Ads 468x60px

Thursday, March 15, 2012

Sa’ad Sang Pengantin Surga dan Nasihat Terakhir Sang Murobbi

       Masih kuat di relung ingatanku tentang peristiwa yang tergolong masih hangat yang baru terjadi itu. Tanggal 22 Januari 2012, aku dan teman sehalakahku berencana melakukan rihlah yang kedua di Galesong (sedang rihlah yang pertama juga di Galesong namun aku tidak bisa bergabung dikarenakan ada urusan di Asrama, tempatku dulu bernaung) yang buntutnya di ubah menjadi mabit (malam bina ilmu dan taqwah) di mesjid belakang kampus, Ar Rahma. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan para peserta sehalakahku tidak semuanya hadir.
       Kami adalah mahasiswa yang berstatus mutarobbi dari KKI (Kelompok Kajian Islam) Axel ’10 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sedangkan mutoarobbi kami bernama Ardian Kamal, S.Pd. atau lebih akrab disapa Ust. Ardian. Beliau mendapatkan gelar sarjananya pada jurusan Fisika di Universitas Negeri Makassar. Kami sang mutarobbi berasal dari berbagai fakultas di UNM, yang semula semuanya canggung dalam belajar karena belum akrab dan sekarang semua seperti saudara yang selalu bercanda dan saling menasihati. Itulah kami.
       Melihat keadaan yang tidak sesuai untuk rihlah, maka aku sarankan kepada teman sehalakah dan murobbi untuk di ubah menjadi mabit. Usul pun di terima dan kami mulai melaksanakan agenda. Kami akhirnya berkumpul dan bermusyawarah ba’da isya untuk melaksanakan kegiatan mabit. Agenda pertama ialah bakar-bakar ikan.
       Cuaca tak menentu malam itu. Kadang cerah dan langit mempertontonkan artis kesayangannya dengan cahaya yang kerlap-kerlip, namun kadang langit gelap ditutupi awang tebal lagi gelap seakan-akan mendakan bahwa langit juga malu untuk menyapa setia yang bernyawa di bumi. Sungguh aneh cuaca pada malam itu. walaupun dengan keadaan yang seperti itu, kami tetap melaksanakan agenda pertama, sekitar pukul 9.30. tugas pun di bagi, ada yang membersihkan ikan, ada yang mencari arang untuk bakar ikan, ada pula yang tugasnya membakar ikan tersebut, dan tak tanggung-tanggung ada pula membuat sambelnya,  pokoknya semua tenaga sebisa mungkin dimaksimalkan.
       Awalnya berjalan lancar, sampai beberapa teman datang malasnya untuk melakukan sesuatu. Wajarlah, kami semua berbeda watak dan sifatnya. Dengan keadaan itu ada pula teman yang menasehati dan akhirnya mereka kembali “tercerahkan”.
       Ikan pun siap di bakar. Arang telah jadi, tangan pun bisa hangus dengannya. Mulailah kami membakar ikan, dengan terlebih dahulu mengaturnya di permukaan tempat pembakaran. Seakan semua akan enak pada waktunya. Ternyata, tanpa di duga-duga, langit mulai memutuskan tali persahabatan, mulailah ia menghujani kami dengan air, mungkin ia sedih tentang perkara-perkara yang terjadi di dunia, atau mungkin juga memang sudah musimnya. Hujan membuat kami kelabakan serta kelimpungan. Apa yang harus kami perbuat? Haaa.
       Agar semua menjadi tidak kacau, kami berpikir secepat dan seefektif mungkin. Akhirnya kami memindahkan tempat pembakaran di sekitar tangga belakang mesjid. Namun tetap terkena hujan. Kalaulah dibiarkan terus menerus, apainya bisa padam, dan acara bakar ikan pun hancur. Ternyata ada ide untuk menaunginya dengan payung, sungguh cerdas. Albert Enstein pun tak akan berpikir sejauh itu. Membakar ikan disertai payung.
      Hujan pun redah, akhirnya kami memindah kembali tempat pembakaran ikan di halaman mesjid Ar-rahmah. Berulang kali langit berprilaku demikian, sehingga kami silih berganti memayungi pembakar ikan atau sebaliknya. Ikan pun susah masaknya. Di sinilah masalah bermula. Ada yang berinisiatif untuk menggorengnya, namun ada yang tetap bersikukuh untuk membakarnya. Belum lagi, ada yang hanya melihati kami membakar ikan. Semuanya hampir kacau diliputi ego masing-masing. Bayangkan, kami membakar ikan sekitar dua jam, dan ikannya tidak seberapa banyaknya, haaa. Dengan kesabaran, semua bisa jadi.
