Bismillaahirrahmanirrahim,
Puji
syukur untuk Allah dan Selawat serta salam untuk Muhammad bin Abdullah.
Judul di atas adalah sebuah pertanyaan
yang sebenarnya harus tertanam kepada setiap manusia (terkhusus aktivis dakwah).
Ini yang terkadang saya tanyakan pada diri pribadi, “Mengapa saya harus
berjuang?”. Sebuah pertanyaan yang menelusup masuk ke dalam sanubari.
Mungkin jawabannya tak jauh-jauh dari hadits Rasulllah saw yang disampaikan oleh sahabat Umar Al Faruq “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sesungguhnya pertanyaan di atas sedang memulai sebuah muqadimah cakap kepada pembacanya tentang perkara niat. Karena berawal dari niat bisa menentukan segalanya.
Man shabara zafira (barang siapa
yang bersabar akan beruntung)
Saya ingat sebuah kisah yang disampaikan
oleh seorang ustadz tentang orang-orang yang masuk surga dan neraka disebabkan
oleh seekor lalat. Suatu ketika, berjalanlah dua orang manusia menuju ke suatu
tempat. Di tengah perjalanan, ia di jagal oleh sekelompok orang. Berkatalah
sekelompok orang yang sekaligus merangkap sebagai penjagal kepada kedua orang
tadi,
“Kalian boleh
lewat, tetapi dengan sebuah syarat. Kalian harus menyembelih namun bukan atas
nama Allah.” Kata salah seorang dari penjagal tersebut.
“Namun, kami
tidak memiliki hewan sembelihan.” Berkata di antara mereka sang musafir.
“terserah
kalian mau menyembelih apa saja, bahkan lalat sekalipun.”
Akhirnya terjadi selisih pendapat antara kedua orang tersebut.
Salah satu dari mereka tidak setuju melakukan penyembelihan bukan atas nama
Allah, walaupun hanya sebuah lalat. Sedangkan yang satunya lagi tetap
melakukannya. Akhirnya, sang musafir melakukan penyembelihan dibiarkan lewat, sedangkan
yang satunya lagi yang sabar dalam pendirian meninggal dibunuh oleh sekelompok
penjagal tersebut karena mempertahankan pendiriannya. Akhir dari kisah ini
bahwa orang yang tidak menyembelih dihadiah surga oleh Allah, sedangkan yang
satunya masuk ke dalam pedih-perihnya neraka. Subhanallah, hanya seekor lalat
menjadi penyebab ujung penghidupan mereka.
Lalu, bagaimana dengan sebuah perjuangan? Bukankah pejuang disebut
mujahid. Lalu mengapa kita harus berjuang? Hemat saya, pertanyaan awal sebelum
kita dihamparkan pertanyaan di atas ialah untuk
siapa kita berjuang? Mungkin itu. Apabila kita berjuang untuk manusia—maka
hanya akan berakhir dengan kehampaan dan kesia-sian. Saya ingat sebuah kisah
tentang tiga golongan yang masuk keneraka sebelum orang-orang kafir dilemparkan
ke dalamnya. Golongan-golongan tersebut adalah golongan-golongan yang melakukan
peibadatan untuk manusia—bukan Rabnya. Mereka adalah yang mengaji namun hanya
ingin disebut seorang qari’ yang
indah dan tartil suaranya; yang berperang namun hanya ingin disebut seorang
mujahid yang syahid di jalan Allah; dan yang mengeluarkan harta namun hanya
ingin disebut seorang yang ahli sedekah dan dermawan. Bagaimana dengan kita,
untuk siapa kita berjuang?
Tentu, kor kita berkata bahwa perjuangan yang dimaksud adalah
dakwah ilallaah, bukan begitu wahai
saudaraku? Kita menginginkan agar termasuk golongan yang menyeru kepada
kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah seperti yang
dicakapkan oleh Allah dalam surah Al Imran ayat 104 dan 110 (pengikut generasi
salaf). Apakah benar demikian? Atau ada maksud lain dibalik semua itu?
Pun, ketika jawabnya untuk Allah, apa yang telah kita lakukan
selama ini? Ini pula pertanyaan yang biasa saya sampaikan pada diri sendiri?
