Ads 468x60px

Monday, June 4, 2012

Titah dan Cinta dari IBU

    Siang itu sungguh terik. Gelombang angin pantai yang panas datang berturut-turut menampar setiap wajah letih di jazirah Makassar. Yah, hari yang memang meletihkan bagi orang yang senantiasa mengejar dunia. Mengejar akan kepopuleran, kekayaan, jabatan, dan pasangan. Namun  tidak untuk seorang pemuda yang satu ini.
     Salat ia jadikan sebagai istirahatnya di siang itu. Begitu khusyuknya ia mnyembah Sang Maha Pencipta hingga orang yang melihatnya akan terbawa suasana khusyuk dan menimbulkan keirian agar dapat salat seperti pemuda itu.
     Ia bernama Ammar bin Naufal. Pemuda tampan berusia 21 tahun yang merantau sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Makassar. Namun ada yang mengganjal hatinya, sungguh ganjalan yang menyesakkan. Ganjalan itu datang berupa sebuah kabar dari kampung agar Ammar secepatnya mencari pasangan karena sang ibu sudah sangat rindu menimang cucu. Sungguh Ammar pusing tujuh keliling dibuatnya. Bagaimana tidak, uang kuliah saja ia dapatkan dari hasil kerja kerasnya membagi waktu dengan kuliahnya. Ia bekerja sebagai penjual tahu isi di malam harinya dan kuliah di siang harinya. Maklum ia berasal dari keluarga bersahaja kalau tidak boleh menyebutnya keluarga yang melarat.
     Ayah Ammar telah lama meninggal karena sebuah kecelakaan di kampungnya, Pinrang. Ibunya sendiri sudah menua dan menyambung hidup sebagai pembantu paru waktu di rumah  tetangganya yang kaya. Keluarga Ammar memang berbeda dengan keluarga teman-temannya yang lain. Namun Ammar tak mau memikirkan hal itu karena ia selalu berprinsip bahwa bukan salahnya ia terlahir dengan keadaan miskin, namun salahnya apabila mati dalam keadaan miskin.
     Setelah selesai salat, ia menengadahkan tangannya berdoa agar diberikan jalan yang terbaik, dan kalaulah memang menikah yang ditakdirkan, semoga pasangannya adalah wanita yang menjadi penyejuknya ketika lara datang dan menjadi pendengar yang baik ketika ingin mengeluarkan keluh kesahnya. Di tengah doanya, perutnya berbunyi agak nyerih. Ternyata, ia belum memasukkan apapun ke dalam perutnya kecuali segelas air galon dari tadi pagi, itu pun milik tetangga kosnya. Yah, inilah nasib Ammar.
     Rencananya, Ammar akan tarbiah di rumah murobbinya dekat kampus bersama teman-teman sehalakahnya yang lain setelah salat di mesjid kampus. Namun ia singgah ke warung dahulu untuk mengganjal cacing-cacing di jalan-jalan dalam perutnya yang sedari tadi melakukan aksi demonstrasi anarkis layaknya mahasiswa UNM ketika berdemonstrasi. Jangan beranggapan bahwa Ammar akan ke warung coto atau warung makanan lain. Namun ia hanya pergi ke warung kecil-kecilan tempat menjual segala macam barang kebutuhan sehari-hari. Tujuan Ammar hanya satu, yaitu satu bungkus roti seharga satu ribu rupiah.
     “Inilah hidup.” Gumam Ammar dalam kunyahannya.
