“Kericuhan ini terjadi saat perayaan Maulid Nabi Muhammad saw di Balla Lompoa, Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Senin (12/1/2015) siang. Ratusan warga yang tidak sabar menunggu hingga berakhirnya acara, langsung menyerbu dan berebut gunungan yang berisi telur dan hasil bumi. Akibatnya, tak sedikit anak-anak dan ibu-ibu yang berebut terjatuh dan terinjak oleh warga. Bahkan, beberapa di antara petugas pun ikut berebut di tengah-tengah warga.” (Makassarterkini.com.)
Peristiwa di atas merupakan bagian
dari sekelumit kisah memilukan yang terjadi di bulan ini. Telah menjadi tradisi
bahwa Rabiul Awal—bertepatan dengan bulan Januari—sebagai bulan kelahiran Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan bulan bagi sebagian umat Islam untuk mengejawantahkan
rasa cintanya kepada beliau. Dari satu masjid hingga masjid lainnya terdengar
keramain dan suara selawatan yang menggemparkan alam. Pembuktian cinta tersebut
berupa perayaan maulid dengan berbagai
variasi bentuk cinta di dalamnya.
Bentuk cinta berupa pembagian makanan, mengundang penceramah untuk
memberikan nasehat berkaitan dengan kisah singkat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam (yang terkadang diisi dengan kisah-kisah cabul dan hadis-hadis
palsu), pertunjukkan nasyid, pembacaan tilawah Alquran, perlombaan pembuatan makanan
yang paling indah perawakan bentuk dan rasanya, hingga saling berebutan makanan
yang mengakibatkan peristiwa teragis seperti kejadian tersebut. Maka, apakah
memang benar pembuktian cinta yang demikian? Lalu, pantaskah pembuktian cinta kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuah kericuan yang mengakibatkan
korban?
Persepsi
Cinta yang Keliru
Cinta kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam saw jelas merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Tidaklah
seorang manusia dikatakan sebagai seorang muslim kecuali karena ia mencintai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan membuktikan cintanya. Cinta kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan turunan dari cinta kepada Allah Azza Wa
Jalla. Allah menyatakannya dengan berfirman:
“Katakanlah
(wahai Muhammad): “jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya
Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31)
Allah
juga berfirman,
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu suri tauladan
yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah”.
(QS. Al-Ahzaab: 21)
Maka, cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dilandasi dengan iman dan ketauladan kepadanya yaitu percaya dalam hati,
pembenaran dengan perkataan, dan pembuktian dengan perbuatan terhadap
ajaran-jaran (risalah) yang dibawa oleh beliau. Nah, yang menjadi pertanyaan
selanjutnya bahwa apakah memang benar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan umatnya untuk membuktikan cinta kepadanya dengan peringatan
maulid yang sedemikian rupa? Benarkah pula apabila orang yang tidak
melaksanakan maulid tidak mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Kalaulah jawabannya benar, maka sungguh orang yang membenarkannya berada dalam
kekeliruan yang besar.
Ketahuilah, kalaulah benar demikian adanya berarti kita telah menuduh para istri Rasullullah—yang sejatinya merupakan Ibunya Umat Muslim—tidak mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, karena mereka tidak pernah memperingati kelahiran beliau dengan acara maulidan. Kita pula menuduh bahwa para sahabat—termasuk sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga pun di dalamnya terdapat empat khalifah Ar Raasyidun—juga tidak mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebab mereka tidak pernah sekalipun memperingati maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita pula menuduh para imam empat madzhab termasuk Imam Syafi’i serta para ulama terdahulu tidak mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena mereka semuanya tidak memperingati maulid beliau. Bagaimana bisa demikian? Padahal merekalah adalah orang-orang yang bersegera mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan setiap perkara yang disyariatkannya lebih dahulu dari kita. Ataukah kita menyatakan lebih besar cintanya dan lebih benar perlakuannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada mereka?
