Sore itu nampak kelam. Awan gelap lagi pekat menghalau langit untuk memancarkan sinar birunya. Angin sepoi yang sedari tadi berlari, bermain, sembari berkejar-kejaran kini lenyap digantikan angin kencang hingga menerbangkan setiap helai rambut dari para anak Adam dan memisahkan dedaunan senja dari pucuk-pucuk dahannya. Rintik kecil demi rintik kecil berjatuhan dengan bebas membasahi tanah, menyejukkannya, memandikannya, dan menghilangkan penatnya karena sedari tadi ia lelah terinjak-injak oleh setiap makhluk hidup yang egois dan oportunis. Tak ada sinar kekuningemasan yang biasa hadir diwaktu itu. Burung-burung seakan bergegas pulang dari jadwal yang tak semestinya. Sungguh suasana dan aroma kehidupan yang lain dari bisanya. Semua itu menjadi saksi di tempat kami termenung menunggu ustaz untuk mengisi taklim rutin di gedung DJ Fakultas Seni dan Desain yang membisu. Ada pula mereka sembari bercerita diselingi tawa yang memecah keheningan, tentang potongan-potongan sejarahnya hari ini. Tampak di pekarangan lantai dasar diatas dipan dekat kantin disamping gedung tempat berkumpulnya sekret organisasi Bahasa dan Sastra dulu, terlihat sekelompok manusia yang sibuk bercerita tentang urusannya sendiri, entah apa itu, yang pasti mereka merupakan sedikit dari mahasiswa Fakultas Seni dan Desain, yang kurang tertarik bahkan alergi dengan segala sesuatu yang berbau keimanan dan diennya. Hanya memikirkan seni dalam perspektifnya masing-masing. Pekarangan nampak dihiasi oleh pepatungan yang tak terlalu abstrak, ciri dari fakultas ini. Di sampingnya setia pepohonan kecil maupun besar yang hijau meneduhinya. Kendaraan-kendaraan yang kedinginan berjejer tak karuan menunggu penunggangnya untuk kembali ke pembaringan.
Pada umumnya, orang-orang Indonesia terkenal dengan jam karetnya. Mereka kurang disiplin dalam menghargai waktu. Begitu pula ustaz kita ini. detik demi detik berlalu, akhirnya yang dinanti telah tiba. Seorang lelaki dengan jas hitam dan kemaja putih yang begitu rapi dan gagah muncul dengan gerakan yang agak cepat, seakan-akan ia menyadari kesalahan pertamanya. Dengan sigap ia pun menduduki kursi yang telah disediakan oleh panitia penyelenggara. Mulailah moderator memainkan perannya. Moderator memperkenalkan nama ustaznya, yaitu Ardian Kamal, S.Pd. yang tak lain adalah murobbiku dan murobbi moderator sendiri, orang yang kami tagih ilmunya setiap senin malam ba’da isya di mesjid ar-Rahma di belakang kampus.
Beliau adalah lulusan Universitas Negeri Makassar fakultas Matematika dan IPA Jurusan Fisika. Ia juga merupakan salah satu orang yang sangat haus ilmu serta dermawan dalam membagikan ilmunya. 3 bahasa mungkin ia telah kuasai, sungguh orang yang multilingualis. Oh bukan, kalaulah bahasa daerah dimasukkan maka ia merupakan salah seorang yang banyak menguasai bahasa.
Setelah membuka pengajiannya, dengan puji Ilahi, dan dengan shalawat atas Baginda Rasulullah Shallallahu alahiwasallam, beliau langsung menancapkan pada hati kami tentang inti-inti materi taklim di sore menjelang petang itu.
“Kematian adalah sesuatu yang pasti!" katanya.
Keadaan di sekitar seakan-akan mendukung ucapan dari ustaz itu, yang memaksa alam bawah sadar kami untuk serius kali ini. sebagian bahkan tertunduk menghayati kalimat singkat itu. “kematian”!!! Kita yakin bahwa kematian itu ada dan pasti akan dialami oleh setiap manusia, namun seriuskah kita dalam mempersiapkan kematian kita?
“Manusia boleh saja melupakan kematian, dengan pergi nongkrong di warung kopi, dengan bernyanyi di rumah bernyanyi, dengan berkumpul di tepi pantai, namun kematian tak akan pernah melupakan kita. Malaikat maut selalu siap siaga melaksanakan perintah Rabbnya.”
Seketika kami tersentak dan tertegun. Kudengar di sisi kiriku, tepat di situ, ada suara isak tangisan. Kulihat ia tertunduk terhenyak oleh setiap kata dari ustaz kita. Entah siapa ia. Sedang aku di sini, tak mampu untuk mengeluarkan butiran-butiran bening tersebut. Mungkin terlalu banyak kotoran-kotoran yang menempel dan menutupi permukaan hatiku, sehinggah aku kurang pekah akan hal itu. langit pun menangis seketika itu.
