MALU, RASA, DAN NYAWA
suka, suka, suka
suka, suka, dan suka
su-ka, su-ka, su-ka
su-ka, su-ka, ka-gum
ka-gum, kagum, kagum
kagum, kagum, dan
kagum
ka-gum, ka-gum,
ka-gum
ka-gum, ka-gum,
ka-yang
sa-yang, sayang,
sayang
sayang, sayang, dan
sayang
sa-yang, sa-yang,
sa-yang
sa-yang, sa-yang,
sa-ta
cin-ta, cinta, cinta
cinta, cinta, dan
cinta
cin-ta, cin-ta,
cin-ta
cin-ta, cin-ta,
cin-gia
ba-ha-gia, bahagia,
bahagia
bahagia, bahagia, dan
bahagia
ba-ha-gia, ba-ha-gia,
ba-ha-gia
ba-ha-gia, ba-ha-gia,
ba-ha-gia
kala dan telah
semua menjadi maka
dan bisa
hingga sangat biasa
dan akhirnya…
sakit
sakit, sakit
sakit, sakit, sakit
s
a
k
i
t
sakit, sakit, sakit
sakit, sakit
sakit
sa
ki
t
sa
ki
t
luka, darah, luka,
darah
luka dan darah
hingga meregang
nyawa
!
9 Oktober 2012
Teruna tak bestari
Analisis Penyimpangan Bahasa Puisi “Malu, Rasa, dan Nyawa”
Puisi berjudul “Malu,
Rasa, dan Nyawa” di atas memiliki banyak penyimpangan. Penyimpangan yang paling
mencolok ialah penyimpangan grafologis. Penulis seakan-akan lebih mementingkan
bentuk tulisan daripada isinya. Sebenarnya makna dari bentuk puisi itu ialah
sebuah tangan mengucurkan darah. Mengapa mengucurkan darah? Karena begitulah
fenomena percintaan sekarang yang ingin disampaikan oleh penulis. Dari awalnya
malu-malu, kemudian suka, lalu kagum, lalu sayang, dan bersemilah sebuah cinta.
Hingga kedua orang yang sedang dalam ikatan cinta yang kebanyakan tidak halal
merasakan bahagia bersifat sementara, hingga putuslah percintaan itu. Tak jarang,
putusnya perncintaan selalu menimbulkan korban jiwa berupa bunuh diri, minimal
sakit hati.
Selain itu, ada
pula penyimpangan sintaksis. Puisi tidak memiliki sama sekali subjek dan objek
kecuali baris yang berbunyi “Semua menjadi maka dan bisa”. Hanya dominan diisi
oleh predikat yang menerangkan, jauh dari kaidah pemakaian bahasa Indonesia
menggunakan pola Diterangkan Menerangkan (DM) pada jajaran frasanya, begitu
pula farasanya. Selain itu, banyak pelesapan kata dalam puisi ini. Tujuannya untuk
memadatkan puisi dan membuatnya menjadi misterius serta memiliki makna yang
begitu dalam. penulis mungkin terinspirasi dengan karya-karya Sutardji.
Ada pula
penyimpang semantik dalam puisi di atas. Misalnya pada baris yang berbunyi “kalah
dan telah”. Di sini penulis bisa membuat pembacanya memikirkan makna ganda dari
perkataan tersebut. Begitu pun dengan
baris “Semua menjadi maka dan bisa”. Puisi ini memang penuh dengan sarat
makna dan unik. Satu lagi, begitu juga dengan banyaknya penyimpangan yang
terjadi.
ANJANGSANA
Sebuah
rindu…
Rindu
begitu renjana…
Kepada
sang kekasih bergelar sanak di sudut kota sana
Bersarang
di pojok-pojok jiwa
Balig
bahkan sudah tua
Renta
dan begitu sengasara karena cinta
Hanya
ada sebuah penawar
Bagi
sengsara yang juga konsekuensi desir rasa
Anjangsana
ianya
Ah,
ini bukan persoalan mengapa dan siapa!
Hanya
sebuah anjangsana
Lalu…
hilang sudah duduk perkara
Ketika
paras-paras telah saling berhadapan
Pucuk-pucuk
rindu mulai layu
Berganti
bianglala di langit-langit hati
Saling
berceloteh mengumbar kasih…
Air
muka lalu menjadi begitu suci
Kemuning
bahagia bersandar di dipan-dipan hati
Hanya
sebuah anjangsana
Lalu…
sudah hilang semua perkara
Hingga
musim semi yang dinanti… tiba… melukis rona merah di hati
28 Oktober 2012
Di peraduan sanak
Analisi Penyimpangan Bahasa Puisi “Anjangsana”
Puisi berjudul
“Anjangsana” di atas memiliki beberapa penyimpangan. Penyimpangan yang pertama
ialah penyimpangan leksikal. Ada beberapa kata yang begitu jarang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari digunakan oleh penulis dalam puisinya. Contohnya
yaitu: “anjangsana” yang berarti kunjungan untuk melepas rasa rindu, “renjana”
yang berarti rasa hati yang kuat, dan sebagainya. Tujuannya ialah tentu penulis
menginginkan keindahan dalam setiap diksi dalam puisinya.
Penyimpangan
berikutnya ialah penyimpangan semantik. Penyimpangan ini mungkin banyak dialami
oleh puisi-puisi lain. Karena memang puisi-pusi tersebut ingin menyampaikan
pesan secara tidak langsung. Begitu pula dalam puisi “Anjangsana” ini. Banyak
kata-kata di dalamnya memiliki makna yang mendua bahkan lebih. Misalnya
“dipan-dipan hati”, “rona merah di hati”, “bianglala di langit-langit hati”,
dan sebagainya yang memiliki makan yang konotatif dan bukan makna apa adanya.