     Roti satu bungkus habis, Ammar pun melanjutkan perjalanan hingga sampailah ia ke rumah murobbinya. Morobbinya bernama Muhammad Yusron, tamatan salah satu universitas ternama dengan jurusan syariah di Madinah, Arab Saudi. Beliau berumur sekitar 32 tahun dan telah memiliki dua istri serta empat orang anak.
Tarbiah pun dimulai. Ammar dan beberapa kawan sehalaqahnya mengikuti tarbiah dengan tenang. Sesekali ia dan kawannya bertanya ketika ada suatu penjelasan yang kurang dapat ditangkap. Hingga akhirnya, keluarlah pertanyaan pamungkas dari Ammar untuk murobbinya.
     “Ustad, ada seseorang pemuda yang kehidupan ekonominya melarat dan sedang menjalani perantauan untuk menuntu ilmu. Nah, datang kabar dari kampung agar ia secepatnya mencari pasangan karena ibunya sudah sangat rindu untuk menimang cucu dari hasil buah cintanya dengan pasangannya. Apa yang harus dilakukan pemuda ini Ustad. Apakah ia harus menikah dan hidup tak tentu arah karena keadaan keuangan yang seadanya ataukah ia mengirimkan penolakan halus untuk ibunya bahwa ia kaya dahulu lalu menikah. Bagaimana Ustad?” Tanyanya dengan suara parau dan sedikit dilingkupi rasa gugup.
     Sang Ustad Tersenyum dan raut mukanya sudah menandakan bahwa ia telah mempunya jawaban akan hal itu. Dan mungkin saja pertanyaan itu bukan merupakan pertama kalinya ia dengarkan. Bagaimana tidak, sang Ustad telah memegang tiga belas halaqah tarbiah dan tentu karena Allah. Tak lain Sang Ustad melakukan hal itu kecuali untuk berdakwah dan memperbaiki moral anak bangsa. Anak-anak bangsa yang sekarang lebih menyukai datang ke konser-konser musik, ke tempat balapan motor, ke diskotik, atau yang lebih parah lagi ialah datang ke tempat perjudian daripada datang ke pengajian, taklim, tarbiah, dan taman-taman surga lainnya.
     Bukan hanya itu, idola mereka pun semakin beragam dan menggalaukan hati setiap orang yang masih menyimpan iman dalam hatinya. Mulai dari artis Eropa blasteran Amerika seperti Justin Bibier, Lady Gaga, sampai artis-artis Korea dan negara kulit kuning langsat lainya seperti Super Junior, dkk. Lalu pertanyaannya, siapakah yang mengidolakan Nabi Muhammad ? Bukan hanya sekadar idola, namun mengikuti sunnah-sunnahnya, meniru akhlaknya, dan cara berbicaranya! Bukan pula hanya sekadar ucapan fiktif belaka namun tercermin lewat kehidupannya yang nyata!
     “Ridanya Allah itu diwakili oleh ridanya orang tua. Ketika orang tua murka kepada anaknya, maka Allah pun murka kepada sang hamba yang juga berpredikat sebagai anak tersebut. Namun apabila orang tua menyanyangi anaknya karena perbuatannya yang menyenangkan hati orang tuanya maka Allah pun demikian adanya. Bahkan Allah akan jauh lebih cinta dan akan memberikan nikmat yang luar biasa banyaknya untuk sang anak. Hendaknya pemuda tersebut turut memenuhi permintaan orang tuanya. Wajar kalau orang tua meminta sang anaknya yang sudah dianggap layak umurnya untuk menikah dengan sang bidadari dunia.” Tutur sang Ustad dengan apa adanya.
     Suasana hening sejenak, beberapa mutarobbi termasuk Ammar menahan napas sembari menikmati ketegangan.
