Februari bagi sebagian manusia menjadi bulan romantis dan penuh kasih sayang. Bunga dan coklat dalam bungkusan lafazh cinta adalah salah satu bentuk pengejawantahan dari lelaki bagi wanita yang dikasihinya. Bahkan, tak jarang, lafazh cinta tersebut berujung perzinahan yang dianggap sebagai bentuk pembuktian cinta yang tertinggi antara sepasang anak manusia. Benar, bulan ini terdapat sebuah tanggal yang menjadi simbol kasih sayang bagi mereka. Sebuah tanggal yang menjadikan pemuda-pemudi, pria-wanita, untuk hanyut dalam buaian panah-panah cinta dari syaithan yang hendak menjerumuskan mereka,
Prolog di atas bukan sekadar pendapat pribadi semata. Bahwa bulan
“kasih sayang” ini merupakan salah satu wasilah syaithan untuk
menggelincirkan umat dan bangsa dalam rayuan kata cinta, pemaknaan, dan
pembuktiannya yang keliru. Komnas Pendidikan Anak mempertegas pernyataan
tersebut dengan mengungkapkan fakta bahwa sebanyak 62,7 persen remaja di Indonesia pernah melakukan hubungan layaknya suami istri.
Sementara data dari BKKBN menyatakan sebanyak 51 persen remaja pernah melakukan
seks bebas (jpnn.com). Data-data tersebut seharusnya membuka mata dan pikiran
kita bahwa ada yang salah dalam dunia percintaan Indonesia. Lalu, bagaimanakah
pemaknaan cinta yang benar? Bagaimana pula Salafush Shalih dalam
memaknai hakikat cinta dalam kehidupan mereka?
Hakikat
Cinta yang Sahih
Salah
satu definisi cinta di antara berbagai definisi cinta menurut Ibnu Qayyim
adalah kasih sayang. Definisi ini bukanlah hak preoregatif bagi pasangan pria
dan wanita saja. Namun, cinta dalam definisi tersebut juga bisa diterapkan antarlelaki
dan antarwanita dalam batasan syariat yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad shallahu
‘alaihi wasallam. Bahkan, beliau juga mengajarkan umatnya bagaimana memberikan
kasih sayang kepada makhluk selain manusia baik itu binatang maupun tetumbuhan.
Karena difinisi cinta hanya untuk pasangan pria dan wanita saja adalah difinisi
cinta tersempit yang pernah ada. Allah pula telah menuntunkan kaidah cinta
untuk para hamba-Nya dengan berfirman:
“Katakanlah,
‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Ali Imran: 31)
Beliau juga mempertegas bahwa cinta antarhamba Allah haruslah
berpedoman kepada Allah dan Rasul-Nya. Beranjak dari itu, maka lezatnya iman
akan tersaji di relung hati. Sabdanya,
“Tiga
hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa
manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari
keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena
Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan
dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)
Begitulah hakikat cinta yang terpuji menurut Allah dan Rasulnya. Bahkan, Ibnu Qayyim dalam bukunya ad-Da’ wa ad-Dawa’ (Penyakit dan Obatnya) menjabarkan definisi cinta yang terpuji itu. Bahwa, cinta yang terpuji adalah cinta yang memberikan manfaat kepada orang yang merasakan cinta itu untuk kebahagian dunia dan akhirat. Cinta inilah yang mejadi asas kebahagiaan. Di tempat lain, Ibnu Qayyim pula menasehati kita dengan lembut bahwa cinta itu mensucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, memunculkan keberanian, mendorong berpenampilan rapi, membangkitkan selera makan, menjaga akhlak mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, serta menjaga adab dan kepribadian. Begitulah hakikat cinta berdasarkan kitabullah dan sunnah Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam.
Di sisi lain, hakikat dan
pengaplikasian cinta dalam kacamata Islam tidaklah terikat dengan ruang dan
waktu. Islam tidak pernah mengajarkan umat yang memeluknya untuk merayakan
cinta pada hari-hari atau bulan-bulan tertentu saja. Islam pula tidak pernah
mengajarkan umat yang memeluknya untuk mengejawantahkan cinta pada
tempat-tempat tertentu saja. Bahkan, di setiap tarikan nafas dan di setiap
jengkal bumi Allah merupakan bentuk perwujudan cinta apabila dilandasi dengan
ilmu (bashirah) dan niat yang benar.
Aplikasi
Cinta dalam Kehidupan Para Salaf
Terlalu banyak kisah-kisah
perwujudan cinta yang telah ditorehkan para generasi Salafush Shalih
dalam bingkai sejarah. Satu di antaranya begitu berkesan dalam benak Sahabat
Anas bin Malik sebagai periwayat kisah ini. Suatu ketika tampak seorang sahabat
yang hendak bertanya kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.
Perlahan ia mulai berucap,”Kapankah hari kiamat akan tiba (wahai Rasulullah)?”
Beliau balik bertanya, “Lalu, apa yang engkau telah persiapkan
untuk menghadapinya?”
“Tidak ada yang bisa kupersiapkan,” jawabnya memburu, “hanya saja
aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Demi mendengar jawaban itu, akhirnya Rasulullah memberikan kabar
gembira kepadanya, “Engkau akan dikumpulkan bersama orang yang engkau cintai.”
Menanggapi hadits ini, Sahabat Anas
berkata,”Kami tidak pernah begitu bahagia sebagaimana senangnya kami terhadap
sabda Nabi shallahu ‘alaihi wasallam,”Engkau akan dikumpulkan bersama
orang yang engkau cintai.” Sementara aku mencintai Nabi, Abu Bakar, dan Umar.
