Makassar menjadi indah dan damai ketika subuh merayap datang dengan perlahan. Hanya terdengar kicauan burung yang indah yang menandakan bahwa ia telah bangun dari pembaringannya dan siap bekerja mencari makan untuk keluarganya. Hembusan angin mamiri yang begitu sejuk hingga ke relung hati setahap demi setahap menjalari kulitku dan membelaiku dengan lembutnya. Menyadarkanku dan mengingatkanku kembali akan betapa berat perjuanganku dalam jalan yang kutitih dan kusandarkan semuanya di salah satu tiang mesjid tempatku bernaung.
Surga merupakan tujuanku mengapa demikian sampai kuubah jubahku menjadi begini. Celana di atas mata kaki dan wajah dengan janggut menghiasi. Bukan hanya itu, pandangan pun harus dijaga hingga tak terjebak dalam pertarungan empat mata yang menimbulkan berbagai rasa yang tak tentu arah. Satu lagi, sebisa mungkin sebuah kopiah menutupi kepala. Itulah yang nampak secara lahir dariku.
Hal itu kuputuskan sejak aku meginjakkan kaki di semester tiga Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Makassar (UNM). Adalah Pusat Studi dan Dakwa Mahasiswa Muslim (PUSDAMM) Fakultas Bahasa dan Sastra, UNM yang mengantarkanku menuju hidayah. Sebuah organisasi yang bertarung dan berdakwah dalam Kampus Ungu (gelar untuk kampusku) yang mahasiswa-mahasiswanya mempunyai banyak warna yang berbeda. Banyak tantangan yang kami dapatkan dalam jalan dakwah ini. Mulai dari cercaan hingga adu fisik menghiasi jalan kami. Dan kami pun harus selalu bersabar dan ikhlas dalam menjalankan dan meninggikan kalimah Allah ini.
Dani, begitulah orang-orang memanggilku yang mungkin terdengar seperti nama perempuan. Dan keputusan itu melahirkan berbagai dinamika kontradiksi yang ada. Pertentangan tersebut datang dari berbagai pihak di antaranya ialah pertentangan dengan hati, pertentangan dengan teman, dan yang paling fatal ialah pertentangan dengan keluarga.
“Kok kamu berubah sekali Dani? Memangnya ada apa?” Begitulah ekspresi teman-teman utamanya teman perempuan sekelasku ketika mengomentari perubahanku.
Bahkan ada yang berkata “Ih, kamu kayak anggap kami najis saja!” Sindirnya.
Yaa Allah, andai mereka tahu mengapa aku berperilaku demikian, pasti mereka akan mengerti dan mengikuti keyakinanku. Sebisa mungkin kuikuti sunah-sunah dari Rasulullah saw. Bahwa dengan keyakinanku mengikutinya akan mengantarku ke jalan menuju taman Firdaus-Nya. Itulah yang kuyakini dan salahkah keyakinanku?
Setali tiga uang dengan keluargaku, bahkan lebih parah. Waktu itu, lagi maraknya berita pencucian otak dan Negara Islam Indonesia (NII). Ketika aku pulang ke kampung untuk mengunjungi orang tua, bukan sambutan ramah yang aku dapatkan namun amarah dan introgasi yang memekakkan telinga yang kunikmati. Pelan-pelan kujelaskan dengan lembut dan sopan namun mereka tidak menerimanya. Alhasil, tamparan yang kuterima karena kelakuanku.
“Engkau sudah dicuci otaknya, Engkau teroris. Tidakkah kau lihat di televisi banyak orang yang dipengaruhi dan dicuci otaknya kemudian pergi mengebom orang lain?” bentak ibuku.
“Bukan begitu Ibu. Aku hanya belajar mengaji dan mengenal Islam lebih dekat. Dua jam belajar agama setiap minggu waktu aku sekolah dulu belum ada artinya dan belum bisa mengenalkan aku pada agamaku. Di Makassar aku tidak belajar menjadi teroris seperti kata Ibu. Aku hanya belajar di sana, bahkan aku salah satu mahasiswa dengan nilai yang tertinggi di kampusku. Dan kuusahakan agar duniaku seimbang dengan akhiratku. Karena akhirat kekal dan dunia hanya sementara Ibu.” Jelasku dengan sesopan mungkin.