Apakah dengan mengajak ngobrol satu dua calon kader sudah disebut berjuang,
atau sudah memiliki satu dua halaqah binaan juga sudah disebut berjuang? Atau
lebih lagi dari itu semua? Allah yang menentukan dan kita patut berharap amalan
sekecil apapun yang kita lakukan dinilai ibadah berujuang pahala oleh Allah
Azza wa Jalla.
Man jadda wajada (siapa yang
bersungguh-sungguh akan berhasil)
Saya takut apabila saya dikatakan pejuang (mujahid) namun tak
sesuai dengan kenyataan dan meninggikan hati hingga meluruhkan semua amal
ibadah kita. Seperti Imam Abu Hanifah ketika ia disebut ahli ibadah yang tidak
tidur ketika malam, ia merasa ini tidaklah benar, akhirnya ia jadikan sebagai
cambuk untuk benar-benar fokus beribadah ketika malam datang menyelimuti jagat.
Bagaimana dengan saya, antum(na)? apakah kia telah memaksimalkan yang kita
punya? Ataukah kita sibuk dengan game
kita yang terhampar di berbagai media? Ataukah kita sibuk dengan serunya film
kita? Ataukah sibuk tak jelas dengan akun jejaring sosial kita? Ataukah sibuk
dengan setiap diskusi kita dengan teman yang lain yang selalu saja temanya
tentang perempuan (laki-laki)? Ataukah lebih banyak porsi kita tidur dengan
alasan istirahat sebelum berdakwah? Ataukah kita berasalan bahwa kita ini sibuk
kuliah, ngajar, ibadah, dan sebaginya? Mungkin saya salah satunya, antum(na)
juga mungkin demikian.
Tapi kita sadar, kalau adanya demikian terus, musuh dalam selimut
dan di luarnya pun semakin dalam menggerogoti umat untuk disesatkan. Saya takut
kita digantikan dengan umat lain yang lebih serius dalam dakwah sehingga pupus
sudah wasilah kita untuk beramal, coba kita tengok dan tafakuri Al Ma’arij ayat
41. Saya takut, visi kita perlahan berubah haluan tergerus globalisasi
kemaksiatan dan kesia-siaan. Saa takut kita tak pernah bangkit kembali. Saya
takut dengan segala hal yang membuat kita merugi pada akhirnya sehingga kita
bergelar sebagai muflish (orang-orang yang merugi).
Akhi, ukhti, bukankah Allah adalah tujuan kita? Alquran adalah
pedoman kita? Muhammad saw adalah tuntunan dan idola kita? ‘Mati’ di jalan
Allah adalah cita-cita kita? Bukankah itu visi kita? Bukankah itu tujuan kita
berdakwah.
Man saara ala darbi washala (siapa yang
berjalan di jalannya akan sampai ke tujuan)
Saya ingat kisah sahabat Salman AL Farisy, mati-matian dari
Jayyan-Persia hingga ke madinah-Arab (semoga kita punya rezeki belajar di sana)
berjuang dengan segala rintangan. Semula menjadi orang yang beragama majusi
kemudian nasrani hingga melanglang buana ke berbagai daerah mencari kebenaran.
Dalam perjalannya ia tertipu dan dijadikan budak hingga sampailah takdir
mempertemukannya kepada orang yang mulia yang bersinar di wajahnya cahaya
kebenaran yang selama ini ia cari-cari. Kita? Sepatutnya benar-benar harus
bersyukur karena tak perlu mengeluarkan tenaga, waktu, dan pengorbanan seperti
sahabat Salman yang rela meninggalkan hartanya untuk mencari kebenaran dan ikut
terjun dalam dunia dakwah. Lalu apa yang
telah kita lakukan?
Semoga kita bisa berubah dan konsisten berada pada jalan
kebenaran. Semoga Allah masih berkenan menjadikan kita sebagai elemen dari
dakwah ilallaah ini. Semoga Allah
memberkahi kita dan mempertemukan kita di jannah-Nya
kelak, insya Allah.
Cat: ditulis
dalam rangka saling menasehati dalam kesabaran, kebenaran, dan kebaikan serta bentuk
pertanggungjawaban dari tugas yang diamanahkan.
23 Desember 2013
Takut, harap, dan cinta karena Allah
0 comments:
Post a Comment