Ikhwa (juga akhwat),
sama kita tahu bahwa terkadang cuaca belakangan ini mendung, hujan, dan
berangin cukup kencang. Agaknya, inilah terjadi di sela-sela kehidupan
keseharian kita dalam hidup berjamaah bahwa ada krisis ukhuwah di antara para
ikhwah seperti mendung, hujan, dan angin kencang sebagai deskripsinya.
Ikhwa, dunia memang
ibaratnya sebuah film ataupun (Sandiwara Langit: kata Ustadz Abu Umar Basyir).
Ada sutradara, ada pemeran, ada panggung, dengan segala macam hal yang
berkaitan. Pun dalam suasana yang terbangun ada canda, ada tangis, banyak tawa,
dan sebagainya. makna firman Allah, dunia ini pangung senda gurau, namun di
sisi Allah itulah yang lebih baik. Dan ikhwa, kita ini para pemerannya yang
senantiasa akan ada adegan-adegan yang tak terduga dengan berbagai hasil akhir
yang yang tak terkira.
Dulu kita sama, namun
sekarang….
Saya teringat sebuah
perkataan dari seorang ikhwa yang maknanya demikian, “dahulu kita memiliki
tujuan yang sama, namun sekarang visi kita terlihat berbeda walau kita tetap
memanjangkan jenggot dan menggunakan celana cingkrang (amalan sunnah Nabi saw).”
Perkataan ini sedikit banyak telah menyinggung saya dan sebagian besar ikhwa,
dan hakikat dakwah memang demikian, ”singgungan yang membangun”. Singgungan
yang bukan sekadar menyakiti hati para ikhwa, namun memberikan kesadaran bahwa
kita mesti kembali kepada rel yang benar. Singgungan yang bukan hanya rentetan
kata bermakna pedas, namun juga memberikan harapan manis di garis depan kelak. Begitulah
hakikat singgungan, karena
“Orang yang memberi
nasehat itu,” kata Syaik Al ‘Arifi, “laksana tukang cambuk. Bagaimanapun
pandainya tukang cambuk mencambuk, tetap saja cambukannya terasa sakit.”
Dan sungguh, betapa
banyak ikhwa yang memberikan singgungan namun hanya membawa sakit semata,
semoga Allaah tetap menilainya pada kebaikan walaupun berselisih dengan apa
yang ia perintahkan untuk berdakwah dengan “bil hikmah wal mauidzhatil
hasanah, wajaadilhum billati hiya ahsan”—dengan hikmah dan pengajaran yang
baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik.
Jatuhnya para ikhwah…
Ikhwa, sedikit banyak,
kita mengalami masa kelabilan dalam kehidupan dakwah ini. Ibarat pohon cemara,
selalu saja ia begoyang kanan kiri dengan mudahnya walau hanya angin sepoi yang
mengecupnya. Namun, apabila angin besar layaknya tornado datang menghempas, ia
“kolaps” jatuh dan rubuhnya tak alang. Dan kita tidak menginginkan seperti itu
ikhwa, kita ingin seperti pohon kurma yang manis rasanya dan kokoh dahan dan
batangnya dalam artian bahwa kita ini ingin menjadi ikhwa yang “manis”
perkataannya dalam dakwah dan muru’ah-nya terjaga serta kokoh layaknya
pohon kurma tersebut. Dan tahukah ikhwa? Kita sekarang butuh dengan sosok
seperti itu dalam kehidupan dakwah ini. Begitu rinduhnya kita dengan sosok
seperti mereka yang dapat kita jadikan anutan hidup dan semangat dalam
berdakwah.
Ikhwa, di sisi lain,
hal yang kita dapatkan begitu paradoks dalam dunia perfilman para ikhwa. Tak
jarang kita mendapatkan ikhwa yang sebagian besar waktunya dihabiskan dengan
menonton film dan anime, banyak baca komik, main game, dan aktivitas tak
jelas lainnya. Semoga kita punya dasar yang baik andai pun kita melakukannya.
Ikhwa, saya masih ingat
perkataan seorang ustadz kita ? Beliau bekata bahwa, bukan lagi zaman kita
menonton yang demikian dan termasuk jatuh ke dalam kesyirikan orang (ikhwa
secara khususnya) yang menyengajakan menonton yang di dalamnya mengandung
kesyirikan seperti adegan perkelahian dengan menggunakan ilmu-ilmu yang tak
jelas—seperti pada film naruto dsb. Adapun kalau hanya sekadar jurus tanpa ada
ilmu khusus itu tak mengapa, kata beliau (semoga saya tidak khilaf, dan silakan
mengoreksi jika iya, ikhwa). Begitu pun dengan film yang lain yang kebanyakan
memperlihatkan adegan vulgar, pakain tak seronok, dan sebagainya.
Lalu, bagaimaan dengan
komik (manga dan sebagainya) yang di dalamnya terdapat banyak coretan-coretan
gambar berselisih dengan syariat apatah lagi di dalamnya menceritakan adegan
pertarungan degan menggunakan ilmu-ilmu yang juga sekali lagi bertentangan
dengan syariat. Dan main game?