“Ah, banyak bicara kau. Keluar dari organisasimu! kami mengirimmu ke Makassar hanya untuk belajar bukan berorganisasi yang tidak jelas. Lebih baik menjadi orang Islam yang biasa-biasa saja!” Bantah Ibuku.
Aku tahu apa yang dilakukan ibuku merupakan tanda rasa sayangnya padaku. Namun apa daya, aku adalah orang yang haus dan rakus akan ilmu. Untuk kali ini, aku tidak menuruti perintahnya demi Tuhanku, demi Allah. Aku kemudian tidak membantah lagi ucapannya namun kutunjukkan dengan akhlak yang mulia. Pernah suatu ketika kudengar seseorang berkata bahwa Rasulullah saw lebih suka duduk dengan orang yang memiliki akhlak yang baik daripada orang yang ahli ibadah. Dan saran itu pun dijelaskan dan disarankan oleh saudara-saudaraku di PUSDAMM agar orang tua mengerti dan memahami kita.
Seiring berlalunya waktu, Allah melimpahkan rasa sayang-Nya kepadaku dengan pengertian dari teman-temanku akan keyakinanku. Terlebih ketika orang tuaku juga demikian adanya karena mungkin melihat pribadiku yang lebih indah sebelum aku berubah. Kuucap Alhamdulillah pada Zat Yang Maha Membolak-balikkan hati kami. Dengan ini, jalanku menuntut ilmu, mengamalkannya, dan mendakwahkannya terasa lebih bebas dan terbuka. Hanya kesabaran dan keikhlasan saja yang perlu dijaga dan dipertahankan.
Tugas kami yang utama ialah mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran. Suatu tugas yang tak mudah untuk kami jalankan. Ketika kami sekali melangkah maka datanglah seluruh tantangan menghadang. Terbitlah sebuah ikhtisar bahwa mengajak orang ke surga lebih susah daripada mengajak orang ke neraka.
“Tunjukkan kepada kami di mana Tuhanmu berada, baru kami percaya padamu.” Ungkap salah satu mahasiswa pencari jati diri kepada kami dalam suatu waktu di pelataran kampus.
“Saudaraku, wajah Allah itu nanti kita akan lihat ketika dengan izin-Nya kita akan masuk surga-Nya. Memang secara fisik dia tidak terlihat di depan mata kita sekarang, namun ilmunya berada di setiap hasta bahkan di setiap titik di dunia ini. Bahkan dedaunan yang kita kira jatuh dengan percuma itu sudah ia perhitungkan dengan cermat karena Dia adalah Yang Mahateliti terhadap segala sesuatu.” Balasku dengan harapan agar ia mengerti.
“Ah tidak, semua itu hanya omong kosong belaka. Bahwa dunia ini hanya terjadi dengan sebegitu adanya. Manusia lahir, kemudian anak-anak, remaja, dewasa, tua dan mati maka habis perkara. Tidak ada kehidupan selanjutnya. Semua itu cerita mati dari orang-orang yang dahulu. Lagu lama kawan.” Bantahnya dengan penuh retorik dan bengis.
“Aku bertanya kepadamu, lihatlah coba meja yang ada di samping kirimu, kira-kira, dia jadi begitu sajakah atau ada yang membuatnya?” tanyaku.
“Yah tentu ada, masa langsung jadi!” jawabnya dengan tegas.
“Nah, begitu juga dengan dunia ini dan segala yang ada di dalamnya termasuk kita. Kita mempunyai akal bukan untuk menggugat eksistensi-Nya, namun akal tersebut kita gunakan untuk mentadaburi kebesaran dan kemuliaan-Nya. Bahwa manusia diciptakan bukan hanya untuk mengarungi kehidupannya di dunia, namun mereka akan mempertanggungjawabkan apa saja yang telah mereka lakukan di dalam perjalanannya termasuk kita. Yakinlah bahwa tiada yang sia-sia dalam kehidupan ini!” tanggapanku atas jawabannya begitu telak, sehingga dengan kegoisannya ia pergi dan tak memperdulikan kebenaran yang kubawa karena Allah.
Entah bagaimana jadinya nasib sebuah bangsa apabila semua pemudanya berpikir demikian. Bukan hanya itu, menyebarkan aib pemerintah juga selalu mereka lakukan. UNM terkenal dengan demonstrasi anarkisnya dan itu yang kami tidak setujui. Kami pengurus PUSDAMM ingin menghilangkan budaya tersebut bahwa kita selayaknya harus menghargai pemerintah terhadap setiap keputusan yang ada.
