Bismillah…
Baru saja aku pulang dari taklim
rutin di sebuah masjid di belakang kampusku. Nama masjidnya ialah Ar-Rahma.
Taklim tadi membahas tentang keutamaan bulan Dzul Hijjah—kalau dalam KBBI
tertulis Zulhijah. Kawan, sungguh agung bulan ini, apatah lagi di sepuluh hari
awal bulan ini, sungguh-sungguh agung dan penuh kebaikan. Kumohon, jangan
sia-siakan bulan ini!!!
Gairah untuk menuntut ilmu agama
semakin hari semakin membuncah dalam dadaku, begitu rindu aku meneguknya,
mencari tetes demi tetes ilmu tempat ia jatuh dari wadahnya. Begitulah ilmu
kawan, ia didatangi bukan mendatangi. Ketika engkau mencurahkan segalanya untuk
mendapatkan ilmu, maka yang engkau tuai hanya setengahnya. Apatah lagi kalau
engkau hanya setengah-setengah menuntut ilmu, maka jangan harap mendapatkan
ilmu yang lebih. Karena barang siapa meniti jalan menuntut ilmu, Allah akan
memudahkannya menuju jalan menuju janah-Nya.
Seusai taklim, seperti biasa,
Saudara Ruslan menggelar acara bazar buku. Namun berbeda untuk malam kali ini,
diskon sampai lima puluh persen, bayangkan. Cukup dongkol aku tadi, hanya satu
yang kubeli karena saking banyaknya ikhwan yang juga tak kalah ganasnya menatap
dan meniti setiap buku dengan harga setengah yang terbanting. Dari Al qahtani
hingga Ibnu Qoyyim, semua diskon lima puluh persen, masya Allah.
Wajar saja, kalau bagi Tsubasah
Osora, bola adalah teman, namun bagi kami buku itu ibarat istri. Makin bermakna
isinya, makin saleh ia. Apatah lagi ketika sampulnya juga indah, maka mungkin
itu sebagai pemanis di cawan hati kami, istri yang cantik. Saleh nan cantik.
Namun ketika maharnya murah, maksudnya harganya murah, istri beginilah, maaf
maksud penulis, buku inilah yang kami buruh. Apa lagi sang istri dari keturunan
yang luar biasa, maksudnya penulisnya memiliki aura dan amal saleh serta
pemikiran yang luar biasa, maka buku itu merupakan istri idaman bagi kami.
Catat itu, kawan!
Setelah itu, aku pamit pada mereka
dengan salam, lalu kukayuh sepeda putih hitam bekasku yang beberapa bulan lalu
kubeli dan kuberi nama Al Asykar—nama kuda Khalid bin Walid. Ia jugalah yang
senantiasa menemaniku pergi ke majelis-majelis ilmu dan meniti kuliah di
kampusku. Begitu berarti tunggangan ini bagiku, Alhamdulillah.
Selagi kukayu, terlintas sebuah
ingatan bahwa ternyata sore tadi hujan turun membasahi dan melumuri bumi dengan
kasih dan cintanya. Yah, hujan kawan, momen yang sangat kurindukan. Sore tadi
pula, karena saking rindunya hati dan jiwa ini dengan hujan, kuganti pakaianku
dengan pakaian yang kotor lalu kukendarai Al Asykar keluar menuju hujan. Yah,
mandi-mandi hujan. Luar biasa gembiranya hati ini, kawan.
Ini adalah nikmat dari Allah. Ia
turunkan tetesan-tetesan hujan ini ke bumi Daeng, yang mungkin tak semua daerah
mendapatkan jatah hujan dari-Nya. Dengan hujan, Ia suburkan tanah-tanah
gersang. Dengan hujan, Ia hidupkan negeri yang telah mati. Dengan hujan, ia
tumbuhkan tumbuhan dan buah-buahan untuk dinikmati oleh manusia. Maka dari itu,
mari untuk selalu berdoa agar diberikan hujan yang bermanfaat bagi tanah kita
ini. Semoga dengan kesyukuran maka Allah menambah nikmat itu. Namu kawan,
ketika engkau membenci setiap pemberian-Nya, maka boleh jadi engkau telah kufur
dan bersiaplah menerima adzab dari apa yang engkau lakukan. Wallahu musta’an.
