Tengku
Amir Hamza Pangeran Indera Putera
atau dikenal dengan Amir Hamzah adalah penyair dari pujangga baru. Puisi-puisi
Amir Hamza menggambarkan kerinduan, kesedihan, dan kesepian terhadap
kekasihnya. Puisi-pusinya juga menggambarkan bahwa ia begitu bergantung dengan
Tuhannya. Beberapa puisi-puisi Amir Hamzah yang memiliki kemiripan ialah
“Berdiri Aku”, “Padamu Jua”, “Hanya Satu”, “Permainanmu”, dan “Doa”. Semua
puisi-pusi tersebut menggambarkan bahwa si penyair begitu rindu akan kekasihnya
dan selalu menyebut-nyebut kata “kekasih” dalam puisi-puisi tersebut. Kekasih
yang dimaksud Amir Hamzah ialah Tuhannya sendiri. Ialah penyejuk hatinya,
penentram jiwanya. Kepadanyalah ia bergantung dan mencurahkan rasa. Tentu saja,
puisi-puisi itu dibuat berdasarkan pengalaman batin maupun jasmani dari Amir
Hamzah sendiri.
Penyair
yang lahir tanggal 25 Juni 1935 ini bernama lengkap Taufiq Ismail. Ia
adalah penyair dari angkatan ‘66. Puisi-puisi Amir Hamzah berisi tentang
kehidupan kenegaraan, tentang perang kemerdekaan masa lalu, kritik terhadap
negara, realita bangsa, dan segala sesuatu berbau hiruk piku-duka Indonesia.
Kesamaan Isi puisi Taufiq Ismail ialah menceritakan realita kacaunya kenegaraan
Indonesia. Hal itu tercermin dalam karya-karyanya yang berjudul “Buku Tamu
Musium Perjuangan”, “Pengoemoeman Repoeblik”, “Dari Catatan Seorang
Demonstran”, “Jawaban dari Pos Terdepan”, “Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa
Pengemis, Lalu Kalian Paksa Kami masuk Msa Penjajahan Baru, Kata Si Toni”,
“Yang Selalu Terapung di Atas Gelombong”. Puisi-puisi tersebut menggambarkan
curhatan Taufiq Ismail tentang suasan kemederkaan Indonesia yang jauh dari
kemerdekaan Indonesia. Puisi-puisi tersebut mungkin tercipta dari
kekesalan-kekesalan hati Taufiq Ismail kehidupan Indonesia hingga
mengejawantahkannya dengan karya sastra berbentuk puisi berisi kritikan.
Penyair
lulusan American Academy of Dramatical Art ini bernama lengkap Willibrordus
Surendra Bawana Rendra, namun dikenal oleh pecintanya dengan nama W.S.
Rendra. Ia merupakan bagian dari penyair
angkatan ‘53 dan bergelar “Burung Merak”. Kesamaan dalam puisi-puisinya ialah
berisikan protes, sindirian, dan kritikan baik terhadap pemerintah, dan segala
kekacauan dalam hidup berbangsa. Hal itu tertuang dalam puisi-puisinya yang
berjudul “Sajak Kenalan Lamamu”, “Sajak Mata-Mata” “Sajak Pertemuan Mahasiswa”,
“Sajak Pulau Bali”, “Sajak S L A”, “Sajak Sebatang Lisong”, dan “sajak Sebotol
Bir”. Puisi-puisi tersebut tak jarang bernada kasar dan menggunakan kata-kata
yang “tabu” di dalam pandangan masyarakat Indonesia yang inti puisinya bernada
penyesalan, protes, kritik, dan sindiran. Tentu hal itu wajar saja karena W.S.
rendra hidup dari zaman kemerdekaan hingga zaman reformasi yang begitu penuh
penderitaan.
Siapa yang tak kenal pemuda Minangkabau satu ini.
Dia bernama Chairil Anwar, “Binatang Jalang” dari Medan. Puisi-pusi
pelopor angkatan ’45 ini memiliki kesamaan yaitu memiliki makna tentang sebagaian
besar pengalaman hidup Chairil Anwar. Benar, dalam puisinya seringkali
menggunakan penulisan “Aku”. Puisi-puisi tersebut di antaranya,”Aku”, “Penerimaan”,”Doa”,
“Senja di Pelabuhan Kecil”, “Cinta Aku Jauh ke Pulau”, dan “Derai-Derai Cemara”.
Bahasa yang digunakan dalam puisi-puisinya tersebut berisi bahasa yang lugas
walau juga menggunakan kiasan-kiasan yang tajam. Kesamaan puisi-puisi tersebut
terjadi karena Sang Penyair memiliki pengalaman hidup dan batin yang begitu
kaya. Makna-makna puisinya penuh dengan penharapan, mimpi, keinginan hati, dan
kesedihan.
Penyair
kelahiran Parepare satu ini bernama Murdani Tulqadri. Dia ialah
mahasiswa bersahaja tahun ketiga di Universitas Negeri Makassar dengan memilih
Jurusan Bahasa dan Satra Indonesia. Puisi-puisi yang dia terbitkan di www.pojokpakdani.blogspot.com
menceritakan tentang kehidupannya. Sedih, senang, duka, larah, dan bahagia ia
ungkapkan dengan gaya bahasa orang pertama “Aku”dalam puisi-puisinya. Ia juga
selalu memasukkan kata “hati” dalam puisi-puisnya, baik diungkapkan secara
langsung atau pun melalui metamorfosa hingga tersurat dalam diksi-diksinya. Puisi-puisi
tersebut di antaranya, “Anjangsana”, “Hujan Turun Lagi”. “Cinta Zakiah”, “Bukan
Keluh”, “Di Kala Pagiku” dan “Keluh Kesah Amarah Hariku”. Puisi-puisi itu
tercipta melalui pengalaman batin dari sang penyair yang merupakan
inspirasi-inspirasi dari lingkungan dan manusia yang berada di sekelilingnya. Bahasa
yang dipergunakan dalam puisi-puisinya cukup sederhana walau terkadang terdapat
kata kiasan di beberapa baris dan bait dalam pusi-puisinya.
Sumber
Referensi:
http://siboccahfelix.wordpress.com/kumpulan-puisi-puisi-chairil-anwar-dlegend/
http://budhisetyawan.wordpress.com/2007/11/21/sebuah-puisi-karya-chairil-anwar/
http://www.newoes.com/kumpulan-puisi-chairil-anwar/http://id.shvoong.com/social-sciences/1666147-latar-minangkabau-dalam-puisi-puisi/
http://andixjelek.blogspot.com/2009/04/chairil-dan-bahasa-individualistis.html
http://indonesiabuku.com/?p=1131
http://adisastrajaya.blogspot.com/2012/06/makalah-analisis-citraan-dalam-puisi-ws.html
http://zhuldyn.wordpress.com/2011/04/11/kumpulan-puisi-karya-w-s-rendra/