwa pihaknya menabalkan bulan Juni sebagai bulan Sutardji. Penabalan ini tak bermaksud mengultuskan Sutardji. Ini, katanya, pengakuan seniman Riau terhadap kemampuannya menjadi rajawali di langit, menjadi paus di laut yang bergelombang, menjadi kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.

Diambil dari berbagai sumber.

            





0 comments:

Post a Comment