Dokumen Pribadi |
Bismillah,
Semilir angin pantai mengawali
jemariku merangkai setiap fonem yang akan berbentuk ayat-ayat tentang potongan
kecil kehidupan di sudut kota Parepare. Sore ini, cuaca begitu bersahabat.
Berbanding terbalik dengan keadaan subuh tadi dan siang hari tadi. Saat itu,
hujan mengguyur ranah kota mungil ini.
Dedaunan bergoyang gontai dihantam sang
angin. Beberapa darinya jatuh sempoyongan menghantam bumi. Walaupun demikian,
dedaunan tidak akan pernah membenci angin seperti kata seorang penulis yang belum
pernah kulihat wajahnya-Tere Liye. Syahdan, bukankah Allah telah mengukur
letak, waktu, dan keadaan jatuhnya daun tersebut ketika terlepas dari
rantingnya?
Di atasnya, ada burung-burung gereja
kecil terbang meliuk-liuk sekitar seratus kaki dari dasar Jalan Keterampilan.
Atau mungkin aku salah. Mungkin ia burung camar. Atau di belahan bumi sana
menyebutnya burung dara laut. Yang pasti, ia adalah jenis burung yang
solo-setia menghiasi langit di kawah Cappa Galung E ini. Kalau dalam
novel “Bidadari-Bidadari Surga” gubahan Tere Liye menceritakan tentang keelokan
Lembah Lahambay yang dipenuhi dengan hiasan polybag strawberi (apa lagi ketika
ia ranum dan memberikan semburat merah di pelupuk mata), maka aku cukup
bersyukur dengan keadaan Lembah Cappa Galung E ini.
Lagi. Desau angin mencium wajahku.
Ciuman yang bertubi-tubi. Apakah Anda pernah dicium? Kalau pernah, mungkin
begitu ciuman angin yang kurasakan. Sejuknya menjalar hingga ke hati. Sekitar
159 meter dari tempatku menulis—tepatnya mengetik—, tak henti-hentinya
kendaraan beroda dua, empat, enam, delapan, dua belas, bahkan mungkin enam
belas lalu lalang membuang udara kotor. Tujuannya? Entahlah, yang pasti, ia
begitu mengejar waktu dan menyelesaikan tugas para pengendaranya masing-masing.
Jalan itu, jalan yang terhubung
dengan kota-kota dan kabupaten-kabupaten. Daerah-daerah geografis tempat
teman-teman kuliah saya tinggal. Yang mereka riuh kita waktu libur tiba,
serentak bilang “Pulang Kampung”. Walau sebenarnya di antara mereka ada yang
tinggal di kota tetap saja mereka bilang “Pulang Kampung”. Mereka seakan-akan
terkena sidrom “euforia pulang kampung” ketika waktu libur tiba. Utara,
Selatan, dan Timur, Kota Parepare ini benar-benar menjadi sentra perhubungan
antardaerah. Begitu strategis.
Mungkin ada yang bertanya, “kok
tidak terhubung dengan barat sih?” jawabnya, iyalah, kan di barat hanya ada
laut. Usahlah aku sebut mereka satu-satu. Membuat lembaran elektronik ini penuh
dengan nama-nama mereka saja. Mungkin, nanti di suatu hari. Saat suasana
spesial. Saat keadaan khusus. Saat ada adegan istimewa bersama dia atau mereka.
Barulah kutuliskan namanya. Hingga fragmen-fragmen itu bagai terlihat jelas di
mata Anda wahai pembacaku yang budiman (insya Allah). Oh maaf, aku lupa. Nama
jalan yang strategis ini adalah Jalan Bau Maseppe. Bolehlah Anda di lain waktu
berjalan-berjalan ke jalan ini untuk membuktikannya secara langsung dengan mata
kepala Anda sendiri dan mata kepala teman Anda.
Prolog ini mungkin terlalu lama dan
panjang. Ada juga dari Anda mungkin berkata bahwa prolognya terlalu melankolis.
Yah, ini terjadi karena suasana yang begitu indah terhampar di depan mataku.
Begitu kuat mengakar diingatanku. Begitu bercampur rasa yang mengaduk hatiku.