       Akhirnya, semua proses pembakaran ikan telah kami lalui. Walau ada juga yang menggorengnya, namun tak jadi masalah, yang penting kami bisa menyumbat mulut cacing yang sedari tadi berdemo dan melakukan aksi turun ke jalan-jalan di perut kami. Saat makan. Ternyata ikan bakarnya lumayanlah begitu pula ikan gorengnya, mantap. Namun yang paling dahsyat ialah sambelnya, super hot. Mamaku pun kalah jika ingin mengomparasikannya dengan buat teman sehalakahku. Wah, sunggu lezat.
       Karena semua berjalan dengan waktu yang sangat lama, maka murobbi kami berfatwa bahwa ia baru bisa memberikan materi esok hari. Semalaman hanya untuk membakar ikan, ckckck. Tak bisa kubayangkan, bagaimana seorang ulama dalam buku yang aku baca sangat memanfaatkan waktunya, sampai-sampai ia meminta agar makanannya dihaluskan terlebih dahulu sebelum ia makan karena ia merasa terlalu banyak waktu yang dibuang untuk sekadar makan, hm. Lalu kami di sini, melalui malam yang hanya di isi dengan acara bakar ikan. Tak apalah, toh dalam rangka mempererat jalinan ukhuwah dan banyak pelajaran yang kami dapatkan dalam proses pembakaran ikan itu, susah senang dapat semua kocak enak, ada pula, hehe.
       Usai tidur yang hanya beberapa jam, kami mengisi separuh malam dengan ibdah yang dimulai dengan tahajjud bareng. Ibadah selanjutnya ialah Salat subuh berjamaah dan dzikir ataupun memurojaah hafalan. Semua berjalan dengan khusyunya. Indah tak bisa dihargai didunia, walaupun Engkau mencoba untuk mendatangkan mentari, bulan, bintang gemintang di hadapanku untuk menukar momen itu, akan kutolak mentah-mentah kawan. Keindahan yang tak terperihkan.
       Setelah itu, tibalah sang murobbi mengambil alih kursi sutradara keadaan dan kegiatan. Beliau mulai memainkan perannya sebagai “Sang Pencerah” bagi kami mutarobbinya. Momen ini sangat berkesan di hati kami karena kamis depan (kemarin) beliau sudah berangkat ke Saudi untuk melanjutkan strata pendidikannya sambil menimbah ilmu agama di sumbernya. Kalau tidak salah, beliau melanjutkan studinya di King Saud University. Momen yang sebenarnya sangat memiluhkan karena kami sudah menganggap beliau ayah kami walaupun ternyata ujung-ujungnya kami tahu bahwa umur beliau ternyata 23 tahun yang tidak sesuai dengan perawakannya. Tapi tak apalah, karena memang ia seperti ayah atau pun bapak kami. Kami seakan-akan tidak ridoh kalau ia pergi meninggalkan kami, walaupun tujuannya tak terbantahkan muliahnya. Kami berperasangka bahwa mungkin tak ada pengganti yang sepadan dengan beliau, sungguh andai kau adalah bagian dari kami maka kau juga berpendapat sepaham dengan kami. Kami takut bahwa murobbi baru kami nantinya tidak sesuai dengan yang kami harapkan, hm. Tak apalah, kami mencoba melawan segala rasa yang ada untu mendengarkan setiap petuahnya yang seakan-akan ini merupakan petuah terakhirnya.
       Panorama mentari menampakkan keindahannya dengan cahaya yang kemerahmerahan indah bukan main. Beliau membuka dengan dengan berbagai matan cabang-cabang agama, yang membuat kami lagi-lagi terkesima dengan sosoknya, dengan penampilannya, dan dengan perawakannya yang nanti akan sangat kami rindukan. Sungguh manusia yang sangat bermanfaat dan sangat dirindukan banyak orang.
       Beliau kemudian melanjutkan dengan menggiring kami untuk masuk meresapi sebuah kisah yang luar biasa menakjubkan. Seoarang manusia yang wara’, sungguh setia kepada Allah, tak diragukan lagi kesetiaannya. Di bernama Sa’ad sahabat rasulullah saw, budak hitam yang berperawakan jelek namun di balik rupanya ia merupakan sosok pribadi yang saleh taat beribadah. Sejak lama ia memendam keinginan untuk menikah, namun apadaya ia selalu ditolak mentah-mentah apabila mengajukan proposal pelamaran. Ia lalu mengadukan kegundahannya kepada Rasulullah saw yang saat itu sedang membagikan ilmu kepada sahabat-sahabatnya (seperti kami dan murobbi kami).  Akhirnya, Rasulullah saw memberi ia titah dengan muatan titah yang berisikan agar ia dinikahkan dengan anak gadis dari Amr Bin Wahab. Dengan persaan bahagia yang tak bisa digambarkan ia segera ke rumah Amr. Ia membuka pembicaraan dengan basa-basi, lalu akhirnya tibalah masa penyampaian titah. Ini titah nabi pastilah ia menerimanya, begitu prasangkanya. Namun, apa mau dikata, ia lagi-lagi ditolak mentah-mentah. Hatinya pun hancur sejadi-jadinya, berkeping-keping pula. Dengan merasa harga dirinya terinjak-injak oleh Wahab, ia mengatakan akan mengadukannya kepada rasulullah saw karena membangkang titahnya. Ia pun melaksanakan niatnya.