Sembari menangis, sang ustaz pun melanjutkan pengajiannya,
“Entah mengapa, saya yang di tunjuk membawakan materi ini. materi yang paling menakutkan yang pernah ada. Kita seakan-akan tak pernah khawatir pada kematian. Umur kita boleh bertambah, namun hal itu akan mendekatkan kita pada pintu kematian. Dan tahukah engkau bagaimana pedihnya sakaratulmaut itu wahai hadirin dan hadirat, ikhwan dan akhwatifillah sekalian? Rasulullah shallallahu alahiwasallam pernah berkata, “sakitnya sakaratulmaut seperti ditebas 100 pedang.” Bayangkan betapa pedihnya. Bahkan digambarkan bahwah kita tak mampu berteiak saking pedihnya sakaratulmaut itu!!!
Jajaran depan mulai tertunduk, meratap dan terisak. Di samping kiriku yg tadi pun terisak sejadi-jadinya. Kulihat di sisi kananku, bahkan hampir semua hadirin tertunduk merenungkan perkataan yang panjang dan mencekam itu. entah apa yang terjadi diseberang sana, di tempat para akhwat. Anak hawa yang terkenal dengan perasaan yang berlebihan dibanding akal sehatnya itu, semua mungkin sudah larut dalam selimut nestapa yang berkepanjangan . Yah itulah wanita, kadang setegar bebatuan karang, namun kadang selemah jejaring laba-laba.
Pernah kudengar seseorang berkata,
“Ia adalah makhluk lemah yang tercipta dari tulang rusuk sebelah kiri, untuk kita lindungi dan kita sayangi..”
Beliau pun melanjutkan,
“orang yang pandai adalah orang yang tidak silau kepada kehidupan dunia,dan selalu mengingat kematian, serta mengumpulkan bekal untuknya” begitulah kata Rasulullah Shallallahu alahiwasallam yang di sampaikan oleh ustaz.
“Oleh karea itu, mensucikan hati ataupun tazkiya semisal membaca alquran, sampai menangis, tangisilah karena hati yang telah mati dan tak peka pada kalamulloh. Kemudian bertobatlah dengan sebenar-benarnya tobat, komitmenlah pada hari ini dan kedepannya untuk tidak berbuat maksiat, siramilah diri kita dengan semangat untuk berbuat amalan kebajikan, berakhlaklah dengan akhlak yang baik, karena sesungguhnya orang yang paling dekat dengan tempat duduk Rasulullah Shallallahu alahiwasallam di surga ialah orang yang berakhlak mulia, serta semoga dengan itu kita mati dalam keadaan yang saleh” dengan semangat dan suara yang lantang beliau menyampaikannya.
“bagaimana mungkin kita dapat tenang di dunia dan pembaringan kita sedang neraka telah mempersiapkan diri dengan apinya, dan kita dijadikan sebagai bahan bakarnya, masihkah kita bisa tenang?”
Seakan-akan semua mendesah dan menghela napas atas semua yang pernah mereka dan saya lakukan, atas waktu yang terbuang percuma dan sia-sia, atas dosa yang disetiap waktu bertambah dan tak pernah berhenti bertambah, dan disetiap maksiat yang dilakukan oleh seluruh anggota badan yang menjadi penghianat dan bersaksi atas kejahatan yang kita lakukan karena perinta Allah yang menyuruhnya untuk berbicara.
Sang ustaz sekaligus murobbiku pun menutup dengan beberapa nasehat dan doa kafaratul majelis.....
Yah, ada saja hal-hal yang membuat kita lupa akan kematian. Harta, tahta, wanita, dan mungkin anak kita nantinya merupakan komponen-komponen yang membuat kita lupa akan kematian wahai saudaraku. Telah diceritakan oleh ustaz bagaimana gambaran kematian itu dan bagaimana proses yang kita alami ketika sakaratulmaut, begitu pedihnya. Belum lagi siksa kuburan dari dua malaikat yang menjadi algojo Tuhan. Apabila kita mengalaminya, maka siksa neraka akan lebih pedih bahkan berjuta kali lebih pedih dibanding siksa kubur saudaraku.
Semoga Yang Mahasuci selalu mensucikan kita dari dosa-dosa kita, semoga Yang Maha Pengampun mengampuni dosa-dosa kita, dan semoga Yang Maha Rahman dan Rahim selalu mengasihi dan menyayangi kita wahai saudaraku. Akhirul kalam, semoga kita tetap istiqomah fisabilillah wahai saudara seperjuanganku. Mari kita kembali kekampung halaman kita, yang sebenar-benarnya kampung halaman. Wassalam.