Kawan, tak sanggup lagi kutahan air tuk membasahi bidang yang halus ini. Suatu adegan yang kiranya sudah diatur oleh Yang Maha Sutradara. Ini pilihan kawan, walau pasti mengiris hati dan menyisahkan luka yang kiranya agak dalam. Pernah aku katakan padamu bahwa aku ini lelaki melankolis. Itulah aku kawan. Tempat ini sudah menjadi sejarah dan serpihan dari bagian hidupku. Banyak kenangan kawan. Kenangan ketika dimarahi oleh senior, kenangan ketika marahan dengan rekan sekamar, kenangan ketika harus berebutan untuk mandi dalam beberapa wc untuk puluhan orang, kenangan ketika kemarau dan menyisakan rindu yang tak tertahankan akan sang penentram itu. Sesekali sang penentram turun sebebasnya, namun agaknya ia masih malu jatuh sebebas-bebasnya untuk membasahi bumi, tanah kawan. Tanah yang selalu sabar untuk kita injak bersama, tanah yang selalu sabar ketika engkau tampar dengan sampah, tanah yang selalu sabar ketika sang penentram tak kunjung datang menampakkan wajahnya.
Di sini ku terisak nestapa, janganlah engkau katakan kawanmu ini lelaki cengeng. Air ini jatuh karena banyak sekali serpihan-serpihan kenangan yang yang menjadi faktor penentunya. Apa daya kawan, toh aku ini lelaki yang “sami’ na wa ata’na”, insya Allah. Entah kawan, entah apa yang engkau pikirkan tentangku. Jangan penah engkau panggil aku dengan sebutan saleh. Tak pantas, sungguh tak pantas kawan!!! Sejenak engkau katakan saja pada orang yang engkau ajak bercerita tentang diriku, bahwa aku ini lelaki yang ingin memperbaiki diri. Cukup sederhana, bukan?
Kiranya air ini sudah terhenti mengalir. Kuharap setiap tetesan yang jatuh merupakan ibadah dan kuniatkan hanya untuk-Nya. Bukankah tiada yang sia-sia dalam kehidupan ini, tak ada yang sia-sia yang Ia ciptakan dalam hidup ini. Meski itu seekor nyamuk yang sedang menikmati darah di ujung kaki kirimu sekali pun, toh dia juga berguna. Engkau tak yakin? Dalam sebuah penelitian, nyamuk hanya menghisap darah yang kotor. Bukankah pula kita hidup di dunia ini hanya untuk “sekadar” beribadah kepada-Nya? Janganlah engkau berbantah-bantahan kawan. Aku dan Allah tak perlu teori dan retorika yang sesat dan menyesatkan itu, cukup pembuktian. Ataukah engkau sama dengan beberapa orang yang masih mencari jati diri, mencari agama yang benar, dan mencari wajah Tuhannya, hmm kemana saja engkau selama ini? Cukuplah kita untuk bermain-main. Sekali lagi walaupun kiranya aku sudah bosan mengatakannya, HIDUP INI PILIHAN kawan. Ku ajak kau untuk memilih jalan yang kuyakin ini benar, Insya Allah.
Sempat ada kakak yang muliah hatinya menanyakan dengan segenap kata tanya yang mengarah pada mengapa aku ambil keputusan ini. Dia katakan, kok aku mau kalah sebelum berjuang, dia juga menyuruhku untuk bersabar dan tetap menetap di sini, namun semua sudah di atur, ini pilihanku dan semoga mendapat Ridho dari-Nya.
Hhaaa... embun kawan depan cermin karena angin yang keluar dari rongga macan ini. Demi menjadi yang terasing, butuh sebuah pengorbanan yang besar. Semoga di tempat nanti sudah merindukan kedatanganku selama ini, dan semoga saudara-saudaraku di sana akan selalu membimbing watakku yang keras.
22 Oktober 2011, 21.07
Aku, 3x4, dan benda berputar, tak lupa akan serpihan kenangan ini.
Friday, April 13, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Kisah kasih di asrama, asam manis kehidupan begiru terasa, perjuangan, pengorbanan begiu berartii ^^
Rindu pondok kecil,
penjara suci yang sarat dengan ilmu **
Na'am... sekarang sudah menjadi potongan kenangan demi ukhuwah yang lebih erat...
Post a Comment