        Dibalik tirai anak gadis Wahab merekam pembicaraan yang terjadi. Setelah Sa’ad keluar rumah, ia juga keluar dari balik tirai menemui ayahnya. Perdebatan pun tak elak terjadi. Si gadis mengatakan kepada ayahnya bahwa sebenarnya tak boleh melakukan hal tadi. Begitu beraninya ia membangkang perintah Rasulullah saw. Apakah ia tak takut terkena azab yang pedih. Ia lalu membacakan surah Al Ahzab ayat 36 yang berbunyi:
       “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
       Ia melanjutkan, bahwa ia ridho menikah dengan Sa’ad apabila benar bahwa itu perintah Rasulullah. Sudah ditebak ayahnya kalah telak dalam perdebatan yang memukau, tanpa sedikitpun kata yang terucap, ia terperanjat kaget gemetar bukan main. Anaknya mengatakan bahwa sebelum Sa’ad sampai ke Rasulullah dan sebelum azab tertimpa pada Amr, ia menyuruh ayahnya untuk lekas memburu dan mencegat Sa’ad. Berlarilah ayahnya secepat mungkin.
      Terlambat !!!! Amr gagal mengejar Sa’ad. Sa’ad telah sampai dan Amr masih di ambang pintu masjid. Sa’ad pun menceritakan kronologi yang terjadi kepada Rasulullah yang masih dalam majelis ilmunya bersama sahabat-sahabatnya dan semua terdengar jelas di kedua telinga Amr. Bayangan azab pun bersarang di kepala Amr. Buru-buru Amr memotong pengaduan Sa’ad. Ia mengatakan tidak kepada Rasulullah saw. Ia melakukan itu karena hanya ingin menguji bahwa apakah memang benar yang dikatakan Sa’ad itu. ia pun menerima titah dan lamaran Sa’ad dengan saksi para sahabat dan Rasulullah saw.
        Sungguh berbunga hati Sa’ad. Kebahagiaannya tak dapat tertandingi, seakan-akan ia adalah orang yang saat ini paling bahagia di dunia. ia pun pergi membawa bahagianya ke pasar, loh kok? Yah ia ke pasar untuk membelikan hadiah sebagai mahar kepada Istribarunya, isri yang ia dambakan. Coba engkau tebak, hadia apa yang akan dibeli oleh Sa’ad untuk istrinya!
       Ditengah kesibukannya mencari hadiah, datanglah suara panggilan jihad. Isi panggilannya mengatakan bahwa setiap lelaki yang memenuhi syarat untuk berjihad harus melaksanakan jihad itu walaupun hatinya terasa berat. Tanpa berpikir dua kali ia pun memenuhi hajatan jihad itu. uang yang semula ia ingin belikan hadi buat istrinya beralih ke toko perlengkapan perang. Ia membeli kuda dan alat-alat perang. Pergilah ia ke tanah Jihad. Allahu Akbar!!! Bagaimana kalau kita di posisi Sa’ad, apa yang akan kita lakukan yah?
Ternyata ia syahid fi sabilillah. Syahid sebelum malam pertama, syahid sebelum menemui istrinya, dan syahid sebelum menumpahkan rasa bahagianya. Murobbiku mengatakan bahwa ia merupakan pengantin surga. Subahanallah.
       Murobbi kami pun melanjutkan, akhirnya syahidnya Sa’ad diketahui oleh Rasulullah saw. Beliau menangisi perjuangan dan pengorbanan sahabatnya ini. ia merupakan pengantin surga, bayangkan kawan. Akhirnya Rasulullah saw memerintahkan agar kuda beserta alat perang Sa’ad dikirimkan kepada istrinya sebagai mahar atas pernikahannya. Sampailah mahar itu kepada istri Sa’ad. Istrinya menangis dengan rasa bangga memiliki suami seperti Sa’ad yang lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya ketimbang dia. Subahanallah. Sungguh muliah sahabat ini.  Dapatkah kita berlaku seperti Sa’ad kawan? Insya Allah.
