Bismillaah...
www.multiply.com |
Ada banyak cara bagi seseorang untuk
melampiaskan kekesalan dan keresahan hatinya. Ada cara yang positif, namun ada pula
cara yang negatif. Cara negatif sama-sama kita ketahui seperti mengumpat, mencelah, berkelahi, dan
sebagainya. Sedangkan cara yang positif ialah menyibukkan dirinya dengan
hal-hal yang ia sukai serta bermanfaat bagi seperti menulis kekesalannya lewat
sebuah tulisan, banyak mendengarkan murottal (bacaan Alquran dengan irama
sedang), membaca, berolahraga, dan berbagai macam cara lainnya. Dan apa yang sedang
pembaca nikmati ini adalah bentuk sebuah kekesalan dan keresahan dalam sebuah
tulisan.
Cuaca memang tiada yang bisa menebak
kecuali Yang Maha Penciptanya sendiri kemudian malaikat yang Ia perintahkan
untuk membagikan rezeki hujan tersebut ke bumi cinta-Nya. Dua hari yang lalu,
kita saksikan sendiri bahwa Jazirah Makassar sedang hangat-hangatnya dalam
pelukan mentari. Namun, kemarin dan pagi ini, mentari bersembunyi entah ke
mana. Awan menggumpal datang dan menurunkan butiran-butiran air yang lembut. Membasahi
bumi dengan kasih dan sayang hingga tetumbuhan pun kembali bersememangat untuk
melakukan dinamisme hidup.
Pagi dan mendung. Sebuah perpaduan
indah yang biasanya menghasilkan kemalasan bagi sebagian orang hingga lebih
memilih berada di balik selimutnya dari pada mencari aktivitas lain, apatah
lagi kalau memang hari itu sedang libur dari berbagai aktivitas duniawi seperti
kuliah, sekolah, dan bekerja. Namun, mungkin bagi sebagian orang menyatakan
kesyukurannya karena telah lama menunggu cuaca dan suasana yang demikian hingga
memberikan aura positif bagi dirinya untuk berbuat dan melakukan sesuatu. Benar-benar,
kita harus memahami seseorang dan tidak memaksakan kehendak diri pribadi untuk
menyukai hal yang kita sukai.
Setidaknya, kita perlu belajar. Dalam
sebuah riwayat dikatakan bahwa tidaklah beriman seseorang sampai mencintai
sesuatu yang yang juga dicintai saudaranya. Sebuah perkataan indah dari pemilik
Jawami’ Al-qalim (sedikit kata padat makna), Rasulullah saw.
Tahukah kita pembaca, mungkin kita
pernah menegur seseorang yang sebenarnya teguran kita itu lebih pantas untuk
diri kita sendiri—Penulis pernah melakukan hal yang demikian entah berapa kali.
Kita dengan sedemikian pongahnya memberikan keritikan kepada orang lain dengan
perkataan yang kasar hingga benar-benar bemaksud menjatuhkan dan menyakiti hati
saudara kita. Kita begitu tega dan tak mau pusing dengan peluruh-peluruh yang
terlontar dari mulut ini, peluruh-peluruh yang hakikatnya akan kembali menembuh
raga kita di hari akhir nanti. Pernah kita sadar apa akibatnya nanti sebelum
melepaskan hardikan, cacian, dan celaan tersebut. Kita merasa bahwa ini adalah
nasehat namun kita tuliskan atau bahkan kita katakan dengan perkataan-perkataan
kasar. Kira-kira apa tanggapan dari orang yang kita “nasehati” tersebut? Bagaimana
jikalau posisi kita di balik, kita yang di“nasehati” dengan perkataan kasar
tersebut, apa yang kira rasakan dan lakukan?
Atau bahkan lebih parahnya lagi,
kita mungkin telah berembuk dengan
teman-teman kita memperbincangkan sesuatu yang tentang kekeliruan yang
dilakukan oleh saudara kita tanpa menyembunyikan identitas saudara kita itu
ketika meminta sebuah pendapat untuk menasehatinya. Paham maksud saya wahai
pembaca? Pernahkah kita melakukannya? Padahal kita boleh jadi tidak tahu bahwa
hal itu akan menyakiti saudara kita. Dan tahukah pembaca bahwa hal itu adalah
gibah?
“Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat; 12)
Kita mungkin dengan bangganya
berkata bahwa apa yang kita perbincangkan (bahasa kasarnya gosipkan) itu adalah
kebenaran tanpa memedulikan apakah saudara yang menjadi objek diskusi kita
sakit hatinya atau tidak. Namun tahukan kita bahwa itulah sejatinya gibah. Karena
dalam sebuah riwayat dari Tirmidzi dikatakan bahwa:
“Abu
Hurairah berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, apakah
gibah itu?" beliau menjawab: "Kamu menyebutkan tentang temanmu dengan
sesuatu yang ia benci." Ia bertanya lagi, "Bagaimana sekiranya apa
yang kukatakan memang benar?" Beliau menjawab: "Jika memang apa yang
kamu katakan itu benar, maka sungguh kamu telah menggibahnya, namun jika apa
yang kamu katakan itu tidak benar, maka sungguh kamu telah berdusta."