Bentuk
Cinta yang Tertolak
Abu
Umar Basyir menjelaskan bahwa peringatan maulid Nabi adalah sejenis ulang tahun
yang dilakukan untuk Nabi. Padahal, merayakan dalam artian memperingati dengan
sebuah kemeriaan selain hari raya ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri tersebut dilarang
dan haram dalam Islam. Hal ini pernah terjadi ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melihat sebagian kalangan kaum Anshar memperingati salah satu
dari dua hari yang biasa mereka rayakan di masa jahiliyyah. Beliau kemudian
membantah dengan sabdanya:
“Sesungguhnya
Allah telah mengganti kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik: Idul Adha
dan ‘Idul Fithri.” (HR. Abu Dawud
dan selainnya)
Merayakan maulid nabi juga terkesan
meniru umat nasrani yang juga merayakan maulid Nabi Isa as. yang mereka klaim
sebagai Tuhan. Padahal telah jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sangat melarang kegiatan-kegiatan yang menyerupai dan meniru-niru kaum
kafir dan musyrik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa
yang meniru kelompok manusia tertentu, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawu dan Ahmad)
Bahkan perayaan maulid ini juga
seakan-akan ingin dipaksakan masuk ke dalam syariat Islam. Bahwasanya sebagian
dari mereka menyatakan bahwa perbuatan ini baik dan memiliki maslahat yang
besar serta menjadi wasilah yang baik untuk menyiarkan Islam. Padahal
sejatinya, ini adalah pencampuran antara yang hak dan yang batil. Ini pula
adalah talbis iblis (perangkap setan) yang hendak menipu dan menjadikan manusia
mengikuti langkah-langkah mereka. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Barangsiapa
yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, “Barangsiapa yang
mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka
amalan tersebut tertolak.”
Walaupun niat melaksanakan maulid pada hakikatnya adalah kebaikan,
namun setiap kebaikan berupa ibadah dan syariat Islam yang tidak disandarkan
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semuanya tertolak.
Pembuktian
Cinta yang Sahih
Pembuktian
cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah harus dibenturkan
dengan syariat yang telah ia sampaikan kepada kita. Begitu banyak sunnah-sunnah
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang belum dilaksanakan umat ini
kemudian ingin ditambahkan dengan bentuk syariat baru yang tertolak keberadaannya.
Namun, anehnya, ketika seseorang menjalankan sunnah-sunnah yang dianggap asing
tersebut maka sebagian umat ini melecehkan dengan berbagai macam cercaan.
Sunnah yang seharusnya mereka laksanakan justeru dicelah habis-habisan.
Jenggot adalah salah satu sunnah
yang dianggap sebagian orang merupakan ciri dari teroris & meniru-niru
kambing. Tidak Isbal (pakaian yang tidak melebihi mata kaki) dianggap sebagian
orang aneh seakan mereka pelaku tidak isbal sedang dalam keadaan banjir atau
pelakunya mubassir karena membuang-buang kain. Cadar yang merupakan sunnah yang
disyariatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dianggap ciri istri
teroris, temannya Ninja Hatori, dan perkataan melecehkan lainnya. Siwak yang
merupakan sunnah yang besar nilainya dianggap sebagian umat ini ketinggalan
zaman dan menjijikkan.
Melaksanakan shalat berjamaah yang merupakan sunnah juga dianggap
sebagai orang-orang yang hanya pamer kesalehan. Dan sunnah-sunnah lainnya yang
banyak ditinggalkan dan dilecehkan oleh sebagian umatnya sendiri. Padahal Allah
begitu murka kepada orang-orang yang menjadikan syiar-syiar agama-Nya sebagai
bahan candaan bahkan pelakunya bisa jatuh dalam kekafiran (Lihat: QS.
At-Taubah:65-66). Dan betapa beruntunglah orang-orang yang istiqamah
melaksanakan sunnah disaat sunnah dianggap sebagai produk asing dan ketinggalan
zaman. Merekalah yang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dianggap
sebagai guroba (orang-orang yang gigi menghidupkan sunnah dan karenanya
mereka menjadi yang ter-asing di tengah-tengah masyarakat yang jauh dari
agama).
Olehnya, pembuktian cinta yang sahih seharusnya berpulang pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dari perkataan beliau, perbuatan beliau,
maupun persetujuan beliau terhadap perbuatan para sahabat. Karena syarat
diterimanya sebuah ibadah maupun sunnah harus memenuhi dua syarat yaitu ikhlas
dan sesuai dengan tata cara yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam (ittiba’). Kemudian, seharusnya pula kita berlapang dada menerima
kebenaran yang telah jelas sejelas rembulan di kegelapan malam. Karena Allah
berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7)
Bukan pula hanya sekadar niat baik saja namun tidak sesuai dengan
syariat bahkan sampai menimbulkan korban. Karena,“Berapa banyak orang yang
berniat baik tetapi tidak mendapatkan kebaikan tersebut.” (Ibnu Mas’ud)
Maraaji':
-Imam Syafi’I menggugat Syafi’iyyah oleh Abu Umar Basyir
-Syarah Arba’in An-Nawawi oleh Imam An-Nawawi dan selainnya
-Menghidupkan Sunnah-Sunnah yang Terlupakan oleh Haifa binti
Abullah Ar-Rasyid
0 comments:
Post a Comment