Aku berharap semoga aku bisa berkumpul bersama mereka kecintaanku kepada
mereka, meskipun aku tidak mampu mengamalkan apa yang mereka amalkan.” (HR.
Bukhari)
Di dunia ini, mungkin tak akan kita
dapatkan orang yang disakiti justru akan mencintai orang yang menyakitinya
seketika itu juga. Lalu, bagaimana halnya jika yang menyakiti ialah Rasulullah
shallahu ‘alaihi wasallam? Adalah Usaid bin Hudhair, seorang lelaki saleh,
suka tertawa, dan jenaka. Usaid mengerti betul bagaimana mengubah sakit menjadi
cinta yang tak terperikan. Selagi dia berada di sisi Rasulullah shallahu
‘alaihi wasallam, dia masih sempat bercanda dan membuat mereka tertawa.
Maka beliau memukulnya di bagian lambung.
“Engkau telah membuatku sakit.” Kata
Usaid kepada beliau.
“Kalau begitu, Balaslah!” Rasulullah
menimpali.
“Wahai Rasulullah, engkau mengenakan
pakaian, sementara aku tadi tidak mengenakan pakaian.” Sanggah Usaid.
Maka beliau menanggalkan pakainnya
sambil tetap memeganginya. Seketika itu pula Usaid memeluk tubuh beliau, seraya
berkata,“ Demi ayah dan ibuku wahai Rasulullah, sebenarnya inilah yang
kuinginkan.” (HR. Hakim)
Kadang pula, cinta menurut para
salaf itu diterjemahkan dalam bentuk untaian doa kepada sang kekasih (karena
Allah). Lihatlah bagaimana cinta Imam Ahmad kepada gurunya Imam Syafi'i yang
dikisahkan dalam Taarikh Al-Islaam, sehingga beliau pernah berkata:
"Enam orang yang aku mendoakan
mereka di waktu sahur (sebelum subuh), salah satunya adalah Asy-Syafi'i."
Bahkan, saking seringnya mendoakan Imam Syafi'i, sampai-sampai anak
Imam Ahmad yaitu Abdullah bertanya kepada beliau:
"Wahai ayahanda, siapakah Asy-Syafi'i itu, aku mendengarmu
banyak mendoakannya?".
Imam Ahmad menjawab : "Wahai putraku, Asy-Syafi'i seperti matahari bagi dunia, seperti keselamatan bagi manusia, maka apakah ada pengganti bagi kedua kenikmatan ini?"
Imam Ahmad menjawab : "Wahai putraku, Asy-Syafi'i seperti matahari bagi dunia, seperti keselamatan bagi manusia, maka apakah ada pengganti bagi kedua kenikmatan ini?"
Mereka memaknai cinta bukan hanya sekadar teori dalam
tumpukan-tumpukan buku ataupun perkataan-perkataan yang manis di bibir saja.
Maka, sudah sepatutnya, para generasi Islam kembali mengambil hikmah dari kisah
cinta masa lalu yang telah diwariskan oleh generasi Salafush Shalih.
Cinta
yang Suci
Hendaknya, orang-orang yang telah
tersesat dan keliru dalam memaknai cinta kembali kepada hakikat cinta yang
benar berlandaskan kitabullah dan sunnah nabi-Nya. Ketahui pula-lah, mengikuti
budaya-budaya yang tak pernah diwariskan oleh Islam adalah hal yang sungguh
terlarang dan dapat mendatangkan malapetaka yang besar kepada pelakunya tidak
hanya di dunia bahkan pula di akhirat kelak. Padahal, Islam telah banyak
mewariskan kisah-kisah cinta yang dapat dijadikan teladan dan panutan dalam
dunia percintaan manusia. Takutlah kepada sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi
wasallam bahwa,
“Barangsiapa
yang meniru kelompok manusia tertentu, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawu dan Ahmad)
Dengan menjadikan Februari sebagai
bulan kasih sayang, apakah para aktivisnya tidak takut bahwa Allah akan mengumpulkan
mereka dengan orang-orang kafir pembuat ajaran tersebut di hari akhir kelak (baca:
neraka)? Ataukah atas nama cinta kita menghalalkan itu semua hingga kita
menutup mata bahwa Islam telah melarang perbuatan lata dan ikut-ikutan
tersebut? Bukankah meninggalkan sesuatu karena Allah itu akan digantikan-Nya
dengan sesuatu yang jauh lebih baik dari yang ditinggalkan?
“Kita tidak memungkiri kerusakan cinta jika terbumbui oleh perbuatan tercela kepada sesama makhluk. Yang kita dambakan adalah cinta suci dari seorang lelaki idaman yang selalu komitmen kepada agama, kehormatan, dan akhlak. Jangan sampai cinta itu menjadi jurang pemisah antara Khaliq-nya dan menyebabkan antara pecinta dengan yang dicintanya jatuh ke dalam perbuatan nista.” (Ibnu Qayyim).
Maraaji’:
-Cinta Sejati dalam Islam oleh muslimah.or.id
- Kita dan Akhlak Salaf: Potret Keseharian Generasi
Teladan, oleh Al-julail dan Aqil
- Sirah Shahabat: Keteladanan Orang-Orang di Sekitar
Nabi, oleh Al-Kandahlawy
0 comments:
Post a Comment