     “Jangan jadikan pernikahan sebagai beban. Menikah itu merupakan kesempurnaan agama. Dengan menikah pula, maka pintu-pintu rezeki yang baru akan terbuka. Allahlah sang Maha Pemberi rezeki, janganlah takut bahwa si pemuda tersebut tak mampu menghidupi keluarganya kelak. Allah tak akan membiarkan orang yang ia cintai terpuruk dan bergelimang penderitaan dalam hidupnya. Bukankah Allah akan menolong hambanya tatkala sang hamba menolong agama Allah? Jadi, ikhtisarnya akhi, pemuda tersebut hendaknya mantapkan hati bahwa ia memenuhi permintaan orang tuanya agar mendapat rida Allah. Insya Allah, Ia Yang Mahaindah memilihkan pasangan hidup yang terbaik buat si pemuda itu, akhi. Namun saya penasaran, engkaukah pemudah itu Ammar?” lanjut Ustad dengan penuh selidik.
     “Ya Ustad, sayalah pemudah itu.” Jawab Ammar dengan tersipu malu.
Yah benar, hati Ammar tidaklah sekacau sebelumnya. Perkataan dari sang murobbi tersebut membelai hatinya dan membuatnya tidur di pangkuan agar ia damai dan ikhlas terhadap takdir di depan matanya. Tarbiah pun selesai dan Ammar pulang dengan perasaan yang bercampur. Perasaan bahagia karena mengetahui indahnya kehidupan setelah pernikahan, namun juga bimbang karena masalah ekonomi yang tidak mendukung keindahan pernikahan, belum lagi tugas-tugas kampus, dsb. Semuanya berkumpul menjadi satu di dalam hatinya dan menghasilkan rasa yang tak karuan.
     Ammar memang menjadikan setiap ibadah sebagai tempat istirahatnya. Tempat mencasnya hatinya apabila masuk dalam tenggang lowbat. Dengan menghadiri taklim, tarbiah, talaqqi, dan taman-taman surga lainnya maka seakan dunia terlupakan olehnya dan hanya ada janji surga serta wajah Allah yang senantiasa bersemi bagai pohon sakura bermekaran pada musim semi di dalam hatinya. Itulah nikmatnya iman, sekali terpana, indahnya tiada disangka.
      Berhari-hari sejak tarbiah itu, Ammar memikirkan tentang pernikahan. Ia memikirkan hal itu tak kenal tempat dan waktu, entah itu di tempatnya menjual tahu isi, di dalam kelas ketika kuliah, bahkan di majelis taklim pun hal itu terjadi.
     sadar bahwa ini adalah desakan orang tua satu-satunya yang ia sayangi ia cintai untuk mengakhiri masa   lajangnya. Namun tatkala hatinya sudah mantap, maka seruntun pertanyaan datang silih berganti.
     “Adakah semua kulakukan ini terlalu dini?” ucapnya terhadap diri sendiri di depan pecahan cerminnya di dalam kosnya.
     Hampir setiap detik jantungnya berdegup tak menentu ketika memikirkan hal ini. Namun di balik itu, ia lagi-lagi berkata kepada dirinya sendiri,
     “Bukankah pernikahan begitu indah seperti kata orang-orang?”
     Namun tatkala setelah berkata demikian, ia tak mampu melihat aral melintang di depan sana. Akhirnya ia sadar untuk menyerahkan semua masalah pada sang Maha Pencipta masalah dan pemberi solusi yang ampuh untuk masalah tersebut. Mulai saat itu ia rutin untuk melakukan salat istikhara di sepertiga malam terakhirnya agar jawaban terhadap masalah yang ia hadapi dikirimkan oleh Allah.