Sore tadi pula, kukayuh sepeda
keliling kompleks hartako—kompleks tempatku tinggal. Badan ini rindu
bermandikan hujan. Di tengah perjalanan, kulihat sekumpulan anak kecil juga
menikmati keadaan dan suasana yang sama. Bermain bola di tengah hujan. Lalu
kukenang pula diriku sewaktu belum cukup umur. Dahulu, ketika hujan turun, maka
kulepas baju lalu aku berlari keluar rumah dengan euforia yang sungguh
berlebihan mengecup hujan dan berdansa bersamanya.
Ini hujan kawan. Hujan yang baru
bertamu setelah sekian lama melanglang buana entah ke mana. Ini hujan di awal
Zulhijah, bulan penuh kemuliaan. Dua kali aku mengelilingi kompleks tuk
menyambutnya. Dan berkali-kali pula aku mengumbar senyum kegirangan. Begitu
indah ketika setiap tetes hujan membasahi kulit ini dengan kecepatan yang luar
biasa membangkitkan rasa dan adrenalin ini, begitu tak menentu. Mungkin, ia
lebih indah dibandingkan dengan berduaan dengan kekasih yang tak halal. Mungkin
ia lebih nikmat dibanding sebungkus rokok bermerk dengan peringatan vatal yang
tertulis besar di bagian bawahnya. Dan mungkin juga, ia lebih indah
dibandingkan dengan aksi solidaritas lempar batu anatar mahasiswa yang terjadi
di kampusku beberapa waktu lalu. Serta berbagai kemungkinan lain yang tak
mungkin mengalahkan keelokan hujan di sore hari di awal bulan Zulhija.
Aku tak peduli kalau saja ada orang
yang mengatakan, “ini orang, sudah berjenggot masih saja mandi-mandi hujan”,
bahkan mungkin ada yang berkata “seperti anak kecil saja main hujan-hujan, apa
sudah gila yah?”. Kukatakan sekali lagi, aku tak peduli.
Ini luapan rindu untuk sang
penentram hatiku. Ia bagaikan kekasih yang datang dari jauh. Dan kuucap syukur
untuk nikmat yang satu ini. Dan tak ada yang salah ketika seorang dewasa meluapkan
kegembiraannya terhadap datangnya hujan dengan bermain-main hujan. Tak ada
larangan kawan. Engkau boleh mengajak istri untuk bermain hujan bersama
nantinya, tak ada yang melarang. Dengan itu pula, semoga benih-benih cinta itu
makin subur dan menggelayut di setiap dahan-dahan dalam lubuk hatimu.
Ini hujan, kawan. Ini hujan di bulan
Zulhijjah. Begitu indah, begitu nyata.
Yah, keindahan itu terjadi sore
tadi. Sekarang masih kunikmati sisa-sisa kedatangan hujan. Engkau tentu tahu
bagaimana aroma ketika hujan selesai turun. Aromanya khas. Aroma dedaunan yang
bercampur dengan bauh hujan. Bukan hanya itu, partikel-partikel aroma aspal pun
ikut menyatu dalam metamorfosa aroma hujan. Kupinjam untaian kata Andrea
Hirata, ini euphoria di musim hujan.
Tadi pun sewaktu dalam kayuhan sepeda,
begitu yang kurasakan. Di jalan-jalan kota Makassar terpampang aroma khas
semerbak menyelimutinya. Ia bercinta dengan kegelapan malam dan membagikan
cintanya kepada manusia-manusia yang juga menaruh cinta dalam hatinya. Cinta
yang nanti ia pertanggungjawabkan di hadapan Maha Pencipta cinta dan Maha
membolakbalikkan hati karena cinta. Baik itu cinta yang ia rahmati atau pun
cinta yang masih dalam tahap menuju cinta berlabel halal kalau tak boleh aku menyebutnya
percintaan yang sesat dan menyesatkan.
Ini hujan di awal bulan Zulhijah,
kawan… maka sambut dengan kesyukuran…
17
Oktober 2012
Rinduku,
cintaku, hujanku, pun syukurku…
Sumber gambar:
0 comments:
Post a Comment