Hampir pukul 10:30
malam. Gelisa memaksaku bangun untuk menulis sesuatu yang mungkin ada hikmanya
nanti, kawan. Untuk menulis ini, aku diperhadapkan oleh dua pilihan yang
kritis. Bangun menulis dan menghilangkan kegelisahanku atau tetap di atas kasur
empuk dengan berharap bangun di sepertiga malam untuk bermunajat kepada Sang
penciptaku. Kupilih bangun menulis dan berharap bangun disepertiga malam walau
bagaimana pun caranya.
Yah, hidup itu
pilihan kawan, sebisa mungkin pilihlah yang terbaik dan yang menenangkan hati.
Terkadang pilihan yang kita ambil itu memang pahit, namun dibelakang hari, eh,
ternyata pilihan tersebut berbuah manis, sungguh manis, kata orang, semanis
buah Rambutan pemberian orang (baca buah rambutan gratisan, Pen-). Namun
terkadang, dengan kepercayaan diri melampaui batas, kita mengambil suatu
keputusan dengan mantap, namun di belakang hari pula, ternyata berbuah dengan
rasa begitu pahit dan mengakibatkan penyesalan yang mendalam. Sekali lagi,
hidup ini pilihan kawan. Memilihlah atau mari memilih dengan pemikiran dan
perenungan yang matang.
Masih kudengar
bunyi kembang api bersahut-sahutan tak menentu. Ia mengeluarkan cahaya
berwarna-warni dan memiliki rupa seperti bunga serta beraneka ragam macam
bentuk lainnya, sayang hanya sementara. Habis satu, beberapa waktu datang lagi
kembang api yang lebih indah. Percikan api yang membentuk sebuah riak
putus-putus dan seakan ia menggambarkan sesuatu, entah siapa penemu benda
bersifat sementara yang satu ini. Namu indahnya hanya sementara, hanya
sementara. Catat itu kawan!
Kutanya, maukah
engkau jadi kembang api? Mungkin mau, karena ia indah dan memesonakan setiap
pasang bola mata yang memandangnya. Namun, yakinkah engkau mau? Walau ia
memiliki sifat keindahan yang sementara. Ibaratnya, ia seperti lilin menerangi
sekelilingnya, namun ia sendiri mencair dan mati. Kemudian pilihan untuk
menjadi kembang api pun mulai surut dan padam, bukan begitu kawan? Bukankah
kita menginginkan sifat keindahan yang kekal nan abadi?
Dentuman jam
dinding berwarna merah jambu dan putih dengan motif bunga-bunga berpadu dengan
dinginnya angin malam kota Parepare di malam ketiga bulan Ramadan, masih
mengelilingi tubuh dan jemariku. Masih kuingat petang tadi di mana tempat aku
berbuka. Sungguh elok dan sejuk dipandang mata tempatnya. Matahari tenggelam
begitu jelas. Gelombang cahaya keemasan menyilaukan mata ini, kawan. Duhai
omabak-ombak kecil membawa aroma pantai Parepare yang begitu khas. Ah, Magello tongeng Sappo.
Tempat itu berada di
samping patung kapal phinisi—lambang keperkasaan pelaut Bugis, Mandar, dan
Makassar—di pantai Mattirotasi. Sebuah pantai yang menjadi tempat persinggahan
pemuda dan pemudi kota Parepare. Tempat untuk memadu cinta, kasih, dan
persahabatan. Soal dosa, “belakanganlah kawan, yang penting kebersamaannya.”
mungkin begitu jawabannya ketika engkau bertanya pada mereka apa, siapa, dan
mengapa. Ah lupakan itu untuk sejenak, bukan itu yang ingin kukisahkan.
Tempat bernama surau—saya
enggan menyebut mesjid, kalau surau lebih puitis dan memang tempatnya agak
kecil dibandingkan mesjid pada umumnya—Nurul Yasin. Kalau engkau orang Pare,
tentu engkau mafhum dan kenal tempat yang begitu mengesankan ini. Setahun tidak
pulang kekota Pare, eh, begitu banyak perubahan. Tahu-tahu, sudah ada mesjid di
pinggir pantai, cukup unik letak geografisnya. Romantis lagi.
