Ads 468x60px

Monday, July 23, 2012

Kesederhanaan Hidup di Sudut Sebuah Surau (Kisah Nyata di sebuah Kota Niaga)


Hampir pukul 10:30 malam. Gelisa memaksaku bangun untuk menulis sesuatu yang mungkin ada hikmanya nanti, kawan. Untuk menulis ini, aku diperhadapkan oleh dua pilihan yang kritis. Bangun menulis dan menghilangkan kegelisahanku atau tetap di atas kasur empuk dengan berharap bangun di sepertiga malam untuk bermunajat kepada Sang penciptaku. Kupilih bangun menulis dan berharap bangun disepertiga malam walau bagaimana pun caranya.
Yah, hidup itu pilihan kawan, sebisa mungkin pilihlah yang terbaik dan yang menenangkan hati. Terkadang pilihan yang kita ambil itu memang pahit, namun dibelakang hari, eh, ternyata pilihan tersebut berbuah manis, sungguh manis, kata orang, semanis buah Rambutan pemberian orang (baca buah rambutan gratisan, Pen-). Namun terkadang, dengan kepercayaan diri melampaui batas, kita mengambil suatu keputusan dengan mantap, namun di belakang hari pula, ternyata berbuah dengan rasa begitu pahit dan mengakibatkan penyesalan yang mendalam. Sekali lagi, hidup ini pilihan kawan. Memilihlah atau mari memilih dengan pemikiran dan perenungan yang matang.
Masih kudengar bunyi kembang api bersahut-sahutan tak menentu. Ia mengeluarkan cahaya berwarna-warni dan memiliki rupa seperti bunga serta beraneka ragam macam bentuk lainnya, sayang hanya sementara. Habis satu, beberapa waktu datang lagi kembang api yang lebih indah. Percikan api yang membentuk sebuah riak putus-putus dan seakan ia menggambarkan sesuatu, entah siapa penemu benda bersifat sementara yang satu ini. Namu indahnya hanya sementara, hanya sementara. Catat itu kawan!
Kutanya, maukah engkau jadi kembang api? Mungkin mau, karena ia indah dan memesonakan setiap pasang bola mata yang memandangnya. Namun, yakinkah engkau mau? Walau ia memiliki sifat keindahan yang sementara. Ibaratnya, ia seperti lilin menerangi sekelilingnya, namun ia sendiri mencair dan mati. Kemudian pilihan untuk menjadi kembang api pun mulai surut dan padam, bukan begitu kawan? Bukankah kita menginginkan sifat keindahan yang kekal nan abadi?
Dentuman jam dinding berwarna merah jambu dan putih dengan motif bunga-bunga berpadu dengan dinginnya angin malam kota Parepare di malam ketiga bulan Ramadan, masih mengelilingi tubuh dan jemariku. Masih kuingat petang tadi di mana tempat aku berbuka. Sungguh elok dan sejuk dipandang mata tempatnya. Matahari tenggelam begitu jelas. Gelombang cahaya keemasan menyilaukan mata ini, kawan. Duhai omabak-ombak kecil membawa aroma pantai Parepare yang begitu khas. Ah, Magello tongeng Sappo.
Tempat itu berada di samping patung kapal phinisi—lambang keperkasaan pelaut Bugis, Mandar, dan Makassar—di pantai Mattirotasi. Sebuah pantai yang menjadi tempat persinggahan pemuda dan pemudi kota Parepare. Tempat untuk memadu cinta, kasih, dan persahabatan. Soal dosa, “belakanganlah kawan, yang penting kebersamaannya.” mungkin begitu jawabannya ketika engkau bertanya pada mereka apa, siapa, dan mengapa. Ah lupakan itu untuk sejenak, bukan itu yang ingin kukisahkan.
Tempat bernama surau—saya enggan menyebut mesjid, kalau surau lebih puitis dan memang tempatnya agak kecil dibandingkan mesjid pada umumnya—Nurul Yasin. Kalau engkau orang Pare, tentu engkau mafhum dan kenal tempat yang begitu mengesankan ini. Setahun tidak pulang kekota Pare, eh, begitu banyak perubahan. Tahu-tahu, sudah ada mesjid di pinggir pantai, cukup unik letak geografisnya. Romantis lagi.