Terakhir, terdapat penyimpangan
sintaksis dalam puisi di atas. Pada tataran klausa contohnya “Air muka lalu
menjadi begitu suci”. “Lalu” yang menjadi konjungsi antar penghubung klausa
seharusnya terletak di awal klausa dan berbunyi “Lalu air muka menjadi begitu
suci”
Keterangan: Puisi ini juga merupakan tugas puisi pekanan.
Tugas puisi pekanan:
28 Oktober 1928
Imagi
berputar jauh ke belakang hari
Melintasi
ingatan-ingatan yang pernah berarti
Hingga
tiba di sebuah gerbang bertuliskan pemuda-pemudi
Mereka
penuh jasa
Mereka
punya upaya
Mereka
adalah tonggak peradaban bertajuk “Indonesia”
Dalam
kepungan penjajah
Ketakutan
menghiasi hari-hari mereka
Hanya
bisa merintih dan berteriak dalam hati “aku ingin merdeka”
Benalu
itu begitu perkasa
Mengumbar
janji, namun muslihat di balik raga
Tahulah
bagaimana pemuda, tiada sabar dan memang rindu membuncah untuk merdeka
Lalu
terjadilah apa yang terjadi
Mereka
mengejawantahkan renjana dalam suatu tragedi
Membakar
ketakutan lalu lahir trisula di bumi pertiwi
Dengan
teriakan menggelegar membahana
“satu
nusa, satu bangsa, satu bahasa…. INDONESIA”
Mereka
lanjutkan mimpi yang telah terbit dalam adegan yang berbeda
Masa
bodoh dengan malapetaka
Masa
bodoh dengan gentar belantara
Mereka
hanya ingin merdeka
Semangat
mereka hidup hingga detik ini
Bergelora
dalam sanubari
Bahwa
Indonesia telah merdeka hingga kini
Terima
kasih wahai pemuda pemudi
Kau
pertaruhkan nyawa demi seukir senyum untuk anak-anak ibu pertiwi
Hingga
kini, semua tertancap indah di hati-hati kami
Terima
kasih wahai pemuda pemudi
Jasamu
begitu dalam berarti
Bermunajat…
Rahimakumullah… kepada Maha Pengasih
Terima
kasih wahai pemudai pemudi
Nyalimu
untuk nusantara akan selalu menggetarkan kolong hati ini
Sekali
lagi, terima kasih wahai pemuda pemudi….
28
Oktober 2012
Refleksi
pemuda-pemudi Indonesia dahulu dan kini
Biografi Sutardji
Sutardji Sang Presiden
Kalau
ada sebuah pertanyaan yang dilemparkan ke khalayak berbunyi “Siapakah Presiden
Penyair Indonesia? Mungkin dominan mereka menyuarakan satu nama, “Chairil
Anwar” itu. Namun ternyata tahukah Anda bahwa pujangga kenamaan Indonesia itu
ternyata bukanlah seorang Presiden Penyair Indonesia? Lalu siapa?
Dia
adalah Sutardji Calzoum Bachri. Ia lahir di di Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni
1941. Ia bukanlah lulusan dari fakultas bahasa dan sastra, namun ia adalah
lulusan Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi
Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Sekarang ia bekerja sebagai redaktur
dan penyair.
Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri
mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung. Kemudian,
sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang
kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Lewat sajak-sajaknya ia memperbaruhi
perwajahan dunia puisi Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang
hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi
kata seperti dalam mantra.
Sutardji
adalah penyair yang unik dan memiliki warna tersendiri. Ia memiliki gaya
tersendiri saat membacakan puisinya, kadang kala jumpalitan di atas panggung,
bahkan sambil tiduran dan tengkurap. Ia
memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di
Indonesia. Ia
begitu berbeda dengan penyair lainnya.
Pada musim panas 1974, Sutardji
Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam.
Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa
City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Selain itu, sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry
Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi “Arjuna in
Meditation” (Calcutta, India), “Writing from the World” (Amerika Serikat), “Westerly
Review” (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: “Dichters in
Rotterdam” (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan “Ik wil nog duizend jaar
leven, negen moderne Indonesische dichters” (1979).
Karena Prestasinya, Seabrek penghargaan telah
bersandang di pundaknya. Dia telah meraih sejumlah pengharaan atas
karya-karya sastranya. Antara lain Hadiah Sastra ASEAN (1979), Kumpulan
sajak Amuk (1977), memenagkan hadiah puisi DKJ (1976/
1977) Hadiah Seni (1993), Anugerah Sastra Chairil
Anwar (1998), serta Anugerah Akademi Jakarta (2007).
“O Amuk Kapak” merupakan penerbitan
yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai
1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang
dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern. Selain itu, ada pula “Atau Ngit Cari Agar” adalah kumpulan puisi yang dia buat dalam
kurun 1970-an hingga 2000-an. Puisi-puisi itu tak ada dalam buku kumpulan
puisinya, “Amuk” (1977) dan “O Amuk
Kapak” (1981). Selain
sajak ada pula karyanya berupa kumpulan esai “Isyarat” dan Kumpulan Cerpen “Hujan
Menulis Ayam”
(2001).
Untuk
menghormatinya maka Ketua Dewan Kesenian Riau Eddy Akhmad RM mengatakan bahwa
pihaknya menabalkan bulan Juni sebagai bulan Sutardji. Penabalan
ini tak bermaksud mengultuskan Sutardji. Ini, katanya, pengakuan seniman Riau
terhadap kemampuannya menjadi rajawali di langit, menjadi paus di laut yang
bergelombang, menjadi kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia
yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.
Diambil dari berbagai sumber.
0 comments:
Post a Comment