***

     Pagi yang tenang kembali menghiasi kota Makassar. Embun-embun yang sedari tadi menyejukkan dedaunan  dan alam sekitarnya mulai mengalami dehidrasi disebabkan mentari yang mulai meninggi dan menyinari bumi kota Daeng. Ammar pun bergegas mempersiapkan diri untuk menjalani hari dengan harapan agar harinya lebih baik daripada hari yang telah lalu. Dengan setelan yang sederhana, celana kain lusuh berwarna hitam dan kemeja kotak-kotak berwarna biru putih yang beberapa waktu lalu ia beli di Pasar Senggol dengan penawaran yang super memelas terhadap penjualnya, ia gunakan untuk menyapa dunia yang semakin hari berhias dengan segala yang indah-indah untuk menyejukkan hati-hati para manusia.
     Di perjalanan menuju kampus ia tiba-tiba ditelepon oleh Murobbinya. Dengan sedikit gugup ia mengangkat telepon.
     “Assalamu’alaikum Ustad?” Salam Ammar lebih dahulu.
     “Wa’alaikumussalam. Ammar, antum di mana sekarang? Bisa ke rumah saya sebentar?” Balas sang murobbi.
     “Insya Allah Ustad, saya segera ke sana.”
     Dengan hati yang bertanya-tanya, ia menapaki jalan menuju rumah murobbinya. Akhirnya, beberapa menit kemudian, ia sampai di rumah murobbinya.
     “Assalamu’alaikum!”
     “Wa’alaikumussalam. Eh Ammar, silakan masuk.”
     Ustad Yusron kemudian menyilakan Ammar untuk duduk di atas kursi jepara coklat di ruang tamunya.
     “Gini Ammar, saya sudah dapat pasangan buat antum. Hanya saja, akhwatnya ini buta, bisu, tuli, dan lumpuh. Tapi dia sangat kaya dan cantik rupanya. Gimana? Soalnya, ayah dari sang anak ini ingin segera anaknya menikah walau dengan siapa pun. Namun dengan syarat pemahaman agama calon suaminya baik. Insya Allah ia siap di madu yang penting ia dapat menikah dengan lelaki saleh.”
     Sungguh Ammar begitu terkejut mendengarnya. Pada saat yang bersamaan, datanglah pesan singkat dari ibunya yang isinya merupakan testimoni terakhir agar Ammar segera menikah. Ammar sungguh dilanda rasa cemas dan bingung. Apatah lagi, desakan waktu untuk menikah begitu menghimpat dan menyesakkan hati Ammar. Ammar begitu bimbang dan pikirannya kalut tak menentu. Betul ia mendapatkan calonnya, namun di sisi lain calonnya tidak sesuai idaman. Dengan bertawakkal kepada Allah maka ia putuskan,
     “Insya Allah saya siap Ustad!” Jawabnya terbata-bata. Ia juga masih gamang terhadap putusan yang berani atau nekat yang baru saja ia ambil.
     Akhirnya, beberapa hari setelah itu, pernikahan pun dilangsungkan dengan sederhana di rumah sang mempelai wanita. Pernikahan tersebut hanya dihadiri oleh kedua keluarga mempelai dengan kerabat karib terdekat. Mereka dinikahkan oleh sang Murobbi walau pasangan Ammar berada di ruangan yang lain.
Tibalah saatnya Ammar memasuki kamar pengantin untuk melihat calon istri yang sungguh penuh cacat itu. Perlahan ia membuka pintu dan mengucapkan salam walau ia tahu istrinya tak akan membalas salamnya
    “Assalamu’alaikum!” katanya.
     “wa’alaikumusslam.” Ternyata, Ada suara wanita lembut nan halus yang menjawab salamnya.
Seketika Ammar kaget dan penuh penasaran, ia segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Dan… Ia menemukan sesosok bidadari cantik jelita dengan penampilan yang sungguh menawan hati. Lalu perempuan itu kemudian berdiri dan ingin menyalami Ammar. Ammar terperanjat dan lari keluar kamar. Ia kemudian mencari ayah dari sang istri tersebut untuk menanyakan hal yang sungguh aneh yang baru saja ia alami.
     “Pak, apakah saya tidak salah kamar? Bukankah istri saya buta, tuli, bisu, dan lumpuh?” Tanya Ammar setelah menemukan ayahnya di pojok teras rumah.
     “Betul ia bisu. Ia tak dapat berkata dusta dan perkataan haram yang dilarang oleh Allah. Demikian ia pula tuli, tuli dari mendengar cerita miring, gibah, dan yang dilarang oleh Allah. Dan tentu ia buta, ia tak dapat melihat sesuatu yang belum pantas ia lihat dan yang dilarang oleh Allah. Serta satu lagi, ia seseungguhnya lumpuh, tak dapat berjalan ditempat maksiat yang jauh dari rida Allah Swt. Itulah ia yang penuh dengan segala kekurangan dan cacat di mata manusia, namun begitu indah dalam pandangan Allah.”
     Seketika Ammar sujud syukur, karena impiannya telah tercapai. Impian memiliki pasangan sejati yang begitu menawan hati bagi para lelaki yang memandangnya. Bukan hanya itu, akhlaknya pun tak kalah indahnya ditambah ia adalah anak dari saudagar kaya. Ia sungguh bersyukur bahwa titah dari ibunda sudah terlaksana dengan manisnya. Ah Ammar, sungguh beruntung pemuda saleh yang satu ini…

3 Juni 2012
Tak perlu Mengejar Cinta...

0 comments:

Post a Comment