Ah, ini yang kusebut kebersamaan. Ketika waktu berbuka puasa tiba, kulihat senyuman dan canda tawa di sekelilingku. Senyum dan tawa dari para orang tua, muda, dan anak-anak. Senyum dan tawa yang membangkitkan kenangan masa kecilku, sebagian kenangan dengan rasa bahagia. Banyak di antara orang-orang tersebut yang kukenal wajahnya, namun kulupakan namanya karena himpitan waktu dan desakan potongan-potongan ingatan yang baru. Tak apalah, terpenting rasa senang dan bahagia telah menghiasi hatiku, di kotaku, di surau baru tempat aku bersimpu di balik kilau-kemilau cahaya kuning keemasan sang mentari yang terbenam begitu sendu. Sekali lagi, begitu indah, kawan.
Ramadan, salat berjamaah, dan berbuka puasa berjamah memang sebagian unsur yang menyatukan umat, mengeratkan tali persaudaraan, mengingatkan satu sama lain bahwa persatuan dan kebersamaan begitu penting dalam rangka menujuh kehidupan yang lebih baik. Memupus perbedaan dan penderitaan. Menghilangkan kekesalan dan kegelisahan. Dan berakhir senyum dan tawa yang lepas.
Yah, penulis sadari bahwa kota Parepare pun memilki banyak kekurangan. Tak perlulah dalam lembaran elektronik ini kubuka aib itu, biar menjadi rahasia umum di kota ini. Biar pelabuhan Bandar Madani, pasar Lakessi dan Labukkang, lapangan Andi Makkasau, pantai Lumpu’E, permandian Jompi’E, dan tempat-tempat indah di Parepare menjadi saksi bisu tentang kekurangan tersebut. Dan mereka akan mempersaksikannya di hari akhir tentang perbuatan-perbuatan para insan manusia Parepare di hadapan Sang Khalik. Entah itu perbuatan cinta terlarang hingga pencurian sandal di mesjid ketika salat tarawih berlangsung. Sekarang memang mereka bisu, namun nanti mereka bertutur dengan buah tutur yang membelalakkan mata.
Maka dari itu, sederhanakanlah hidup. Mari memilih riak-riak kehidupan yang berakhir ditempat yang menyejukkan rasa dan raga. Kekayaan seseorang, bagi penulis itu, hendaknya tidak dinilai dari banyaknya harta, luasnya tanah, dan tingginya tahta yang dimilki. Namun, kekayaan itu terletap pada besar, luas, dan lapang hatinya menerima setiap keadaan yang dihamparkan oleh Allah pada jala-jalan kehidupannya. Hanya itu kawan, begitu sederhana. “membuat hidup menjadi lebih hidup”, itu kata guruku.
Tik…tok…tik…tok…(bunyi jam tadi) ah kawan, mata ini mulai sayu, pertanda bahwa raga ini butuh tempat bersandar barang sejenak sebelum melanjutkan karya dan ibadah untuk sang Pencipta yang begitu pengasih dan penyayang. Mungkin hanya tulisan sederhana dan bersahaja ini yang bisa saya berikan dan ketikkan. Kuharap, keindahan dan kebersamaan itu berakhir bahagia nan indah di tempat yang lebih indah di depan wajah yang Maha Indah. Insya Allah. Kuharap bermanfaat...
Catatan: tulisan ini bersifat umum, jadi yang membacanya boleh siapa saja. Boleh kulit berwarna apa saja. Boleh lahir di kampung atau kota mana saja. Boleh dari berbagai jenis golongan darah yang mana saja, dsb. kutulis ini bukan karena Penulis adalah orang yang fanatik daerah, namun sekadar berbagi hikma, walau nilainya bagai sepotong kurma dan kue lapis di matamu kawan.

22 Juli 2012M/ 3 Ramadan 1443 H
Berdiri di sebuah jalan yang bercabang dua dan ketika harus memilih!

sumber gambar

0 comments:

Post a Comment