Yang jelas untuk memulai tulisan ini, kata yang menggambarkan lukisan
pemandangan yang mengiringinya hanya satu kata. Indah. Yah, Indah.
Andai Anda ada di sini. Tentu Anda
akan setuju dengan apa yang saya ungkapkan bahkan siap mengaklamsi apabila ada
orang-orang di luar sana yang ingin menggugat deskripsiku tentang hal ini
dengan kata “Berlebihan”, “Hiperbola”, “Lebay, “Ghulu’”, dan berbagai kata
lainnya yang terkesan “iri”. Entahlah.
Baik, kita masuk ke tema curhatan.
Apakah Anda mempunyai saudara? Atau mungkin Anda saudara kembar barangkali?
Bagaimana rasanya memiliki saudara? Menyebalkan? Ataukah menyenangkan? Maaf
mencecar Anda dengan tubian pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu sulit untuk
kujawab. Karena Bapak dan Mamaku hanya “bermufakat” untuk melahirkanku seorang.
Jadilah aku manusia kesepian tanpa ada saudara sedarah untuk saling berbagi
rasa. Sekali lagi maaf, itu bukan tujuan curhatan kali ini.
Ada yang hilang akhir-akhir ini di
ranahku. Indonesia pada umumnya. Yang hilang itu, dan yang paling
mencolok—setidaknya di mataku—ialah persaudaraan. Benar, persaudaraan. Untuk
menguatkannya di otak Anda kuulang sekali lagi, yang hilang itu adalah
PERSAUDARAAN.
Sering karena persoalan yang remeh
temeh persaudaraan berubah menjadi pertengkaran. Persoalan yang sebenarnya bisa
diselesaikan dengan jalan “kekeluargaan” atau jalan komunikasi dengan nge-teh—kata
salah satu iklan yang pernah kulihat di teve. Namun, karena dibiarkan larut,
akhirnya terjadi perselisihan, hingga persaudaraan pun menjadi renggang bagai
karet di musim dingin, susutnya minta ampun! Bukan begitu wahai pembaca?
Itu masih pada tahap persoalan
kecil. Bagaimana dengan persoalan yang lebih besar. Tarulah kita ambil contoh
Pemilihan Umum Gubernur Sulawesi Selatan yang baru saja kita euforira-kan di
Provinsi kita. Wah, begitu banyak perselisihan yang terjadi. Bukan hanya
calonnya yang berselisih, bahkan simpatisannya pun ikut-ikutan berselisih
bahkan ingin bentrok satu sama lain. Haa, herman saya, maksud saya, heran saya
(dalam tulisan ini, kata ganti pertama yang digunakan penulis berganti-ganti,
disesuaikan dengan konteks-Red). Mungkin, di saat yang bersamaan, di saat saya
merangkai kata dalam curhatan ini, ada saja saudara-saudara kita yang
bertengkar hati, lisan, bahkan perbuatannya di sana. Tidak percaya? Coba lihat
berita di teve sekarang, kalau bukan pembunuhan dan perkelahian, beritanya
pasti tentang pemerkosaan, kisruh politik, perselingkuhan artis, hingga jeratan
narkoba. Membuat saya mengkal ketika mata berhadapan dengan layar.
Tak tahukah kita bahwa antara mukmin
yang satu dengan mukmin yang lain itu bersaudara. Innamal mu’minuna ikhwa
kata Allah dalam Kitab-Nya. Atau memang kita masih pada tataran muslim
hingga harus menjadikannya kambing hitam demi menghalalkan perselisihan? Alasan
yang bodoh kalau demikian. Karena setiap muslim di belahan dunia manapun
itu juga bersaudara!
Saya tak henti-hentinya berdecak
kagum dengan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar wahai pembaca
yang budiman. Tentu Anda tahu tentang kisahnya, bukan? Tarulah kita ambil
contoh kisah seorang sahabat dari kaum Muhajirin bernama Abdurahman bin ‘Auf
dengan salah seorang sahabat dari kaum
Anshar. Mereka dipersaudarakan oleh Rasulullah saw di tanah Madinah.