       Kisah ini sungguh indahnya dibawakan oleh murobbi kami. Momen-momen inilah yang tak bisa kami lepaskan dan pasti akan sangat kami rindukan serta terkenang sepanjang hayat kami. Akhirnya beliu memberikan kami nasihat dan petuah agar kami bisa lebih baik nantinya setalah beliau meninggalkan kami.
Nasihat pertama beliau ialah agar kami belajar untuk berbahaa Arab. Bahasa Rasulullah saw. Karena tak sempurna ilmu agama seseorang apabila belum mampu menguasai bahasa Arab. Pokoknya, beliau memaksa kami agar sebisa mungkin dan harus bisa berbahasa Arab. Agar ketika ia pulang nanti, ia bisa mentarbiyah kami dengan bahasa Arab, begitu katanya.
       Nasihat kedua beliau ialah agar kami membca buku yang disarankan oleh beliau. buku-buku yang di antaranya bertemakan aqidah Ahlussunnah wal jama’ah, kitab fiqih, sirah nabawiyah, sirah sahabat, sirah tabi’in, kitab riyadussalihin semua jilid, tafsir ibnu katsir, syahi bukhari, dan buku kisah orang alim salaf sebagai teh penyemangat hati. Beliau menyuruh kami untuk rajin membaca buku karena memang buku adalah jendela dunia. Engkau tentu sudah tahu betapa berharganya ilmu sebuah buku itu kan?
       Yang ketiga ialah agar kami menjadi ikhwa yang berakhlak muliah yang selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. Pernah kudengar seorang ustadz di tv mengatakan bahwa Rasulullah saw. Lebih menyukai duduk di samping orang yang berakhlak mulia dari pada ahli ibadah, wallahu a’lam.
       Yang keempat ialah agar kami melanjutkan hafalan, baik itu hafalan doa dalam hisnul muslim atau pun hafalan alquran. Beliau menargetkan bahwa kami minimal harus menghafal dengan profesional tiga juz. Insya Allah ustadz.
       Yang terkhir ialah jadilah aktifis Islam sejati yang ketika tidak dipanggil dalam setiap kegiatan menjadi panitia hatinya menangis.
       Lima wasiat ini harus kami laksanakan sesuai perintah beliau. mentari yang sudah meninggi namun tertutupi oleh awan kelam seakan-akan mendukung suasana yang kami rasakan. Dinding dan jendela kaca menjadi saksi bisu peristiwa ini. pepohonan dan dedaunann, segala macam serangga dan hewan yang bukan serangga, serata ranggkaian bunga di sekitaran mesjid menjadi penonton adegan yang kami lakonkan, haa.      Kami seperti kumpulan singa kecil yang baru belajar untuk menjadi singa sejati yang hampir kehilangan induknya. Kami seperti anak-anak yang sebatang kara di dunia ini dan kebigungan untuk berjalan. Sungguh kami merasa sedih mengalahkan kesedihan langit semalam. Kami sedih karena akan merindukan sosok murobbi kami nanti. Kami takut tidak mendapatkan murobbi yang sepadan dengan beliau, hmm.
       Beliau tutup dengan doa kaffaratul majelish. Beliau kemudian membagikan buku yang pernah ia janjikan untuk ikhwa yang menjual tiket “Seminar Peradaban” minimal lima buah tiket. Aku menjual dua kali lipat dari yang ia perintahkan, aku pun mendapatkan hadiah berupa buku yang hakikatnya kucari selama ini. buku tentang Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Buku yang akan menjadi saksi selain tembok dan jendela kaca tentang kami dan murobbi kami pernah ada dan bersama. Ada dan bersama merajut cinta dan berbagi ilmu dan kasih.
       Di selah-selah berakhirnya materi beliau, aku dekati beliau dan kukatakan aku tidak ridho atas kepergian beliau, beliau lantas memelukku dan mengatakan bahwa ia pergi bukan dengan percuma. Ahhh... sungguh kisah yang memiluhkan untuk tulis dan bagikan. Di sini aku menulis. Bersandar di tiang mesjid Babul Muttaqin dengan amunisi aksara yang terus terlontar memenuhi tulisan kata demi kata. Ditemani dengan makhluk malam, utamanya si penghisap darah makhluk parasit yang hanya menciptakan habitat simbiosis parasitisme menurut kebanyakan orang. Dua cahaya menerangiku, caha lampu masjid yang putih serta cahaya lampu jalan yang kemerah-merahan mengingatkan aku pada peristiwa itu, peristiwa di mana mentari memamerkan keindahannya. Ku tutup dengan cinta, rindu, dan kasih sayang untuk murobbiku dan untuk yang pantas mendapatkannya. Wassalam.

27 Januari 2012
Setangkai rindu untuk murobbiku di sana.

0 comments:

Post a Comment