Suatu ketika terjadi diskusi panas dan dahsyat antara aku dan temanku di dalam kelas. Itu terjadi ketika suasana isu naiknya bahan bakar minyak (BBM) muncul di hamparan bumi katulistiwa.
“Mengapa kita mesti menentang pemerintah dengan cara demonstrasi saudaraku? Bukankah pemerintah juga tahu apa yang harus dilakukan. Apalagi bertindak anarkis, menutup jalan, hingga merusak fasilitas umum. Semua itu justru merugikan rakyat saudaraku.” Tanyaku kepadanya.
“Ini kami lakukan untuk kepentingan rakyat jugalah. Apabila pemerintah ingin menaikkan harga BBM, itu sama saja dengan membunuh rakyat secara perlahan. Dan apabila pemerintah nekat untuk menaikkannya maka pemimpin juga harus turun. Mereka semua adalah penghianat rakyat. Tak pantas menjadi pemimpin. Persoalan anarkis, menutup jalan, dan merusak fasilitas umum itu kami lakukan agar pemerintah melihat usaha yang kami lakukan. Kami sudah bosan melakukan aksi damai tanpa ada hasil. Maka inilah jalan yang kami lakukan untuk membuka mata hati mereka dan mencairkan hati-hati mereka yang membeku bahkan membatu.” Jawabnya dengan gamblang dengan nada yang tegas.
“Yah, aku tahu maksud saudara itu benar-benar baik. Namun apa yang saudara dan kawan mahasiswa lain lakukan itu salah, sama sekali salah. Pemerintah itu terdiri dari orang-orang cerdas, mereka pasti mengerti dengan keputusan yang mereka ambil. Mereka semua punya perasaan dan tidak mungkin tega menindas rakyatnya. Masih banyak cara lain untuk menasehati pemerintah, bukannya anarkis dan mempermalukannya di depan rakyatnya,” Ungkapku dengan jelas.
“Semua itu bohong. Pemerintah dan pemimpinnya memang tidak punya hati. Hanya ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Korupsi merajalela, liberalisme, komunisme, dan semuanya perlahan dijadikan dasar negara hingga mengerogoti nyawa rakyat tanpa sedikit pun belas kasihan.” Bantahnya dengan miris.
“Namun cara yang saudara lakukan itu salah, tidaklah demikian. Analoginya begini, ketika seorang ayah tidak memberikan uang kepada anaknya, apakah anaknya akan melawan, mencaci makinya, mendemo bapaknya, dan menghancurkan segala fasilitas yang ada di rumahnya? Tentu tidakkan Saudaraku. Semuanya dihadapi dengan sabar. Tentu Saudara kenal Imam Syafi’ih. Ia berkata bahwa jika Engkau menasehati seseorang di depan orang banyak, maka Engkau tidak menasehatinya melainkan mempermalukannya. Apatah lagi dengan dengan pemimpin, bagaimana ia mau mendengar kita kalau ia kita perlakukan dan permalukan sedemikian rupa. Semuanya harus dihadapi dengan usaha yang baik, doa kepada Allah, dan bersabar tentunya,”
“lalu bagaima usaha kita untuk menasehati pemerintah atas kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan selain dengan cara demonstrasi? Apakah ada usaha yang lebih baik dari pada itu?”
“Tentu ada. Engkau datang sesorang diri kepadanya bukan dengan keroyokan. Lalu engkau nasehati dan beritahu kesalahannya dan engkau berikan solusi jika engkau mampu. Lakukan dengan sopan dan secara kekeluargaan, karena pemimpin-pemimpin kita ibarat ayah bagi kita. Cara tersebut adalah cara yang pemberani dan elok ketika kita terapkan. Hal itu sesuai ajaran agama kita dan telah diterapkan oleh ulama-ulama terdahulu. Contohnya ialah salah satu imam dari empat imam mazhab yaitu Imam Ahmad Ibnu Hambal. Secara lelaki, beliau datang dengan sendiri menuju pemimpinnya dan menasehati pemimpinnya sesuai syariat agama. Bukankah indah ketika hal itu kita tiru dan lakukan. Tidak ada orang yang ingin dihina dan dicaci di depan umum. Kalaulah mau menasehati, lakukan secara sembunyi-sembunyi.” Jelasku panjang lebar dengan penuh pengharapan agar mereka mengerti.