Lihat ketika mereka bersaudara. Sang sahabat Anshar rela membagi hartanya
dengan sahabat Abdurahman bin ‘Auf. Bahkan rela menceraikan istrinya—ia
memiliki dua istri—untuk “dibagikan” dengan saudara barunya itu. Masya Allah.
Perpecahan yang paling sering
terjadi ialah dengan tetangga kita. Karena persoalan kecil saja, kita ngambekan
berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun—wal ya’udzu billah.
Bukankah kita diperingatkan oleh Rasulullah saw untuk berbuat baik kepada
tetangga kita? Bahkan Rasulullah saw hampir mengira bahwa tetangga mempunyai
hak waris terhadap beliau? Yaa Allah, hamba memohon ampun atas
tetangga-tetangga yang pernah hamba sakiti hatinya baik yang hamba lakukan
dengan sengaja atau pun tidak.
Kita tak pernah habis-habisnya
mendapatkan contoh tentang kebaikan di dalam Islam. Karena Islam sendiri memang
tidak meninggalkan banyak bangunan sejarah. Walau demikian Islam mewariskan
kita banyak hikmah dan sirah tentang budi pekerti, moral, dan kebaikan lainnya.
Taruhlah uswah utama kita, Rasulullah saw. Lihat bagaimana hubungannya dengan
tetangganya yang nonislam. Lihat ketika beliau diperlakukan secara tidak hormat
dengan tetangga Yahudinya. Dicerca dan dilepari kotoran. Apa yang dilakukan
oleh beliau? Apakah beliau mendatangi rumah sang Yahudi tersebut dan menghantam
mukanya dengan martil? Ataukah melemparkan muka sang Yahudi dengan kotoran
unta? Anda benar-benar salah kalau mengangguk apalagi bagi yang berkata “Yah,
tentu” karena saking emosinya dengan Yahudi tersebut.
Hei, beliau bukan kita yang begitu
temperamental dan emosional. Yang beliau lakukan justru bersabar menghadapi
sang Yahudi tak tahu diri tersebut. Namun yang lebih mencengangkan lagi ialah ketika
sang tetangga Yahudi itu sakit. Mungkin ketika kita berada di posisi Rasulullah
saw, hati kita tentu berbunga-bunga dan bersyukur hingga menyumpahi agar sang
tetangga lekas dicabut nyawanya saja. Namun Rasulullah saw wahai pembaca yang
budiman bukanlah kita yang penuh dengan kekurangan. Beliau menjenguknya dan
mengajaknya untuk masuk ke dalam cahaya Islam. Yaa Allah, kita?
Ada tiga tingkatan persaudaraan
menurut salah seorang bijak wahai pembaca. Yang pertama ialah ridho kepada
perbuatan saudaranya. Yang kedua mencinta apa yang dicintai saudaranya. Dan
tingkatan yang paling tertinggi ialah mendahulukan kepentingan saudaranya
daripada kepentingan pribandinya. Nah, telah sampai di manakah persaudaraan
kita? Di level manakah kita sedang berpijak? Saya pun malu untuk menjawabnya
wahai pembaca.
Saya benar-benar malu terhadap semut
merah. Yang berbaris di dinding. Yang bergerak jalan di tanah. Dan di mana pun
mereka berada. Bukan karena mereka menatapku curiga dan menayakan “sedang apa
di sini?” kepadaku. Aku pun tidak menjawab “menanti pacar” seperti yang
dikatakan oleh Chrisye Rahimahullah. Aku malu kepada mereka karena mereka
begitu menjaga jalinan silaturahim dan menjunjung tinggi norma persaudaraan.