Hadits semakna juga diriwayatkan dari Abu Bazrah, Ibnu Umar dan Abdullah bin
Amr. Abu Isa berkata; Ini adalah hadits hasan shahih.”
Anggaplah kita di posisi yang
dibicarakan dan diceritakan kekeliruannya, bagaimana perasaan kita? Ketika hal
tersebut diklarifikasikan kita menjelaskan tentang “kekeliruan” tersebut namun
orang yang memgibahi kita tidak mau mengaku namun bersembunyi di balik
alasan-alasan dengan bumbuh-bumbuh kebohongan yang telah jelas di mata kita. Ataukah
kita orang yang mengelak tersebut? Sering kali kita lupa mencubit diri sendiri
sebelum mencubit orang lain. Kita lupa rasanya bagaimana cubitan keras itu lalu
kita dengan pongahnya mencubit orang lain dengan begitu kerasnya. Benarlah sebuah
pepatah bahwa mulutmu harimaumu. Jagalah mulutmu, jangan sampai ia menelanmu
mentah-mentah.
Wahai pembaca yang budiman, apa yang
kita lakukan ketika kita dinasehati oleh orang sebenarnya butuh nasehat bagi
dirinya sendiri. Anggaplah, kita disuruh puasa untuk menahan hawa nafsu syahwat
namun orang yang mengatakannya memiliki pacar dan senantiasa saling mengumbar
aurat dan cinta yang sejatinya dilakukan setelah pernikahan? Ataukah kita
disuruh salat oleh orang yang tidak melakukan salat? Paradoks memang! Namun,
dalam sebuah pepatah dikatan bahwa jangan lihat dari siapa nasehat itu
disampaikan, namun lihat apa yang dinasehatkannya. Lalu bagaimana kalau
nasehatnya bernada kasar? Nah, ini yang menjadi persoalan bagi setiap manusia
tak terkecuali bagi penulis sendiri untuk selalu menyampaikan kebaikan dengan
lembut serta berdakwah dengan hikmah. Tentu saja sebagian besar orang akan
marah dan menolak mentah-mentah apabila nasehat-nasehat tersebut dengan bahasa
yang kasar, apatah lagi kalaulah yang menyampaikan perkataannya seharusnya
kembali kepada dirinya sendiri.
Kita juga perlu belajar memahami
bahwa mungkin saja ada urusan-urusan saudara kita yang tidak mau didiskusikan
atau ditanyakan namun kita karena saking gila urusannya mencampuri hal-hal
tersebut. Padahal, kita sendiri masih punya segudang permasalahan yang mesti
dicarikan solusi dan sibuk di dalamnya. Kita terlalu menganggap hal-hal yang
remeh-temeh hingga membuat kita pusing sendiri dan mendapatkan akibatnya
sendiri. Bagaimana kalau kita biarkan saja masalah remeh-temeh tersebut, karena
sejatinya kita memiliki masalah-masalah yang lebih besar yang perlu untuk kita
pecahkan. Bukankah itu adalah salah satu seni menikmati hidup ini. Untuk yang
satu ini, penulis kutip dari buku “Enjoy Your Life” karya Dr. Al-A’rifi cetakan
Qistipress. Penulis sarankan, pembaca yang budiman membaca buku ini untuk
bersama-sama belajar menikmati hidup.
Setidaknya, kita terus belajar untuk
menjadi pribadi yang lebih baik, pribadi yang berani dan mau berubah menuju
arah yang lebih baik. Pribadi-pribadi yang lembut dan baik tutur kata dan
perbuatannya. Sejatihnya memang kita membutuhkan nasehat karena memang agama
itu adalah nasehat. Nasehat yang indah dan meresap lembut di dalam hati. Andai
pun nasehat itu kasar, setidaknya nasehat itu berupa kebaikan, maka kita
beranggapan saja bahwa yang menasehati itu belum tahu adab menasehati dan
mengelus dada ini untuk menerima nasehatnya sambil suatu saat juga kembali
menasehatinya untuk memperbaiki kesalahannya. Tentu dengan adab, cara, dan
suasana yang lebih baik.
Bukan pula menasehati orang yang
sejatinya tidaklah melakukan kesalahalan
(namun karena kita juga agak suka ikut campur dalam urusan orang lain,
terjadilah apa yang terjadi) dan membiarkan serta berlepas diri dari
kesalahan-kesalahan yang jelas di kacamata syariat yang dilakukan oleh teman-teman
kita yang lain. Hidup ini terlalu
singkat kalaulah kita hanya berkutat pada permasalah kecil dan remeh-temeh.
Saya pikir, mungkin cukup untuk
tulisan ini. Tidak ada kata terlambat untuk belajar menjadi lebih baik. Semoga
bermanfaat bagi penulis dan pembaca!
Selawat dan taslim untuk Rasul saw.,
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang senantiasa menapak tilasi
jalannya hingga akhir kelak.
16
April 2013
Komplek
Hartako Indah setelah kerja bakti. Untuk diri dan yang membutuhkan.
0 comments:
Post a Comment