“lalu, bagaimana kalau pemimpin tidak menerima nasehat kita walaupun kita memakai cara yang Engkau sarankan?”
“kewajiban kita kepada pemimpin hanya sampai pada tahap tersebut. Kita hanya wajib memberitahu kesalahannya dan menasehatinya. Adapun ketika diterima maka ucaplah syukur dan ketika diterima maka hanya sabar dan doa yang kita bisa lakukan. Bukan melakukan usaha lain seperti yang biasa kita lakukan, bukan Saudaraku. Namun aku yakin, bahwa setiap keputusan para pemimpin dan petinggi kita semuanya berdasarkan pemikiran yang matang dan diperuntuhkan untuk rakyat bukan untuk diri pribadi dan golongan mereka.” Jawabku dengan selembut mungkin.
Terkadang apa yang kami dakwahkan diterima dengan baik oleh orang-orang dan tidak jarang hanya menjadi debat kusir belaka. Memang hidayah itu mahal kata Rasulullah saw. Ketika kita ingin mengajak orang kepada kebaikan maka Allah-lah yang Maha Berkehendak dan memberi keputusan apakah kebaikan itu ia terima atau ia tolak. Segala sesuatu bergantung kepada-Nya dan manusia hanya bisa berusaha dan meminta kepada-Nya.
Sebenarnya apa yang kami lakukan di kampus kami itu tidaklah seberapa dan belum ada apa-apanya dibanding pada zaman Rasulullah-Nya dan sahabat-sahabatnya. Kami iri pada mereka sekaligus belajar banyak pada mereka. Bahwa seorang manusia hidup di dunia tugasnya hanyalah beribadah sesuai dengan salah satu ayat dalam firman-Nya. Namun banyak orang yang salah menyangka bahwa ibadah tersebut ialah salat dan mengaji saja, hanya sebatas itu, sebuah anggapan yang benar-benar keliru.
Din ini sudah mengajarkan adab pada kita, mulai dari masuk kamar mandi hingga kelak masuk ke dalam janah-Nya. Bekerja merupakan ibadah dan bertetangga pun merupakan ibadah. Dan apa yang kami lakukan yaitu mencari ilmu di kampus dan di setiap majelis ilmu merupakan ibadah. Semuanya adalah ibadah ketika kita meniatkannya ibadah. Karena sesungguhnya, setiap amalan tergantung dari niat dan apa yang diniatkannya itu pula yang akan dituainya seperti sabda Rasulullah saw.
Aku bertanya pada diri sendiri, bagaimana pemandangan di surga itu? Apakah seindah dan sedamai subuh ini? Lalu bagaimana dengan bidadari dengan segala kenikmatan di dalamnya, apakah sama dengan wanita-wanita tercantik di dunia dan segala keindahan yang ada di dunia? Ataukah di surga lebih indah dan menawan dari yang kubayangkan. O, hanya Yang Mahaindah dan Maha Pencipta segala sesuatu yang mengetahuinya.
Perlahan suara takbir menyelinap dalam alam pendengaranku dan menggemparkan alam yang ada di sekitarku. Kulihat kaca jendela mesjid di penuhi butiran-butiran embun begitu pun dengan dedaunan dan rerumputan di luar sana. Satu per satu para hamba-Nya melangkahkan kaki kanan memasuki rumah-Nya. Aku mulai bangkit dari sandaranku di tiang mesjid untuk menyucikan diri dengan air wudu dan kutunaikan kewajibanku bersama hamba-hamba yang lain. Semoga tiang mesjid, jendela mesjid, air, embun, burung-burung, dan segala makhluknya menjadi saksi di akhir kelak bahwa kami telah menjalankan perintah-Nya.
Tak lama setelah itu, setelah kami usai berzikir, seberkas cahaya mulai merambat masuk mengecupku dan membawakan semangat baru untukku. Suatu pertanda bahwa hari yang baru telah datang dan membuka lahan untuk kami mencari ilmu dan berdakwah kembali. Bahwa jalan kering kerontang yang jauh jaraknya hingga di depan sana siap kami basahi dan pupuki untuk ditumbuhi bunga-bunga iman pilihan yang indah dan menawan.
Dan kuharap, semoga kami tetap istikamah berjalan di jalan-Nya hingga nyawa berada di penghujung dakwah…
Makassar, 15 April 2012, pukul 14.20.
Alhamdulillah, karena hidupku untuk-Mu.
Thursday, May 31, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment