Ads 468x60px

Tuesday, August 12, 2014

MENYOAL: PROBLEMATIK AKTIVIS DAKWAH KAMPUS




Bismillaah….

Ikhwa (juga akhwat), sama kita tahu bahwa terkadang cuaca belakangan ini mendung, hujan, dan berangin cukup kencang. Agaknya, inilah terjadi di sela-sela kehidupan keseharian kita dalam hidup berjamaah bahwa ada krisis ukhuwah di antara para ikhwah seperti mendung, hujan, dan angin kencang sebagai deskripsinya.

Ikhwa, dunia memang ibaratnya sebuah film ataupun (Sandiwara Langit: kata Ustadz Abu Umar Basyir). Ada sutradara, ada pemeran, ada panggung, dengan segala macam hal yang berkaitan. Pun dalam suasana yang terbangun ada canda, ada tangis, banyak tawa, dan sebagainya. makna firman Allah, dunia ini pangung senda gurau, namun di sisi Allah itulah yang lebih baik. Dan ikhwa, kita ini para pemerannya yang senantiasa akan ada adegan-adegan yang tak terduga dengan berbagai hasil akhir yang yang tak terkira.


Dulu kita sama, namun sekarang….

Saya teringat sebuah perkataan dari seorang ikhwa yang maknanya demikian, “dahulu kita memiliki tujuan yang sama, namun sekarang visi kita terlihat berbeda walau kita tetap memanjangkan jenggot dan menggunakan celana cingkrang (amalan sunnah Nabi saw).” Perkataan ini sedikit banyak telah menyinggung saya dan sebagian besar ikhwa, dan hakikat dakwah memang demikian, ”singgungan yang membangun”. Singgungan yang bukan sekadar menyakiti hati para ikhwa, namun memberikan kesadaran bahwa kita mesti kembali kepada rel yang benar. Singgungan yang bukan hanya rentetan kata bermakna pedas, namun juga memberikan harapan manis di garis depan kelak. Begitulah hakikat singgungan, karena

“Orang yang memberi nasehat itu,” kata Syaik Al ‘Arifi, “laksana tukang cambuk. Bagaimanapun pandainya tukang cambuk mencambuk, tetap saja cambukannya terasa sakit.”

Dan sungguh, betapa banyak ikhwa yang memberikan singgungan namun hanya membawa sakit semata, semoga Allaah tetap menilainya pada kebaikan walaupun berselisih dengan apa yang ia perintahkan untuk berdakwah dengan “bil hikmah wal mauidzhatil hasanah, wajaadilhum billati hiya ahsan”—dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik.

Jatuhnya para ikhwah…

Ikhwa, sedikit banyak, kita mengalami masa kelabilan dalam kehidupan dakwah ini. Ibarat pohon cemara, selalu saja ia begoyang kanan kiri dengan mudahnya walau hanya angin sepoi yang mengecupnya. Namun, apabila angin besar layaknya tornado datang menghempas, ia “kolaps” jatuh dan rubuhnya tak alang. Dan kita tidak menginginkan seperti itu ikhwa, kita ingin seperti pohon kurma yang manis rasanya dan kokoh dahan dan batangnya dalam artian bahwa kita ini ingin menjadi ikhwa yang “manis” perkataannya dalam dakwah dan muru’ah-nya terjaga serta kokoh layaknya pohon kurma tersebut. Dan tahukah ikhwa? Kita sekarang butuh dengan sosok seperti itu dalam kehidupan dakwah ini. Begitu rinduhnya kita dengan sosok seperti mereka yang dapat kita jadikan anutan hidup dan semangat dalam berdakwah.

Ikhwa, di sisi lain, hal yang kita dapatkan begitu paradoks dalam dunia perfilman para ikhwa. Tak jarang kita mendapatkan ikhwa yang sebagian besar waktunya dihabiskan dengan menonton film dan anime, banyak baca komik, main game, dan aktivitas tak jelas lainnya. Semoga kita punya dasar yang baik andai pun kita melakukannya. 

Ikhwa, saya masih ingat perkataan seorang ustadz kita ? Beliau bekata bahwa, bukan lagi zaman kita menonton yang demikian dan termasuk jatuh ke dalam kesyirikan orang (ikhwa secara khususnya) yang menyengajakan menonton yang di dalamnya mengandung kesyirikan seperti adegan perkelahian dengan menggunakan ilmu-ilmu yang tak jelas—seperti pada film naruto dsb. Adapun kalau hanya sekadar jurus tanpa ada ilmu khusus itu tak mengapa, kata beliau (semoga saya tidak khilaf, dan silakan mengoreksi jika iya, ikhwa). Begitu pun dengan film yang lain yang kebanyakan memperlihatkan adegan vulgar, pakain tak seronok, dan sebagainya.

Lalu, bagaimaan dengan komik (manga dan sebagainya) yang di dalamnya terdapat banyak coretan-coretan gambar berselisih dengan syariat apatah lagi di dalamnya menceritakan adegan pertarungan degan menggunakan ilmu-ilmu yang juga sekali lagi bertentangan dengan syariat.  Dan main game? Ikhwa kita tahu dan hafal makna hadits bahwa salah satu ciri kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan perkara yang berujung kesia-siaan. Ataukah kita telah terkena penyakit “hubbuddunnya wakaraahiyatul maut”? Wallahul musta’an.

Ikhwa, saya masih ingat perjuangan pendahulu kita dan kita sendiri untuk menjadi perantara-perantara hidayah bagi yang lainnya. Kita memiliki misi untuk memasukkan mereka ke halaqah-halaqah tarbiyah yang kita yakin hal itu merupakan saranah ampuh untuk memupuk jiwa rabbani dalam hati para kaum muslim. Namun, sekarang, berapa banyak di antara kita yang menyeruh namun sudah tak lagi bertarbiyah. Kita menyeruh kepada saudara kita bertarbiyah dan kita sibuk siapa gerangan yang cocok menjadi murabbinya, namun sekarang kitalah yang tidak bertarbiyah. Benar bahwa tarbiyah bukan hanya sekadar melalui jalan halaqah, namun seberapa efektifkah jalan-jalan tarbiyah yang kita telah susuri di luar dari halaqah itu? Tarbiyah memang bukanlah segala-galanya, namun boleh jadi segala-galanya dimulai dari halaqah tarbiyah.

Gelar ikhwa itu mahal…

Ikhwa, bukankah Allah memberikan berbagai nikmat kepada kita untuk kita syukuri dan kita pergunakan di jalan-Nya. Ibaratnya lebah yang bukan sekadar pengecap dan penikmat kembang namun juga banyak memberikan manfaat bagi sebagian besar makhluk. Kita manusia apatah lagi bergelar “ikhwa” tentu yakin bahwa kita lebih baik daripada lebah. Kata ustadz kita, mendapatkan gelar ikhwa—akhwat—itu begitu mahal. Kita yakin bahwa kita ini ingin menjadi sebaik-baik manusia yang ingin memberi banyak manfaat kepada yang lainnya. Kita yakin bahwa kita ini adalah “Ahlussunnaah” pencinta sunnah yang senantiasa ingin tasyabbuh dengan Rasul Muhammad saw. Kita yakin bahwa kita adalah hizbullaah bukan hizbussyaithan. Dan kita yakin mempertahankan dan menjaga hidayah keikhwaan kita itu lebih sulit daripada mendapatkannya. Tentu beda hukuman dari Allah antara yang mengetahui dan yang tidak mengetahui.

Ketika kita sadar bahwa hal yang ingin kita lakukan adalah sebuah kesia-siaan, sebagai seorang ikhwa tentu kita sadar untuk kembali pada aktivitas yang bernilai ibadah dan pun kita niatkan sebagai ibadah. Bukan kembali ke amalan yang sia-sia dan memang bukan wasilah untuk kita niatkan sebagai amalan ibadah. 

Ikhwah bukan malaikat…

Ikhwa, kita sadar bahwa dalam hidup berjamaah, kita sedang tidak hidup bersama para malaikat tanpa cacat. Dan kita tahu, Itulah guna kita hidup berjamaah ikhwa, agar kita saling mengingatkan tak henti-hentinya dengan cara yang hikmah. Kata ustadz, “tidaklah disebut manusia itu ‘insan’ kecuali karena ini pelupa.” Kita pun sadar bahwa kita ini pelupa dan kita bersyukur punya banyak saudara yang dapat mengingatkan kita untuk tidak jatuh dalam lubang yang sama.  

Ikhwa, saya menulis bukan karena merasa saya berada di atas antum semua. Tentu kita masih ingat bahwa Imam Malik belajar pada tiga golongan yaitu di golongan yang berada di atasnya, sederajat dengannya, dan di bawahnya. Saya, akhi? Saya sama seperti beberapa ikhwa lainnya, baru belajar untuk mengenal agama ini yang memiliki cita-cita untuk kuliah di Madinah dan berangkat tahun ini (qullu “aamiin” wa antum bikhair). Dan semoga para ikhwa yang membaca, ada hal yang bermanfaat untuk dipetik dan disajikan dalam kehidupan dakwah di bilangan hari-hari ke depan. 

Nasehat ini kutujukan bagi diri pribadi, bagi ikhwa, dan siapa saja yang ingin mengambil hikmahnya. Semoga kita dijauhkan dari sifat-sifat orang yang hipokrit alias munafik yang berkata namun di sisi lain tak mengerjakannya bahkan berbanding terbalik dengan perkataannya. “Undzhuru maa qaala walaa tandzhuru man qaala”, lihatlah apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan. Syukur kepada Allah dan selawat ke atas Muhammad. Wallahu watabaaraka a’lam.

Dari hamba yang dhaif yang ingin mengenal Rabbnya

0 comments:

Post a Comment