Coba Anda sekali-kali perhatikan tingkah mereka. Sesibuk apapun makhluk-makhluk
kecil itu, ia selalu meluangkan waktu untuk saling “menabrakkan kepalanya”
dengan saudara sesama semutnya yang lain. Mungkin dalam versi bahasa kita,
mereka saling mengucap salam atau hanya sekadar bertanya kabar. Sungguh makhluk
kecil yang begitu lucu dan imut. Sampai-sampai, nabi Sulaiman as pun tertawa
karenanya. Mut, semut, imut loh,... hehe
Saya juga malu kepada tetangga semut
bernama lebah. Sungguh benar-benar malu. Sekumpulan lebah ini hanya
mencerminkan kebaikan. Bahkan bisa menjadi simbol kebaikan kalau kita
bersepakat. “Mengapa?” pertanyaan itu mungkin terlintas dipikiran Anda setelah
bersusah payah melewati alam bawa sadar Anda dan menembus ke otak kiri hingga
menghembuskannya melalui vokal cempreng (bagi yang memiliki suara tidak
cempreng tidak usah marah) Anda secara tidak sadar. Saya bertanya balik kepada
Anda, perilaku tidak baik apa sih yang ada pada sang lebah? Ia suka menggigit?
Hei, lebah tidak menggigit, hanya menusukkan benda tajam yang ada di pantatnya.
“Iya, maksudnya begitu!” jawab Anda. Lebah gila mana sih yang mau menusukkan
senjatanya ke tubuh Anda kalau Anda tidak punya salah?
“Lebah itu juga tinggal di pohon
dekat rumah saya, hingga saya takut melawatinya kalau ke kampus. Harus mutar
dulu, gitu...” alasan lain Anda. GEDUBRAKKK. Hei, mereka juga butuh tempat
tinggalkan? Lagi pula tidak ada tanda larangan horizontal merah zona anti lebah
yang tertancap di halaman rumah Andakan? bukan begitu?
Selain itu, lebah juga menghasilkan
madu untuk kita nikmati manfaatnya. Mereka pun kalau hingga di ranting-ranting
pepohonan, tidak merusak. Lah, letak teladan persaudaraannya di mana? Baik, coba
lihat kalau sarang lebah diganggu oleh manusia, kira-kira peristiwa dahsyat apa
yang terjadi? dengan mempertaruhkan nyawa dan harga diri, para lebah berkumpul mengatur
strategi dan bekerja sama menyerang manusia yang mengganggu kehidupan mereka. Mereka
kecil tetapi mereka berani. Mereka
lemah, namun karena bersatu mereka kuat. Tugas mereka masing-masing berbeda,
namun toh mereka juga bersaudara. Sungguh makhluk yang penuh dengan kebaikan.
Kalau saya disuruh memilih harus menjadi makhluk apa selain manusia? Saya akan
memilih makhluk kecil ini walau seluruh dunia bersekutu untuk menjadi burung
merpati.
Belum lagi filosofi sapu lidi.
Mungkin pembaca sudah pernah mendengarnya. Tentu satu lidi tak akan bisa
menyapu kotoran walau hanya satu pembungkus kacang garuda. Namun ketika
sekumpulan lidi-lidi diikat dan disatukan, kotoran mana sih yang tak bisa
disapu?
Ada baiknya kita bisa mencontoh
kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Mengejawantahkannya ke dalam desahan
napas kita. Menjadikannya bianglala dalam aktivitas kehidupan kita.
Menghamparkannya dalam permadani-permadani persaudaraan kita. Utamanya
mengikuti cara Rasulullah saw dalam bersaudara walau pun dengan media
persaudaraan yang berbeda-beda. Bukankah beliau adalah teladan terbaik seperti
mukadimah perhelatan kita?
Katakanlah: "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Ali
Imran: 31).
Wallhu
a’lam. Semoga bermanfaat.
Dokumen Pribadi |
30
Januari 2013
Lembah
Cappa Galung E yang permai
Catatan: Tulisan ini juga kupersembahkan kepada saudara yang masih
mendiamiku hingga saat ini. Tahukah engkau, bahwa aku mencintaimu karena Allah.
Alangkah indahnya ketika kita saling mendengarkan bukan mengedepankan sikap
egois dan kesenioritasan. Bukankah adik maupun kakak mempunyai hak untuk saling
menasehati? Sekali lagi, saya memohon maaf atas segala yang menggoreskan luka
tajam dalam hatimu wahai saudaraku. Uhibbuka fillaah yaa akhi. Semoga
engkau pun demikian, jauh dalam lubuk hatimu yang terdalam.
0 comments:
Post a Comment