Ikhwa kita tahu dan hafal makna hadits bahwa salah satu ciri kebaikan seorang muslim
adalah meninggalkan perkara yang berujung kesia-siaan. Ataukah kita telah terkena
penyakit “hubbuddunnya wakaraahiyatul maut”? Wallahul musta’an.
Ikhwa, saya masih ingat
perjuangan pendahulu kita dan kita sendiri untuk menjadi perantara-perantara
hidayah bagi yang lainnya. Kita memiliki misi untuk memasukkan mereka ke halaqah-halaqah
tarbiyah yang kita yakin hal itu merupakan saranah ampuh untuk memupuk jiwa
rabbani dalam hati para kaum muslim.
Namun, sekarang, berapa banyak di antara kita yang menyeruh namun sudah tak
lagi bertarbiyah. Kita menyeruh kepada saudara kita bertarbiyah dan kita sibuk
siapa gerangan yang cocok menjadi murabbinya, namun sekarang kitalah yang tidak
bertarbiyah. Benar bahwa tarbiyah bukan hanya sekadar melalui jalan halaqah,
namun seberapa efektifkah jalan-jalan tarbiyah yang kita telah susuri di luar
dari halaqah itu? Tarbiyah memang bukanlah segala-galanya, namun boleh
jadi segala-galanya dimulai dari halaqah tarbiyah.
Gelar ikhwa itu mahal…
Ikhwa, bukankah Allah
memberikan berbagai nikmat kepada kita untuk kita syukuri dan kita pergunakan
di jalan-Nya. Ibaratnya lebah yang bukan sekadar pengecap dan penikmat kembang
namun juga banyak memberikan manfaat bagi sebagian besar makhluk. Kita manusia
apatah lagi bergelar “ikhwa” tentu yakin bahwa kita lebih baik daripada lebah.
Kata ustadz kita, mendapatkan gelar ikhwa—akhwat—itu begitu mahal. Kita
yakin bahwa kita ini ingin menjadi sebaik-baik manusia yang ingin memberi
banyak manfaat kepada yang lainnya. Kita yakin bahwa kita ini adalah
“Ahlussunnaah” pencinta sunnah yang senantiasa ingin tasyabbuh dengan Rasul
Muhammad saw. Kita yakin bahwa kita adalah hizbullaah bukan hizbussyaithan.
Dan kita yakin mempertahankan dan menjaga hidayah keikhwaan kita itu lebih
sulit daripada mendapatkannya. Tentu beda hukuman dari Allah antara yang
mengetahui dan yang tidak mengetahui.
Ketika kita sadar bahwa
hal yang ingin kita lakukan adalah sebuah kesia-siaan, sebagai seorang ikhwa
tentu kita sadar untuk kembali pada aktivitas yang bernilai ibadah dan pun kita
niatkan sebagai ibadah. Bukan kembali ke amalan yang sia-sia dan memang bukan
wasilah untuk kita niatkan sebagai amalan ibadah.
Ikhwah bukan malaikat…
Ikhwa, kita sadar bahwa
dalam hidup berjamaah, kita sedang tidak hidup bersama para malaikat tanpa
cacat. Dan kita tahu, Itulah guna kita hidup berjamaah ikhwa, agar kita saling
mengingatkan tak henti-hentinya dengan cara yang hikmah. Kata ustadz, “tidaklah
disebut manusia itu ‘insan’ kecuali karena ini pelupa.” Kita pun sadar bahwa
kita ini pelupa dan kita bersyukur punya banyak saudara yang dapat mengingatkan
kita untuk tidak jatuh dalam lubang yang sama.
Ikhwa, saya menulis
bukan karena merasa saya berada di atas antum semua. Tentu kita masih ingat
bahwa Imam Malik belajar pada tiga golongan yaitu di golongan yang berada di
atasnya, sederajat dengannya, dan di bawahnya. Saya, akhi? Saya sama seperti
beberapa ikhwa lainnya, baru belajar untuk mengenal agama ini yang memiliki
cita-cita untuk kuliah di Madinah dan berangkat tahun ini (qullu “aamiin” wa
antum bikhair). Dan semoga para ikhwa yang membaca, ada hal yang bermanfaat
untuk dipetik dan disajikan dalam kehidupan dakwah di bilangan hari-hari ke
depan.
Nasehat ini kutujukan
bagi diri pribadi, bagi ikhwa, dan siapa saja yang ingin mengambil hikmahnya.
Semoga kita dijauhkan dari sifat-sifat orang yang hipokrit alias munafik yang
berkata namun di sisi lain tak mengerjakannya bahkan berbanding terbalik dengan
perkataannya. “Undzhuru maa qaala walaa tandzhuru man qaala”, lihatlah apa yang
dikatakan bukan siapa yang mengatakan. Syukur kepada Allah dan selawat ke atas
Muhammad. Wallahu watabaaraka a’lam.
Dari hamba yang dhaif yang ingin mengenal Rabbnya
0 comments:
Post a Comment