Ah, ini yang
kusebut kebersamaan. Ketika waktu berbuka puasa tiba, kulihat senyuman dan
canda tawa di sekelilingku. Senyum dan tawa dari para orang tua, muda, dan
anak-anak. Senyum dan tawa yang membangkitkan kenangan masa kecilku, sebagian
kenangan dengan rasa bahagia. Banyak di antara orang-orang tersebut yang
kukenal wajahnya, namun kulupakan namanya karena himpitan waktu dan desakan
potongan-potongan ingatan yang baru. Tak apalah, terpenting rasa senang dan
bahagia telah menghiasi hatiku, di kotaku, di surau baru tempat aku bersimpu di
balik kilau-kemilau cahaya kuning keemasan sang mentari yang terbenam begitu
sendu. Sekali lagi, begitu indah, kawan.
Ramadan, salat
berjamaah, dan berbuka puasa berjamah memang sebagian unsur yang menyatukan
umat, mengeratkan tali persaudaraan, mengingatkan satu sama lain bahwa
persatuan dan kebersamaan begitu penting dalam rangka menujuh kehidupan yang
lebih baik. Memupus perbedaan dan penderitaan. Menghilangkan kekesalan dan
kegelisahan. Dan berakhir senyum dan tawa yang lepas.
Yah, penulis sadari
bahwa kota Parepare pun memilki banyak kekurangan. Tak perlulah dalam lembaran
elektronik ini kubuka aib itu, biar menjadi rahasia umum di kota ini. Biar
pelabuhan Bandar Madani, pasar Lakessi dan Labukkang, lapangan Andi Makkasau,
pantai Lumpu’E, permandian Jompi’E, dan tempat-tempat indah di Parepare menjadi
saksi bisu tentang kekurangan tersebut. Dan mereka akan mempersaksikannya di
hari akhir tentang perbuatan-perbuatan para insan manusia Parepare di hadapan
Sang Khalik. Entah itu perbuatan cinta terlarang hingga pencurian sandal di
mesjid ketika salat tarawih berlangsung. Sekarang memang mereka bisu, namun
nanti mereka bertutur dengan buah tutur yang membelalakkan mata.
Maka dari itu,
sederhanakanlah hidup. Mari memilih riak-riak kehidupan yang berakhir ditempat
yang menyejukkan rasa dan raga. Kekayaan seseorang, bagi penulis itu, hendaknya
tidak dinilai dari banyaknya harta, luasnya tanah, dan tingginya tahta yang
dimilki. Namun, kekayaan itu terletap pada besar, luas, dan lapang hatinya
menerima setiap keadaan yang dihamparkan oleh Allah pada jala-jalan
kehidupannya. Hanya itu kawan, begitu sederhana. “membuat hidup menjadi lebih
hidup”, itu kata guruku.
Tik…tok…tik…tok…(bunyi
jam tadi) ah kawan, mata ini mulai sayu, pertanda bahwa raga ini butuh tempat
bersandar barang sejenak sebelum melanjutkan karya dan ibadah untuk sang
Pencipta yang begitu pengasih dan penyayang. Mungkin hanya tulisan sederhana
dan bersahaja ini yang bisa saya berikan dan ketikkan. Kuharap, keindahan dan
kebersamaan itu berakhir bahagia nan indah di tempat yang lebih indah di depan
wajah yang Maha Indah. Insya Allah. Kuharap bermanfaat...
Catatan: tulisan ini bersifat umum, jadi yang
membacanya boleh siapa saja. Boleh kulit berwarna apa saja. Boleh lahir di kampung
atau kota mana saja. Boleh dari berbagai jenis golongan darah yang mana saja,
dsb. kutulis ini bukan karena Penulis adalah orang yang fanatik daerah, namun
sekadar berbagi hikma, walau nilainya bagai sepotong kurma dan kue lapis di
matamu kawan.
22
Juli 2012M/ 3 Ramadan 1443 H
Berdiri
di sebuah jalan yang bercabang dua dan ketika harus memilih!
sumber gambar
0 comments:
Post a Comment